Oleh: RP. Ovan, O.Carm
Imam Karmelit, saat ini menetap di Rumah Retret Nabi
Elia Mageria, Mauloo, Kabupaten Sikka
Nama perempuan itu
Tiara.
Sebagai anak
perempuan tunggal dalam keluarga yang beradat, Tiara tak lebih dari sekadar
korban dari pemahaman orang tua yang terlampau primitif. Di kampung, kebanyakan
orang tua tak menggubris anak
perempuan mereka untuk mengejar masa depan, meskipun demikian tidak sedikit
juga orang tua yang membiarkan anak perempuan mereka untuk mengejar mimpi-mimpi
mereka. Bukankah, sudah waktunya melihat perempuan dari sisi yang lain?
Usai menamatkan
pendidikan di sekolah dasar sepuluh tahun yang lalu, Tiara hanya mampu melihat
masa depannya di depan layar televisi hitam putih. Bahkan ia hampir mengubur
mimpi-mimpi itu dalam api yang membakar satu per satu kayu di tungku api,
tempat ia bercermin setiap harinya.
Teman-teman
seangkatannya sewaktu sekolah dasar, tidak sedikit yang memiliki nasib seperti
Tiara. Bahkan ada yang sama sekali tidak dibiarkan oleh orang tua mereka untuk
sekolah. Alhasil menetap di kampung dalam kebingungan angka-angka dan
huruf-huruf. Toh mereka-mereka itu dapat digolongkan dalam kelompok rabun
membaca dan menghitung. Jujur orang-orang seperti itu banyak sekali saat ini.
Akhir-akhir ini,
di kampungnya, Tiara lebih asyik
menemani ibu-ibu yang masuk dalam kelompok bertani. Kebetulan saja, di desa
mereka terdapat beberapa kelompok tani yang di dalamnya bisa digolongkan
sebagai kelompok ibu-ibu. Sistem kelompok bertani ini seperti arisan. Hanya
saja sistem arisan itu terkadang per-bulan, tri-wulan bahkan ada yang pakai
setahun sekali. Sedangkan dalam kelompok tani sistem arisannya per-hari
(bergilir) dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain. Terkadang juga
per-minggu. Syukurnya di kampung Tiara praktik arisan ibu-ibu bertani
menggunakan sistem per-minggu untuk dikerjakan. Misalnya sepekan ini di sawah
milik keluarga Tiara, pekan depannya di sawah milik keluarga Kavin, dan begitu
seterusnya.
Seperti hari ini,
Tiara dan ibunya sibuk menyiapkan makanan dan minuman bagi ibu-ibu bertani yang
sedang mengerjakan petak-petak sawah milik mereka. Sebagaimana dalam tradisi
adat mereka, bahwa darah ayam harus selalu ada di hari pertama mereka mulai
bekerja. Sehingga itulah yang dilakukan Tiara dan ibunya.
Hari terus
berlanjut, Toh seperti kata Eyang Sapardi “Yang Fana adalah waktu dan kita
abadi.” Waktu terus bergulir dan kehidupan mereka tetap demikian. Adat terus
menggerogoti kehidupan mereka. Tak ada seorang pun yang berani terlepas dari
adat dan kebiasaan di kampung itu. anak-anak, orang-orang tua sampai opa-oma
pun tunduk pada adat dan kebiasaan itu.
Kematian dan
kelahiran terus dirayakan tiap harinya. Bayi-bayi laki-laki dan perempuan
tumpah dalam tangis kecil mereka. Namun ada yang janggal setiap ada kelahiran
selalu ada pertanyaan laki-laki atau perempuan? Seolah-olah ada sekat yang
membatasi sebuah rasa syukur. Orang-orang tua takut pada kenyataan jika bayi
perempuan yang dilahirkan. Takut itu lebih dirasakan bukan akibat keinginan
yang menolak anugerah namun lebih kepada tidak mampu memenuhi impian masa depan
mereka.
Laki-laki
dibiarkan pergi, melalang buana bersama burung-burung di udara, berkicauan
menebar kegagahan dan seolah-olah jadi pahlawan dalam alam semesta. Sedang
anak-anak perempuan usai dilahirkan ibu-ibu mereka menyanyikan lagu-lagu
senduh, air mata menetes di antara wajah-wajah polos tanpa dosa.
Di kampungnya,
Tiara diam-diam membangunkan kesadaran membacanya. Di waktu senggang dari
kebiasaan-kebiasaan hariannya, Tiara menempatkan waktunya untuk membaca
buku-buku yang diberi oleh Gean.
Bisa dibilang
Tiara adalah seorang gadis dengan pemikiran yang cukup cemerlang. Meskipun
bermodal ijazah sekolah dasar, pemahaman Tiara akan situasi dan kondisi
kehidupan dunia saat ini bisa dipahaminya dengan baik.
Setiap kali
menonton beberapa tayangan berita di televisi hitam putih milik mereka dan
mendengar beberapa berita dari siaran radio tua milik ayahnya seputar politik
dan diskursus ibu pertiwi saat ini Tiara tidak sekadar mendengarkan namun
diam-diam dia menanggapinya dalam hati.
Gean adalah teman
seangkatan Tiara sewaktu sekolah dasar dulu. Gean tahu persis segala hal
tentang Tiara baik sikap, tutur kata dan kemampuan intelektualnya. Beberapa hal
itu, mendorong Gean untuk terus memberikan beberapa buku bacaan yang
dimilikinya kepada Tiara, secara rutin.
Diam-diam Gean
menyimpan rasa kagum kepada Tiara. Rasa kagum itu lahir dari relasi yang mereka
jalani. Mula-mula sebagai teman masa bermain dulu, hingga sampai menjadi pendorong
semangat Tiara untuk terus merasa dekat dengan masa depannya.
