Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

KEDAULATAN MARITIM (Membangun Kedaulatan Pangan dari Laut)

 





Yusta Roli Ramat, M.Hum

Redaktur Cakrawala NTT

 




Pengantar Redaksi:

Tanggal 23 September diperingati sebagai Hari Maritim Nasional. Dalam konteks tersebut, redaksi menurunkan tulisan ini untuk menggugah kesadaran kita akan pentingnya menjaga kedaulatan maritim sebagai bagian dari semangat nasionalisme dalam bingkai NKRI. Tulisan ini menghantar penulis meraih Juara III Wilayah Dua Lomba Menulis Artikel Parade Cinta Tanah Air Tingkat Pusat Tahun 2015 (Kementerian Pertahanan RI). Selamat Hari Maritim Nasional Tahun 2020!

 

Pengantar

  

Diskusi tentang kedaulatan bangsa sedikit miris jika melihat banyak realitas miring dalam konteks sosial Indonesia saat ini. Sebab, sebagai bangsa yang telah ada sejak dahulu dan negara yang telah merdeka tujuh puluh tahun (tahun 2015, red) Indonesia mestinya tidak lagi bermasalah dengan banyak hal. Usia tujuh puluh (tahun 2015, red) merupakan usia dewasa bahkan sangat dewasa dalam kategori fisik biologis. Di usia demikian, Indonesia masih berkutat dengan masalah kemiskinan, rawan pangan, gizi buruk, masalah pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

 

Beragam masalah itu menarik untuk dibahas dan dihubungkan dengan konteks kedaulatan bangsa kita. Untuk tujuan itu maka tulisan ini membahas satu masalah krusial terkait dengan pangan. Sebab, sebagai manusia biologis, pembangunan apa pun bentuk dan modelnya baru dapat berjalan jika perut manusia di dalamnya kenyang. Tulisan ini dimulai dengan sebuah tesis utama. Kedaulatan bangsa hanya dapat dipahami sejauh memahami kedaulatan pangan, dan kedaulatan pangan akan tercapai jika kita mengoptimalkan pemanfaatan SDA laut yang ada di Indonesia. Dengan demikian, jika bangsa ini tidak lagi terjebak dalam situasi rawan pangan maka bangsa Indonesia akan berdaulat.

 

Konteks Indonesia

 

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi (BDPTT) Marwan Jafar  mengungkap, hingga saat ini masih terdapat 57 kabupaten dari total 508 kabupaten/kota di Indonesia yang masuk kategori rawan pangan. Daerah rawan pangan ini hampir menyebar di seluruh wilayah di Indonesia yakni sebagian besar di Papua, dan Nusa Tenggara Timur serta sebagiannya menyebar di  Nusa Tenggara Barat, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Luasnya penyebaran daerah rawan pangan ini merupakan situasi kronis dimana semua elemen masyarakat  dituntut untuk bergandengan tangan memerangi dan melenyapkan bahaya rawan pangan. 

 

Dalam UU/No 7/Tahun 1996 dan disempurnakan menjadi UU/No 68/Tahun 2002 tentang ketahanan pangan dijelaskan bahwa: “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.

 

Persoalannya adalah bahwa di Indonesia pangan identik dengan darat dan pertanian. Pangan dimengerti sejauh memahami pertanian. Padahal, laut memiliki biota yang menyokong dan mendukung ketahanan pangan. Berdasarkan penelitian LIPI yang di lakukan di perairan laut dalam Selatan Jawa dan Barat Sumatera, terungkap bahwa setidaknya terdapat 529 jenis biota yang berpotensi untuk mendukung ketahanan pangan melalui diversifikasi produk pangan. Masing-masing 415 termasuk dalam jenis ikan, 68 jenis udang dan kepiting, serta 46 lainnya adalah jenis cumi-cumi.

 

Indonesia juga memiliki sekitar 13 dari 20 spesies lamun dunia, 682 spesies rumput laut, 2.500 spesies moluska, 1.502 spesies krustasea, serta 745 spesies ekinodermata. Potensi sumber daya kelautan tersebut berpeluang untuk menghasilkan devisa negara jika dikelola secara bijaksana dan berkelanjutan. Karena laut kita memiliki luas wilayah 75% teritorial laut (5,8 juta km2) lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah daratan. Dan  jika seluruh potensi kelautan ini dikelola dengan baik maka diperkirakan 85% perekonomian nasional bakal sangat bergantung pada sumber daya kelautan termasuk pangan. Pembangunan Politik pangan kelautan yang pro  rakyat harus diaplikasikan dalam menjamin kecukupan kebutuhan pangan setiap individu secara merata, serta mampu mengentaskan pengangguran dan kemiskinan yang ada di Indonesia.

