Sastrawan,
penulis novel Kolong Surga
Tinggal di
Yogyakarta
Cinta adalah sebentuk kata paling primitif dan abadi. Ia
telah ada jauh sebelum peradaban melintas dalam benak manusia. Cinta Adam
kepada Hawa, siapa pula yang meragukannya. Kekuatan cintanya mampu melintas samudera
dan benua. Adam dan Hawa diturunkan di tanah berbeda, saling mencari hingga
bertemu di daratan lainnya.
Cinta akan selalu tumbuh, meski ia dipangkas oleh
gelapnya sakit hati dan dibakar panasnya api cemburu. Benih cinta akan tetap
tersisa meski harus tersembunyi di lubuk terdalam sebentuk hati. Cinta dimiliki
siapa saja bahkan di hati mereka yang tidak pernah berkata, aku cinta padamu.
Melalui seratus puisi dalam antologi Bahana Cinta , Joni Liwu berhasil membawa segenap pembaca untuk
berasyik masuk dengan aroma cinta yang begitu kuat dan pekat. Dengan pilihan
kata memeluk bumi, Joni telah membuktikan bahwa setiap kata mampu mengemban
makna dengan prima ketika dibalut dengan nuansa rasa yang
pas. Ia mampu menjawab eksperimen sampai di mana kemampuan bahasa sehari-hari
yang sederhana dapat mengungkapkan hal paling romantis dan puitis dalam
kehidupan.
Bak Gunung Mutis yang gagah dan Pantai Rako yang menawan,
Joni Liwu merengkuh cinta bersandar di kokoh bahunya dalam basuhan kidung
pengantar lelap. Puisi-puisinya begitu
manis dan mengena. Sesekali terasa kompleks, mendalam, dan sangat serius
mengarungi bahtera cinta. Cinta kepada kekasih, juga kepada pengukir jiwa
raganya.
Bukan Joni Liwu kalau tidak mampu membalut aroma cinta
dengan aneka rupa kisah. Seperti kisah kepahlawanan dalam “Kartini”, misalnya.
Atau puisi yang berjudul “Sumringah Anak Bangsa” yang mengajak anak-anak negeri
untuk tidak lelah memperjuangkan cita selagi raga masih
kuat dan muda. Puisi “Tulus” untuk Pahlawan
Bendera Merah Putih dari NTT, Yohanes Ande Kala Marcal alias Jon pun terasa
begitu dalam dan mengena.
Seperti judul ulasan ini, Joni Liwu juga mampu dengan
apik membungkus cintanya dalam pelukan religiusitas yang pekat. Puisi “Seruni
Ahad” dengan jelas meminta tuntunan Yang Kuasa agar selalu dibimbing ke
jalan-Nya, agar tak luluh dan remuk didera sesal di kemudian hari lewat denting
lonceng gereja yang mampu menguak takdir-Nya.
Bahana Cinta adalah
puisi-puisi yang menjadi refleksi perjalanan dan pencarian makna cinta berbalut
lembar-lembar religiusitas seorang Joni Liwu. Ia mampu memanfaatkan
metafora-metafora untuk mendukung citraan visual dalam sajak-sajaknya. Ia lihai
dalam menggunakan perangkat kata, metafora-metafora yang orisinal, dan terasa
baru. Siapa yang tidak gemas dengan bait sekaligus sebentuk puisi berjudul
“Kaemde” ini:
Uji nyali
Di atas tali
Walau sekali
Tetap bernyali.
Apa yang ingin diungkap Joni Liwu dari puisi sembilan
kata tersebut? Ia bicara tentang nyali, tetapi entah siapa yang tahu nyali
dalam hal apa yang ia mau. Nyali dalam cinta, nyali menjadi pahlawan, atau
malah nyali untuk menghadap Tuhan? Joni Liwu pun sekadar membandingkan nyali dengan tali, tetapi jangan salah, melalui
seutas tali orang bisa bangkit kembali bernyali, tetapi lewat seutas tali pula
segala yang hidup bisa menjumpai kematian.
Melalui sebentuk puisi yang hanya terdiri dari satu bait,
Joni Liwu mampu meracik metafora yang membuat pembaca berpikir sangat dalam dan
lama. Melalui sembilan kata Joni Liwu telah mampu mengaduk perasaan pembaca.
Joni Liwu mampu membuat puisi paling pendek itu menjadi puisi yang paling
multiinterpretasi di antara 99 puisi yang lainnya. Ia boleh
saja dipahami secara dangkal oleh pembaca pemula, tetapi pasti dipahami secara
sangat dalam oleh pembaca yang sudah banyak makan asam garam. Begitu pula
dengan muatan emosi yang pada akhirnya menciptakan ledakan makna yang hebat
dari puisi singkat tersebut. Yaitu muatan tentang rasa yang dimiliki oleh
penyair yang dituangkan ke dalam sajak sembilan kata itu.
Di akhir sajaknya, penyair mulai menunjukkan kedalaman
religiusitas itu. Pada “Perhentian” Joni Liwu menyadari bahwa segala hal Yang
Maha Kuasa memegang peran di atas segalanya. Sehingga, ia memberanikan diri
untuk menyatakan bahwa semuanya ada waktunya. Akan tetapi, penyair tetap
berharap, semua yang telah terjadi tetap bermakna. Ia hanya bisa berharap agar
jalan tetap seiring, selagi nyawa masih sudi memeluk raga.
Di perhentian ini,
Hendak kujabat tanganmu
Agar sua kita bermakna,
Agar jalan kita seiring
Syukuri jantung masih berdenyut,
Syukuri hidup yang tetap mendekap.
Sukses, Sahabatku! Cinta akan tetap abadi melampaui usia manusia itu
sendiri. Seabadi namamu yang akan selalu disebut lewat puisi-puisimu. Salam.
0 Comments