Oleh: RP. Ovan, O.Carm
Imam Karmelit dan Kepala SMPK Alvarez Paga
Waktu itu aku ingat kisah seorang guru yang berbaur
dengan serpihan kapur tulis juga dengan penghapus kain yang membungkus hangat
kapas-kapas kecil lalu menjadi kian halus pun kasar di papan hitam depan
kelas. Kelas yang dibangun dari
dinding-dinding halar, bangku-bangku yang menjerit minta diganti, jendela kelas
yang dipaku dari bambu-bambu lapuk serta pintu-pintu kelas yang semakin
melingkar besar-membentuk sumur yang kapan saja setiap kami bisa keluar masuk
tanpa harus membuka pintu terlebih dahulu.
Lonceng tua yang
dibuat dari besi-besi panas kemudian dipadatkan dan disimpan tepat di depan
ruang guru melengking nyaring memanggil satu per satu anak-anak manusia untuk
datang dan pergi usai pelajaran. Buku-buku pelajaran yang masih terbilang sangat minim tak
bisa mengimbangi semangat membaca yang tumbuh dari anak-anak kecil itu. Lapangan
sepak bolayang dicangkul dari sisa-sisa lahan sawah, diratakan dan setiap
pembatas garis pinggir dibuat dari bilah-bilah bambu yang kapan saja selalu
mengeluarkan darah usai perebutan bola yang keras dan kasar dari dua kubu
pertandingan.
Petak-petak lain,
tempat permainan bagi siswa-siswi yang hobbi bermain tali merdeka, kelereng,
karet, bola kasti dan berbagai jenis permainan masa kecil itu tumpuk di antara
petak-petak kecil yang disayangkan sekali. Sungguh, dulu di
tengah sarana yang tidak memadai bisa dibilang kesadaran dan kualitas
kreativitas dan inovatif dari setiap peserta didik benar-benar diasah dan
dibentuk dalam spirit ingin berkembang serta maju. Kini, semuanya terlihat
sangat berbeda. Dunia yang serba ada dan bisa membuat instan berpikir dalam
setiap peserta didik. Sekalipun tidak semua untuk menjadi kesimpulan akhir dari
setiap premis-premis yang dibangun dalam sebuah perbandingan yang lalu, kini
dan yang akan datang.
Nama guru itu,
Klemens. Kini usianya terlalu senja untuk meminta ia mengabdi
kembali di sebuah lembaga pendidikan di kampung ini. sosoknya yang disegani
oleh para siswa/siswi pun oleh masyarakat di kampung ini membuatnya cukup
elegan. Ia disegani oleh pembawaan dirinya yang disiplin, prinsip dan rapih.
Pada masanya menjadi guru tak seorang pun yang berani masuk telat ke sekolah
bahkan takada seorang pun yang pada sore hari di jam-jam 17:00 ke atas masih
berkeliaran khususnya pada peserta didik baik itu siswa/siswi Sekolah Dasar
(SD) maupun yang Sekolah Menengah Atas (SMA). Setiap jam-jam itu, semua peserta
didik mulai sibuk dengan buku-buku pelajaran dan tugas-tugas rumah yang perlu
dikerjakan.
Orang-orang tua
merasa sangat baik tanpa harus kepala sakit memanggil anak-anaknya pulang dari
tempat bermain. Pak Klemens setiap menjelang jam 17:00 mulai duduk di depan
rumahnya sambil mengamat-ngamati siapa saja siswa/siswi yang masih
mondar-mandir belum siap untuk belajar.
Ia tidak akan memukul
anak-anak didiknya itu. ia juga tidak akan marah. Bahkan ia tidak akan memberi
sanksi, namun ia akan memberi pertanyaan-pertanyaan seputar materi pelajaran
yang telah mereka dapat saat berlangsung pelajaran entah pada hari itu maupun
pada hari-hari, bulan dan tahun-tahun yang lalu. Setiap peserta didik yang
tidak mampu menjawabi pertanyaan itu dengan sangat rendah hati dimintanya untuk
membaca sebuah buku yang akan diberikannya lalu menceritakannya kembali setiap
cerita dari buku yang telah ia berikan untuk dibaca pada saat itu.
Pak Klemens tidak
saja menjadi guru di Sekolah Dasar (SD) ia merangkap hingga Sekolah Menengah
Atas (SMA). Ya, bedahlah dulu kekurangan guru dan hampir jarang ada guru yang
mau mengabdi di sebuah desa kecil dengan perkampungan yang sulit dijangkau. Ia
menjadi salah satu guru pada masanya yang mampu menunjukkan pelayanan total
dalam pengabdian menjadi guru.
Ya, kalian tahu
ada kisah menarik pada masa itu. Tidak salah ingat hari itu, hari Senin di
bulan November. Di sekolah rutinitas hari Senin adalah apel bendera bersama.
