Oleh: Sayyidati Hadjar
Dosen Universitas Muhammadiyah Kupang,
penulis buku “Menyudahi Kabair” (kumpulan cerpen)
Setiap penulis adalah pengembara. Bila
jasadnya tak ikut berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, maka pikirannya
yang akan berpindah, menjejali tema demi tema,menjejaki kota demi kota. Penulis
dapat dikatakan sebagai orang yang paling merdeka atas dirinya sendiri. Bermodal
renungan atas endapan-endapan pengalaman, penulis menelurkan ide-ide yang tak sekadar lepas ke udara. Pada
akhirnya ketika endapan pengalaman batin itu dibagikan kepada pembaca, maka
merdekalah iaatas apa yang ditulisnya.
Membaca tulisan-tulisan Gusty Rikarno,
seumpama membaca pikiran yang meledak-ledak dan penuh pegembaraan. Meski tetap
disampaikan secara deskriptif dan santun. Ya, sebuah detonasi berpikir yang laharnya
menyemburkan panas tapi membawa kesuburan berpikir. Gusty sebagai seorang tokoh
penggerak literasi di NTT memiliki semangat berlimpah dalam melahirkan
karya-karya baru. Tentu bukan hal mudah memiliki produktivitas tinggi dalam
menulis. Butuh berlatih kontinu untuk sampai pada tahap ini. Banyak hal menarik
dari buku-buku Gusty karena lahir atas perjalanan pikiran dan jiwanya menyusuri
jalan sepi literasi di NTT. Setidaknya kehadiran buku berjudul Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua ini
menjadi satu bukti bahwa Gusty benar-benar serius menepaki dunia literasi dan
mendokumentasikan setiap perjalanannya dengan baik.
Tulisan-tulisan Gusty selalu mengajak
pembaca untuk turut dalam pengembaraannya melalui teks naratif-deskriptif yang
coba dibangunnya. Kekhasannya adalah menggunakan sudut pandang yang dekat—sudut
pandang orang pertama (sebagai pelaku utama), sehingga tak ada jarak dengan
pembaca. Gusty tetap hadir dalam setiap teks yang dibangunnya dan pembaca
menerima dengan lebih mudah. Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah sebuah
‘laporan’ pengembaraan Gusty kepada masyarakat NTT dengan gaya naratif khas
para sastrawan—jurnalis sastrawi.
Membangun
Perspektif Baru Tentang Dunia Literasi NTT
Literasi menjadi pokok bahasan penting
sejak digaungkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016 melalui
Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi
Pekerti. Gerakan tersebut lahir sebagai respon terhadap kesepakatanWorld Economic Forum pada tahun 2015 megenai penguasaan enam literasi dasar yang
sangat penting bagi peserta didik, juga bagi orang tua dan seluruh warga
masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi
numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi
budaya dan kewargaan.
Sejak GLN digaungkan, aktivis literasi
pun bermunculan. Membentuk kelompok-kelompok sesuai bidang minat dan mulai menggencarkan
gerakan literasi menjawab ketertinggalan Indonesia dalam hal baca-tulis dan
aktivitas literasi lainnya. Literasi mendadak ‘ngetrend’ di telinga masyarakat Indonesia. Meski itu bukan penanda
bahwa literasi adalah hal baru. Kehadiran aktivis penggerak literasi di
berbagai daerah membawa dampak positif di Nusa Tenggara Timur. Sekolah-sekolah
mulai menggagas berbagai kegiatan literasi, aktivis literasi turut mengedukasi
masyarakat di lingkungannya, pemeritah menyediakan dana yang cukup besar untuk
membuat masyarakat melek literasi. Namun kerja sama berbagai pihak dalam
menggolkan visi mulia GLN tak semudah membalikkan telapak tangan. Gagasan-gagasan literasi tak banyak
dipahami dengan baik. Setidaknya hal itu yang selalu digambarkan Gusty dalam
setiap tulisannya. Masih butuh kolaborasi kreatif yang original, visioner dan
implementatif dalam menapaki jalan literasi di NTT.
Tulisan Gusty menginformasikan
perspektif baru tentang literasi di NTT
dan bagaimana menjalankannya. Bersama tim Media Pendidikan Cakrawala NTT, ia menawarkan sebuah gaya
berpikir dan aksi nyata dari satu sekolah ke sekolah yang lain, dari satu kota
ke kota yang lain, dari kabupaten ke kabupaten lain. Gusty mengembara bersama
Tim Media Pendidikan Cakrawal NTT. Menemui siswa, guru, kepala sekolah,
kepala-kepala dinas, bupati, dan lembaga-lembaga lain semisal Bank NTT yang
serius ingin mengembangkan literasi.
