Oleh:
Kasilda Sumita Gonggor
Mahasiswi
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Undana Kupang
Siapa nih yang hingga sekarang masih
belum mengenal masker, hand sanitizer,
dan menerapkan social distancing? Kalau
ada yang belum mengenal ketiga kata tersebut, patut dipertanyakan keberadaannya
selama hampir setahun ini. Yah, pastinya kita tidak asing lagi dengan kata-kata
tersebut. Sebab, memang sudah hampir setahun mereka menjadi kebutuhan dan
keharusan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena alasan apalagi, kalau bukan
karena virus baru yang menyebar di hampir seantero dunia dan belum ditemukan
vaksinnya hingga saat ini.
Virus baru ini diperkirakan berasal dari
Wuhan, Provinsi Hubei, Cina dan pertama kali diidentifikasi keberadaannya pada
akhir tahun 2019. Hanya dalam kurun waktu beberapa bulan, virus ini menular
dengan cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia.
Virus yang bernama Corona atau Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan. Virus ini telah menjadi pandemi bagi dunia.
Artinya, virus Corona atau lebih dikenal dengan nama Covid ini telah menyebar
secara luas di dunia.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan,
pada umumnya Virus Corona menyebabkan gejala yang ringan atau sedang, seperti
demam dan batuk, dan kebanyakan bisa sembuh dalam beberapa minggu. Sekalipun demikian,
bagi sebagian orang yang berisiko tinggi (kelompok lanjut usia dan orang dengan
masalah kesehatan menahun, seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, atau
diabetes), Virus Corona dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius hingga
kematian. Kebanyakan korban berasal dari kelompok berisiko itu.
Untuk memutus rantai penyebaran Corona, World Health Organization (WHO) atau
Badan Kesehatan Dunia mengeluarkan protokol kesehatan. Beberapa protokol yang
harus ditaati yaitu menjaga kebersihan tangan, jangan menyentuh wajah,
menerapkan etika saat batuk dan bersin, isolasi mandiri, jaga jarak, dan
menjauhi kerumunan. Karena penindaklanjutan protokol kesehatan dan angka penularan yang tinggi, maka di seluruh belahan dunia banyak perusahaan
yang menerapkan sistem work from home atau
bekerja dari rumah, ibadat online,
hingga penerapan online class.
Kita patut mengapresiasi penerapan sistem
online di berbagai bidang kehidupan saat
pandemi ini. Selain memutus penyebaran virus, juga menandakan adanya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sayangnya, kemajuan peradaban yang luar biasa ini belum
sepenuhnya diapresiasi oleh masyarakat. Sebab, penggunaan teknologi yang
canggih harus dibarengi dengan modal yang kuat serta situasi dan kondisi yang memungkinkan.
Virus corona pertama kali menyebar ke
Indonesia pada awal Maret 2020. Maka sejak pertengahan Maret, berbagai
aktifitas dilakukan secara online
termasuk aktivitas pembelajaran di sekolah. Keputusan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI ini diterapkan untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang semakin
meluas. Perubahan pembelajaran ini diterapkan mulai dari pendidikan sekolah dasar
hingga perguruan tinggi.
Tak bisa dipungkiri, perubahan proses
pembelajaran ke sistem daring atau online memanglah sangat sulit dilakukan
apalagi diterapkan di Indonesia sebagai negara berkembang. Penerapan
pembelajaran jarak jauh ini pun tidak dibarengi dengan persiapan yang cukup
sehingga menimbulkan berbagai hambatan baru. Akibatnya, banyak tenaga pendidik
yang bingung menentukan metode apa yang paling efektif. Ditambah rendahnya
pengetahuan guru untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi. Maka tak heran
jika banyak materi pembelajaran yang hanya diberikan sebagai tugas bagi peserta
didik.
Selain itu, pembelajaran online juga mengharuskan peserta didik
memiliki perangkat pembelajaran, setidaknya smartphone
atau laptop. Karena merupakan media utama yang harus disediakan, peserta didik
yang berasal dari keluarga tak mampu banyak yang memilih untuk berhenti sekolah.