Beberapa bulan
yang lalu, Tiara hampir saja mengubur masa depannya bersama setiap suntukkan
kayu yang dinanaknya di tungku. Masa depan yang selalu menjadi iming-imingnya
untuk terus berlari dan bekerja tak kenal putus asa.
Untung saja, Tiara
masih ingat pada segala kebaikan Gean, temannya itu. Kebaikan Gean yang tumpah
dalam seluruh kehidupan Tiara membuat Tiara menjadi semakin hidup. Senyumnya
kembali sumringah dan Tiara diam-diam merasakan suasana hati yang lebih berbeda
dari biasanya.
Sebagai teman yang
selalu memberi semangat dan motivasi, Gean tak pernah berhenti menyarankan
Tiara untuk berani menulis. Bagi Gean, Tiara memiliki kemampuan berbahasa yang
baik. Setiap kali berbicara dengan Gean, Gean merasakan bahasa tuturnya runtut
dan sangat bermakna baik secara gramatikal maupun leksikal.
Ucapan Gean beberapa waktu lalu, usai memberikan buku yang berjudul “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, terus menggema di telinga Tiara. “Tiara, cobalah menulis. Menulis artikel, puisi ataupun cerpen. Mungkin masih kau ingat ungkapan Pak Arka, guru wali kita saat kelas V SD dulu “Rabun Membaca, Lumpuh Menulis.”
Lambat laun baru
aku paham bahwa ungkapan itu adalah ungkapan pepatah lama yang menyadarkan kita
(siapa saja) untuk terus membaca dan menulis sebab tanpa kedua-duanya apa
gunanya belajar dan hidup. Ungkapan-ungkapan itu terus memacuh adrenalin Tiara,
seorang gadis kampung yang hanya menamatkan Sekolah Dasar. Cita-citanya kandas
dalam kehidupan orang tuanya yang terlalu beradat tanpa berpikir jernih tentang
masa depan anak perempuan semata wayang mereka.
Di tengah dilema
dirinya dan ungkapan Gean, Tiara mencoba menulis sebuah artikel sederhana
tentang Perempuan. Tulisan yang sangat sederhana, mengulas secara transparan
tentang praktik kehidupan manusia beradat di kampung halamannya. Tulisanya yang
lahir dari realitas dan pengalaman inderawinya membuat air mata siapa saja
luluh. Itulah yang terjadi pada Gean.
Usai memberikan
tulisan artikel itu kepada Gean untuk dibaca dan diperbaiki, diam-diam tanpa
sepengetahuan Tiara, Gean mengirimkan artikel sederhana itu ke sebuah surat
kabar harian, sebuah media cetak lokal di ibu kota provinsi dengan tajuk
“Membongkar perspektif perempuan dalam tatanan adat dan kebiasaan pada
masyarakat primitifisme.”
Tulisan itu menuai
pujian sekaligus pertanyaan, terlebih seluruh kisah yang ditulis dengan cermat
dibahasakan secara lugas dan sederhana dengan alur ceritanya dilatarbelakangi
oleh tempat atau daerah di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Di kampungnya,
ramai-ramai orang membicarakan sosok perempuan itu, sebab saat Gean mengirim
tulisan itu ia membiarkan N.N (No Name) pada tulisan Tiara dengan berbagai
alasan yang dijelaskan secara langsung oleh Gean kepada editor surat kabar
harian lokal tersebut.
Artikel Tiara itu,
tempat membangunkan kesadaran kepada dunia bahwa Perempuan tidak saja diahirkan
sebagai seorang perempuan yang hanya menjadi pelayan kaum pria dan yang hanya
mengurusi seluruh tetek bengek kehidupan rumah tangga, namun lebih jauh dari
itu sisi lain pada perempuan harus dilihat dalam sebuah kaca mata yang berbeda.
Sebagaimana Najwa Shihab pernah bilang “sudah saatnya perempuan untuk berkerja
dan menunjukkan kualitasnya sama seperti laki-laki. Sebab bukan tidak mungkin
perempuan memiliki kualitasnya tersendiri.”
Tepat di perayaan
kesembilanpuluh dua tahun pada pemuda dan pemudi mengikrarkan sumpah mereka
untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu. Nama perempuan itu adalah
Tiara. Tiara Pramatusari, seorang kepala desa yang berdiri dengan gagah berani
meng-orasikan pesan dan kesannya tentang perempuan di tengah masyarakat adat
yang membangun kebiasaan dari kesadaran meng-adat tanpa berani mengalami
keterlemparan keluar dari diri sebagaimana kata filsuf Hermeneutik Gaddamer.
Saat itu ia
berdiri sebagai perempuan pertama yang terpilih menjadi kepada desa di kampung
mereka dengan mengikrarkan sumpah bahwa tak ada perempuan yang tak bisa, tak
ada perempuan yang tak mampu dan tidak ada perempuan yang diinginkan lahir
untuk menjadi babu dari adat dan kebiasaan. Kita semua berhak atas kehidupan
yang layak dan tempat yang layak dalam seluruh kesetaraan kedudukkan dan
posisi.
Selamat merayakan Hari Sumpah Pemuda.
Mageria, di
penghujung Oktober 2020.
2 Comments
wah keren sekali ni tiara kak, makasih ya udah share dan btw ada informasi tentang cara budidaya ikan koi dan budidaya kutu air kah? dan jangan lupa untuk kunjungi koinx.id
ReplyDeletewahhhh rameee ya cara menyadap WhatsApp lewat Google dan cara menyadap WA pasangan di HP kita dan jangan lupa kunjungi blog kita ya di Macamcerita.com
ReplyDelete