Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

CERITA SEORANG GURU

 


Oleh: RP. Ovan, O.Carm

Imam Karmelit dan Kepala SMPK Alvarez Paga

 

Waktu itu aku ingat kisah seorang guru yang berbaur dengan serpihan kapur tulis juga dengan penghapus kain yang membungkus hangat kapas-kapas kecil lalu menjadi kian halus pun kasar di papan hitam depan kelas.  Kelas yang dibangun dari dinding-dinding halar, bangku-bangku yang menjerit minta diganti, jendela kelas yang dipaku dari bambu-bambu lapuk serta pintu-pintu kelas yang semakin melingkar besar-membentuk sumur yang kapan saja setiap kami bisa keluar masuk tanpa harus membuka pintu terlebih dahulu.

 

Lonceng tua yang dibuat dari besi-besi panas kemudian dipadatkan dan disimpan tepat di depan ruang guru melengking nyaring memanggil satu per satu anak-anak manusia untuk datang dan pergi usai pelajaran. Buku-buku pelajaran yang masih terbilang sangat minim tak bisa mengimbangi semangat membaca yang tumbuh dari anak-anak kecil itu. Lapangan sepak bolayang dicangkul dari sisa-sisa lahan sawah, diratakan dan setiap pembatas garis pinggir dibuat dari bilah-bilah bambu yang kapan saja selalu mengeluarkan darah usai perebutan bola yang keras dan kasar dari dua kubu pertandingan.

 

Petak-petak lain, tempat permainan bagi siswa-siswi yang hobbi bermain tali merdeka, kelereng, karet, bola kasti dan berbagai jenis permainan masa kecil itu tumpuk di antara petak-petak kecil yang disayangkan sekali. Sungguh, dulu di tengah sarana yang tidak memadai bisa dibilang kesadaran dan kualitas kreativitas dan inovatif dari setiap peserta didik benar-benar diasah dan dibentuk dalam spirit ingin berkembang serta maju. Kini, semuanya terlihat sangat berbeda. Dunia yang serba ada dan bisa membuat instan berpikir dalam setiap peserta didik. Sekalipun tidak semua untuk menjadi kesimpulan akhir dari setiap premis-premis yang dibangun dalam sebuah perbandingan yang lalu, kini dan yang akan datang.

 

Nama guru itu, Klemens. Kini usianya terlalu senja untuk meminta ia mengabdi kembali di sebuah lembaga pendidikan di kampung ini. sosoknya yang disegani oleh para siswa/siswi pun oleh masyarakat di kampung ini membuatnya cukup elegan. Ia disegani oleh pembawaan dirinya yang disiplin, prinsip dan rapih. Pada masanya menjadi guru tak seorang pun yang berani masuk telat ke sekolah bahkan takada seorang pun yang pada sore hari di jam-jam 17:00 ke atas masih berkeliaran khususnya pada peserta didik baik itu siswa/siswi Sekolah Dasar (SD) maupun yang Sekolah Menengah Atas (SMA). Setiap jam-jam itu, semua peserta didik mulai sibuk dengan buku-buku pelajaran dan tugas-tugas rumah yang perlu dikerjakan.

 

Orang-orang tua merasa sangat baik tanpa harus kepala sakit memanggil anak-anaknya pulang dari tempat bermain. Pak Klemens setiap menjelang jam 17:00 mulai duduk di depan rumahnya sambil mengamat-ngamati siapa saja siswa/siswi yang masih mondar-mandir belum siap untuk belajar.

 

Ia tidak akan memukul anak-anak didiknya itu. ia juga tidak akan marah. Bahkan ia tidak akan memberi sanksi, namun ia akan memberi pertanyaan-pertanyaan seputar materi pelajaran yang telah mereka dapat saat berlangsung pelajaran entah pada hari itu maupun pada hari-hari, bulan dan tahun-tahun yang lalu. Setiap peserta didik yang tidak mampu menjawabi pertanyaan itu dengan sangat rendah hati dimintanya untuk membaca sebuah buku yang akan diberikannya lalu menceritakannya kembali setiap cerita dari buku yang telah ia berikan untuk dibaca pada saat itu.

 

Pak Klemens tidak saja menjadi guru di Sekolah Dasar (SD) ia merangkap hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Ya, bedahlah dulu kekurangan guru dan hampir jarang ada guru yang mau mengabdi di sebuah desa kecil dengan perkampungan yang sulit dijangkau. Ia menjadi salah satu guru pada masanya yang mampu menunjukkan pelayanan total dalam pengabdian menjadi guru.

 

Ya, kalian tahu ada kisah menarik pada masa itu. Tidak salah ingat hari itu, hari Senin di bulan November. Di sekolah rutinitas hari Senin adalah apel bendera bersama. Usai apel bendera bersama Wedy dan Tius saling beradu mulut, masalah sepele dan menjadi lelucon yang menarik untuk dikenang hingga sekarang.