Kalaupun perangkat pembelajaran dimiliki, kebutuhan akan kuota internet setiap
bulan tetap menjadi beban tersendiri bagi masyarakat miskin. Berdasarkan riset yang
dilakukan Gredu yang merupakan platform
teknologi pendidikan untuk mewujudkan evolusi digital di sekolah, kuota yang
dihabiskan setiap anak adalah 1 GB
perhari. Ini berarti selama satu bulan kuota yang dihabiskan oleh setiap peserta
didik yaitu 30 GB atau lebih. Kuota 30 GB perbulan ini memungkinkan orang tua
merogoh kocek sebesar 200 ribu atau lebih untuk setiap bulannya. Kesadaran akan
kondisi keluarga inilah yang membuat anak tertekan dan memutuskan untuk
berhenti sekolah.
Selain keadaan ekonomi yang menyebabkan
banyak anak putus sekolah, sinyal atau jaringan juga mempengaruhi proses
pembelajaran. Jaringan yang buruk ketika mengikuti proses pembelajaran online memang sangat menyebalkan karena
banyak materi yang terlewatkan. Demi kelancaran proses pembelajaran, tak
sedikit peserta didik yang berpindah-pindah dari desa satu ke desa lainnya,
memanjat pohon, menggunakan handy talky,
bahkan ada yang harus menempuh puluhan kilometer untuk mendapatkan jaringan
yang bagus.
Peserta Didik Belajar dalam Depresi
Hambatan paling besar yang dihadapi
peserta didik Indonesia sekarang ini adalah pemberian tugas yang menumpuk yang
berujung pada depresi. Bahkan di medio Oktober 2020, seorang siswi SMA di Gowa,
Sulawesi Selatan mengakhiri hidupnya lantaran depresi karena banyaknya tugas
sekolah selama menjalani Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ (Kompas, 23/10/2020). Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital
Indonesia, Muhammad Ramli Rahim mengatakan standar penugasan oleh guru tidak
diatur, baik oleh Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi, maupun Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota. Ia menganalogikan, jika setiap guru memberikan satu
tugas setiap minggu, maka setiap siswa akan mendapatkan 14-16 tugas yang harus
dituntaskan sebelum mata pelajaran dilanjutkan pada minggu berikutnya.
Guru atau tenaga pendidik dapat dengan
mudah memberikan tugas pada pesetra didik tanpa mempertimbangkan seberapa berat
tugas yang diberikan. Pembelajaran jarak jauh yang cenderung memberatkan siswa
telah mengakibatkan depresi bahkan berujung pada kejadian bunuh diri. Fakta ini
harusnya menjadi tamparan keras bagi Kemendikbud Indonesia agar segera
menemukan solusi yang efektif agar tidak ada lagi peserta didik yang melakukan
hal nekat serupa. Namun sayangnya, belum lama setelah peristiwa bunuh diri itu
terjadi, di ujung bulan yang sama peristiwa tragis dengan alasan yang sama
terulang. Seorang siswa SMP di Tarakan, Kalimantan Utara ditemukan dalam
kondisi tak bernyawa setelah gantung diri di kamarnya (Tribunnews, 30/10/2020).
Sungguh memilukan sekaligus memalukan.
Sekarang, yang paling dibutuhkan adalah
langkah tegas Kemendikbud untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan pembelajaran
daring. Hasil evaluasi ini memungkinkan adanya kebijakan pembelajaran yang
memberi arahan kepada tenaga pendidik dalam menerapkan pembelajaran online agar peserta didik tidak belajar
dalam tekanan. Mens sana in corpore sono,
di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Ungkapan ini merujuk
pada keseimbangan antara fisik dan mental. Ketika lingkungan membebani peserta
didik dengan tugas menumpuk dalam waktu yang singkat, maka bukan tidak mungkin
anak mengalami beban mental yang pada suatu waktu menyebabkan depresi dan
berujung pada tindakan kekerasan. Dengan demikian, tenaga pendidik juga
diharapkan untuk mempertimbangkan kembali berat tugas yang diberikan dengan
waktu pengumpulannya. Kewajiban seorang tenaga pendidik adalah menghasilkan
manusia yang pandai, bukan terbebani. Karena itu, jangan biarkan generasi penerus
kita belajar dalam depresi.
0 Comments