Usai apel bendera bersama Wedy dan Tius saling beradu mulut, masalah sepele dan
menjadi lelucon yang menarik untuk dikenang hingga sekarang.
Pagi itu Pak
Klemens dipercayakan menjadi pembina upcara dalam apel hari Senin itu. Pemimpin
upacaranya adalah Fredi, lelaki tinggi dan cukup disegani semasa bangku sekolah
dasar, apalagi beliau adalah senior yang terus menjadi sesepuh. Penggerek
benderanya Budi, Titus dan Miranda. Miranda menjadi pembawa bendera pagi itu.
pembawa doanya adalah Jemy dan pembawa teks pancasila adalah Nina. Semua mereka
telah dipersiapkan secara baik pada hari Sabtu lalu. Pelatihan baris berbaris
dilakukan kepada mereka oleh Pak Klemens sendiri.
Pak Klemens adalah
seorang guru dengan peran yang begitu berganda-ganda. Setiap lini bisa diatasi
dan ditanganinya dengan baik. Rasa hormat, tanggung jawab dan pengabdian yang
total membuatnya benar-benar menjadi tokoh ideal untuk diidolakan hampir oleh
semua kami, apalagi berperawakan ganteng dengan kulit kuning langsat yang
membuatnya cukup menawan di mata beberapa guru perempuan masa itu.
Proses apel
bendera pagi itu berjalan dengan baik. Hingga Pak Klemens selaku pembina
upacara memberikan beberapa point amanah yang sederhana dan praktis untuk kami
semua laksanakan. Ia dengan lantang berbicara tentang kemerdekaan belajar,
kebebasan belajar, spirit ingin tahu, disiplin, prinsip dan berbagai hal
dipertegaskan kembali olehnya dengan lantang sambil menyerukan semboyan guru
dalam dunia pendidikan Tut Wuri Handayani.
Sehabis apel
bendera pagi itu yang ditutup dengan doa lalu laporan akhir dari pemimpin
upacara kepada pembina upacara serta diakhiri dengan suara lantang Fredi yang
membubarkan apel pagi itu. Dalam perjalanan menuju ruangan kelas masing-masing
di sinilah terjadi perselisihan pemahaman yang akhirnya nyaris berakhir dengan baku hantam di antara Wedy dan Tius.
Keduanya
berselisih pendapat tentang Tut Wuri
Handayani, bagi Wedy, dia tidak puas
dengan Pak Klemens sebab Pak Klemens meneriaki semboyan guru dalam dunia
pendidikan yang salah. Baginya bukan itu semboyan guru dalam dunia pendidikan,
sebab yang sebenarnya “Ing Ngarsa Sung Tulada,”
ucap Wedi berapi-api. “Ah Wedi, kamu juga itu salah bukan itu yang sebenarnya,
yang benar dari semboyan guru dalam dunia pendidikan adalah Ing Madya Mangun
Karsa,” sambung Tius.
Keduanya saling beradu pendapat hingga
akhirnya masuklah Merry sebagai orang ketiga, sekaligus dikenal sebagai siswi
prestasi bagi angkatan mereka juga bagi sekolah itu sendiri. Merry memberi
penjelasan sederhana tentang Tut Wuri Handayani, Ing Ngarsa Sung Tulada, dan
Ing Madya Mangun Karsa. Penjelasan yang tidak lengkap sekalipun
sederhana justru membuat Wedi dan Tius semakin panas sehingga Hans selaku ketua
kelas mereka melaporkan perselisihan kedua temannya kepada Pak Klemens di Ruang
Guru. Dan semua guru pada saat itu serempak tertawa karena cukup menjadi
lelucon yang menarik.
Beberapa menit kemudian Pak Klemens yang
didampingi Hans datang ke tempat Wedi dan Tius berselisih tanpa banyak
berbicara Pak Klemens langsung melerai keduanya dan meminta semua mereka masuk
ke dalam kelas. Di sana Pak Klemens menjelaskan tiga semboyan guru dalam dunia
pendidikan yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara.
***
Anak-anakku sekalian, kalian tahu betapa bapak
mengidolakan Pak Klemens pada masa itu hingga sekarang. Salah satu alasan
hingga bapak bisa berdiri di hadapan kalian itu juga berkat Pak Klemens, dalam
jiwa pengabdian dalam pembangunan sumber daya manusia di kampung kita dan
tentang pengabdiannya di masyarakat dan di tengah keaktifan dalam hidup
beragama.
Begitulah ceritanya anak-anakku sekalian.
Kenang Pak Petric kepada anak-anaknya saat dipercayakan menjadi Pembina upaca
dalam Apel memperingati Hari Guru nasional yang ke-75 tahun dan asal kalian
tahu tema yang diangkat tahun ini sebenarnya telah dilakukan oleh Pak Klemens
yakni "Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar".
Selamat memperingati Hari Guru.
Mageria, 2020.
0 Comments