 

Pagi itu Pak Klemens dipercayakan menjadi pembina upcara dalam apel hari Senin itu. Pemimpin upacaranya adalah Fredi, lelaki tinggi dan cukup disegani semasa bangku sekolah dasar, apalagi beliau adalah senior yang terus menjadi sesepuh. Penggerek benderanya Budi, Titus dan Miranda. Miranda menjadi pembawa bendera pagi itu. pembawa doanya adalah Jemy dan pembawa teks pancasila adalah Nina. Semua mereka telah dipersiapkan secara baik pada hari Sabtu lalu. Pelatihan baris berbaris dilakukan kepada mereka oleh Pak Klemens sendiri.

 

Pak Klemens adalah seorang guru dengan peran yang begitu berganda-ganda. Setiap lini bisa diatasi dan ditanganinya dengan baik. Rasa hormat, tanggung jawab dan pengabdian yang total membuatnya benar-benar menjadi tokoh ideal untuk diidolakan hampir oleh semua kami, apalagi berperawakan ganteng dengan kulit kuning langsat yang membuatnya cukup menawan di mata beberapa guru perempuan masa itu.

Proses apel bendera pagi itu berjalan dengan baik. Hingga Pak Klemens selaku pembina upacara memberikan beberapa point amanah yang sederhana dan praktis untuk kami semua laksanakan. Ia dengan lantang berbicara tentang kemerdekaan belajar, kebebasan belajar, spirit ingin tahu, disiplin, prinsip dan berbagai hal dipertegaskan kembali olehnya dengan lantang sambil menyerukan semboyan guru dalam dunia pendidikan Tut Wuri Handayani.

 

Sehabis apel bendera pagi itu yang ditutup dengan doa lalu laporan akhir dari pemimpin upacara kepada pembina upacara serta diakhiri dengan suara lantang Fredi yang membubarkan apel pagi itu. Dalam perjalanan menuju ruangan kelas masing-masing di sinilah terjadi perselisihan pemahaman yang akhirnya nyaris berakhir dengan baku hantam di antara Wedy dan Tius.

 

Keduanya berselisih pendapat tentang Tut Wuri Handayani, bagi Wedy, dia tidak puas dengan Pak Klemens sebab Pak Klemens meneriaki semboyan guru dalam dunia pendidikan yang salah. Baginya bukan itu semboyan guru dalam dunia pendidikan, sebab yang sebenarnya Ing Ngarsa Sung Tulada,” ucap Wedi berapi-api. “Ah Wedi, kamu juga itu salah bukan itu yang sebenarnya, yang benar dari semboyan guru dalam dunia pendidikan adalah Ing Madya Mangun Karsa,” sambung Tius.

 

Keduanya saling beradu pendapat hingga akhirnya masuklah Merry sebagai orang ketiga, sekaligus dikenal sebagai siswi prestasi bagi angkatan mereka juga bagi sekolah itu sendiri. Merry memberi penjelasan sederhana tentang Tut Wuri Handayani, Ing Ngarsa Sung Tulada, dan Ing Madya Mangun Karsa. Penjelasan yang tidak lengkap sekalipun sederhana justru membuat Wedi dan Tius semakin panas sehingga Hans selaku ketua kelas mereka melaporkan perselisihan kedua temannya kepada Pak Klemens di Ruang Guru. Dan semua guru pada saat itu serempak tertawa karena cukup menjadi lelucon yang menarik.

 

Beberapa menit kemudian Pak Klemens yang didampingi Hans datang ke tempat Wedi dan Tius berselisih tanpa banyak berbicara Pak Klemens langsung melerai keduanya dan meminta semua mereka masuk ke dalam kelas. Di sana Pak Klemens menjelaskan tiga semboyan guru dalam dunia pendidikan yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara.

 

***

 

Anak-anakku sekalian, kalian tahu betapa bapak mengidolakan Pak Klemens pada masa itu hingga sekarang. Salah satu alasan hingga bapak bisa berdiri di hadapan kalian itu juga berkat Pak Klemens, dalam jiwa pengabdian dalam pembangunan sumber daya manusia di kampung kita dan tentang pengabdiannya di masyarakat dan di tengah keaktifan dalam hidup beragama.

 

Begitulah ceritanya anak-anakku sekalian. Kenang Pak Petric kepada anak-anaknya saat dipercayakan menjadi Pembina upaca dalam Apel memperingati Hari Guru nasional yang ke-75 tahun dan asal kalian tahu tema yang diangkat tahun ini sebenarnya telah dilakukan oleh Pak Klemens yakni "Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar".

 

Selamat memperingati Hari Guru.

Mageria, 2020.

Post a Comment

0 Comments