 

Revolusi Biru 

 

Rawan Pangan bukanlah suatu persoalan yang baru. Masalah ini sudah ramai diperbincangkan dunia sejak beberapa tahun silam. Kekhawatiran terhadap pangan telah ada dalam sejarah.  Sejak 10 ribu tahun yang lalu  di Tiongkok sudah mengenal lumbung untuk menyimpan makanan hingga saat musim lapar tiba. Istilah rawan pangan (food security) merupakan  kondisi  menurunya ketahanan pangan dalam masyarakat, baik yang sifatnya kronis (chronical food insecurity) maupun yang bersifat sementara (transitory food insecurity). Rawan pangan kronis merupakan situasi di mana kepemilikan pangan lebih sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan akan pangan tersebut dan terjadi sepanjang  waktu. Sedangkan rawan pangan sementara merupakan kondisi rawan pangan yang terjadi musiman. Meskipun sementara, rawan pangan seperti ini bersifat akut. Akut karena rawan pangan ini terjadi karena adanya kekeringan  atau musibah lainnya yang menyebabkan masyarakat mengalami kekurangan pasokan akan  pangan.

 

Revolusi hijau (green revolution) adalah pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi tanaman pangan, terutama tanaman serealia, (bahan makanan pokok seperti gandum, jagung, padi, kentang, sagu). Jadi tujuan dari revolusi hijau ini  adalah untuk mencukupi tanaman pangan penduduk. Tujuan tersebut tentunya berawal dari mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, budaya dan sosial.

 

Namun oleh karena penyeragaman pangan ke beras maka  menimbulkan dampak negatif yaitu terpeliharanya paradigma kita yang selalu beranggapan bahwa pangan hanya kita peroleh sejauh kita mengolah lahan daratan dengan baik. Padahal Indonesia merupakan tanah air, yang berarti bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari tanah tetapi juga air yang memiliki luas 3 kali lipat lebih luas dari daratan. Sementara di lain pihak  pertumbuhan penduduk semakin meningkat dari tahun ketahun, konversi lahan menjadi pemukiman penduduk serta berdirinya bangunan-bangunan megah terus terjadi, belum lagi kekeringan yang terjadi dimana-mana merupakan faktor penyebab gagalnya revolusi hijau tersebut.

 

Padahal, dengan mengolah sumber daya air khususnya lautan di Indonesia secara optimal, saya yakin Indonesia akan menjadi negera maritim yang besar dan mandiri. Wacana tentang rawan pangan bagi Indonesia merupakan suatu yang sangat mustahil terjadi jika kita memanfaatkan sumber daya kelautan secara maksimal. Penganekaragaman pangan ini membutuhkan perubahan paradigma soal makanan sehat. Makan beras ternyata dapat memicu penyakit diabetes dan Indonesia adalah negara dengan penderita diabetes terbanyak keempat di dunia. Oleh karena itu, pembangunan kelautan menjadi sangat strategis bila dikaitkan dengan ketahanan pangan dan nutrisi. Sebab, di masa yang akan datang, laut merupakan kontributor terpenting bagi ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia.

 

Selama ini banyak orang beranggapan, laut hanya menyediakan sumber protein. Sebetulnya laut menyediakn lebih banyak dari itu. Laut bukan hanya menyediakan sumber protein, tapi juga kebutuhan sumber-sumber makanan  lainnya, seperti karbohidrat, vitamin dan mineral. Berangakat dari persoalan diatas, hemat saya sudah saatnya kita harus fokus  kerevolusi biru (The Blue Revolution) bila kita ingin mencapai kedaulatan pangan. Karena itu pembangunan budaya kelautan harus dilaksanakan secara komperhensif pada semua bidang kehidupan kita.

 

Arah Kebijakan Pangan Laut

 

Untuk mencapai kedaulatan pangan laut, maka berbagai upaya perlu dilakukan baik dari tingkat pusat hingga daerah. Yaitu yang pertama, mendorong pemerintah agar mengubah paradigma sumber pangan dari orientasi daratan ke arah lautan sebagai sumber pangan alternatif. Secara bertahap dan pasti industri bioteknologi pangan kelautan harus dibangun di setiap daerah pesisir lautan yang memiliki potensi produksi perikanan melimpah seperti di Indonesia kawasan timur, dan daerah kelautan terluar lainnya. Dengan begitu, maka pemerataan pembangunan di Indonesia bisa tercapai.

 

Kedua mengurangi bahkan menghapus impor bahan pangan yang bersumber dari kelautan. Indonesia harus belajar untuk mandiri. Karena itu perlu adanya gerakan cinta produk lokal. Ketiga, menjadikan sektor kelautan menjadi sumber kekuatan ekonomi nasional. Saatnya pembangunan nasional melebar ke kawasan pesisir. Permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir mutlak diperhatikan. Pembangunan SDM, infrastruktur,  penguatan diplomasi serta pertahanan di daerah pesisir lautan  harus dibenahi menjadi lebih baik.

 

Keempat, perlu adanya penanaman nilai bahari pada masyarakat khususnya bagi kaum muda sebagai generasi penerus, baik melalui pembentukan kurikulum berbasis  maritim, sosialisasi, pelatihan serta meningkatkan anggaran dan penelitian pangan laut. Adanya riset penelitian di bidang pangan kelautan, akan menumbuhkembangkan inovasi dan daya saing produk. Identifikasi komoditas pangan kelautan yang menjadi unggulan di setiap kabupaten/kota pesisir perlu dikembangkan sebagai kompetensi inti industri suatu daerah sehingga dapat terwujud satu desa satu produk unggulan pangan kelautan yang bernilai tambah. Pada akhirnya akan berkontribusi terhadap perekonomian regional secara umum. Dan juga mendorong pemerintah dalam melindungi dan menyejahterakan nelayan sebagai pelaku usaha pangan. Penanganan hasil tangkapan laut oleh nelayan perlu di benahi agar kualitasnya bagus dan harga tidak dimonopoli tengkulak.

 

Dan yang tak kalah pentingnya adalah melibatkan kaum muda dalam membangun kemaritiman. Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berkelanjutan. Maka untuk itu kaum muda harus berperan penting disana. kaum muda harus menjadi agent utama dalam membangun laut dan kelautan. Pemikiran kritis untuk menjadikan laut sebagai basis pembangunan  menjadi tugas yang harus dikerjakan kaum muda. Kaum muda juga harus mampu memainkan perannya sebagai pengontrol pemerintah dalam berbagai kebijakan. Karena sebentar lagi tongkat estafet Negara Indonesia akan jatuh di pundak kaum muda.

 

Dengan berbagai upaya diatas, diharapkan laut menjadi sektor primer bagi Indonesia. Karena itu berbagai peraturan tentang laut dan pangan laut perlu ditegaskan. Masyarakat Indonesia juga harus mampu menempatkan laut sebagai mata pencaharian utama,karena jika dikelola dengan baik dan bijaksana, laut dapat membuka 40 juta lapangan kerja bagi masyarakat.sehingga berbagai masalah sosial baik kemiiskinan, pengangguran, human trafficking, TKI, utang luar negeri bisa dihapus.

 

Dan pangan dari sektor kelautan dapat diterapkan dalam masyarakat dan kedaulatan pangan dapat tercapai. Pangan laut harus menjadi makanan pokok Negara kita, saya sangat berharap agar ke depannya masyarakat dapat mengkonsumsi pangan dari laut yang kaya akan nutrisi. Sehingga mampu melahirkan generasi yang cerdas dan unggul di mata dunia. Mari kita bangun budaya maritim kita menuju kedaulatan bangsa Indonesia tercinta.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Nontji, 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Anem Kosong Anem

PS, 2008. Agribisnis Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya

Ritzer, Goodman. 2013. Teori Sosiologi. Jakarta: Kreasi Wacana

Fauzi, Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan Dan Kelautan.Jakarta:PT.Gramedia Pustaka utama

Asian Development Bank . 2011. Food For All. Philippines. Metro Manila

Ramat, 2015. Memerangi Rawan Pangan. Kupang: Victory News

Ikhsan, Erwin dalam thesisnya yang berjudul “Politik Pangan di Maluku studi kasus kebijakan tentang ketahanan pangan lokal di Maluku” tahun 2013

Jafar. “57 Kabupaten Di Indonesia Masih Rawan Pangan” dalam Jpnn.com (9/6/2015)

 

 

 

Post a Comment

0 Comments