Membaca buku Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua memberikan banyak perspektif
baru bahwa literasi di NTT dapat dibangun dengan semangat kolaborasi,
sinergitas,profesionalitas, dan komitmen yang tinggi. Gusty menekankan hal
tersebut dalam beberapa uraiannya. Khususnya pada judul tulisan Kami Butuh Mitra Profesional, Literasi: Jalan Pulang Menuju NTT Bangkit
dan Sejahtera, Berpikir Melampaui Komodo, Hit Et Nuch, Pada Ujung Pena
Seorang Penulis Ada Emas, dan Cakrawala
di Selatan Manggarai. Gusty banyak menekankan kata-kata kunci dalam
menyukseskan gerakan literasi di NTT secara sadar dalamtulisannya. Memang
demikian, dalam membangun sebuah kesadaran bersama butuh semangat kolaborasi,
sinergitas, profesionalitas, dan komitmen siswa, guru, kepala sekolah, dan para
pemangku kebijakan. Gusty selalu megajak pembaca merenung dan melatih kepekaan
berpikir. Sesuai dengan keinginannya bahwa, dengan berpikir seseorang akan
selalu muda.
Kebanyakan orang tak ingin terlihat tua
bukan? Tentu yang dimaksud di sini adalah tua yang sebenarnya. Kata tua seperti
yang tercermin dalam KBBI memiliki tujuh pengertian. Pertama, kata tua
menunjukkan sesuatu yang sudah lama
hidup; lanjut usia atau tidak muda lagi. Kedua, bisa berarti sudah lama (lawan
baru); sudah termasuk yang lampau; kuno. Ketiga, bisa berarti sudah masak atau
sampai waktunya dipetik (tentang buah-buahan dan sebagainya). Keempat,
menunjukkan mendidih atau sudah matang benar (tentang air minya dan
sebagainya). Kelima, dapat pula berarti kehitam-hitaman atau sangat (tentang
warna). Keenam, dapat berarti tinggi mutunya, jadi banyak tulennya (tentang
emas). Ketujuh, dapat pula berarti pemimpin (yang dipandang tua,
berpengatahuan, dan berpengalaman).
Gusty menawarkan sebuah prinsip hidup
dan kemerdekaan berpikir agar manusia tidak menjejali diri dengan aneka pil
awet muda dan diet berlebih. Usia tua adalah sebuah kepastian dan hukum alam,
tak ada seorang pun bisa menipu usia yang bersinggungan langsung dengan berapa
lama Tuhan mengasihi manusia dengan memberi usia yang cukup. Namun sesungguhnya
tua dapat bermakna sebuah kematangan berpikir yang warnanya terlihat jelas ke
mana manusia memimpin diri. Gusty menawarkan sebuah prisnip hidup bahwa yang
tua adalah jasad dan yang muda adalah
pikiran. Bila pikiran sebagai pennggerak jasad selalu muda, maka tak ada yang
benar-benar tua dari subuah usia. Demikianlah yang selalu digaungkan Gusty
melalui ajakan untuk terus bergerak dan berpikir mengenai literasi di NTT. Bukankah
tidak berpikir berarti mati?
Menyambut
Detonasi Berpikir Gusty dan Meledaklah Bersama
Seperti yang telah ditulis sebelumnya,
bahwa Gusty Rikarno memiliki detonasi berpikir yang panas dan produktif.Ajakan-ajakan
dalam tulisannya membuat pembaca ikut merenung. Sebagai contoh, sebagai tokoh
Literasi NTT yang yang disiarkan aktivitasnya oleh TVRI, Gusty menuliskan
beberapa poin renungan atas capaian itu yang berbunyi: Pertama,
pihak Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pelaksana
(penanggungjawab) teknis pelaksanaan roda pembangunan pendidikan di daerah
sudah saatnya berani “menanggalkan baju”.…Kedua, pendidikan itu tentang kita
saat ini.Pada tiga paragraf awal tulisan ini saya singgung tentang kita orang
NTT.Ada ayah yang harus berbangga dengan hasil kerja anaknya.Ada air mata yang
harusnya jatuh saat anaknya dinilai, dievaluasi bahkan diberi catatan untuk
berbenah diri. Orangtua seharusnya melihat pendidikan anak sebagai sebuah
investasi… Ketiga, pembangunan pendidikan itu adalah tentang teks dan konteks.
Ada wacana/konsep yang akan mendapat bentuk utuh saat dijalankan. Beragam
program pembangunan pendidikan harus menyentuh konteks merupakan kebutuhan
nyata. Dengan demikian koin dan point harus seimbang. Anggaran besar harus
mendapatkan hasil yang besar pula. Stop tipu-tipu dengan beragam program yang
tidak nyata. Kutipan tersebut terdapat dalam tulisanSiapakah Penggerak Literasi NTT.
Ada keberanian yang meledak-ledak dalam
kutipan tulisan di atas. Gusty berani menyampaikan kritik kepada berbagai pihak
dalam tulisan-tulisannya. Lagi-lagi, ada sebuah prinsip hidup yang didapat
dalam membaca karya-karya Gusty yang sederhana namun membakar. Prinsip itu
adalah keberanian berpikir dan menyatakan yang banar. Literasi di NTT tidak
akan maju bila satu pihak masih melindungi pihak yang lain dalam berbuat
kecurangan. Maka Literasi, Jalan Pulang
NTT Menuju NTT Bangkit dan Sejahtera yang digagas Gusty hanyalah segenggam
garam di tengah laut.
Catatan-catatan perjalanan Gusty
mendatangi sekolah-sekolah binaan Media Pendidikan Cakrawala NTT di daerah
dapat dijadikan landasan dalam menentukan ke mana lieterasi NTT akan dibawa.
Kata-kata kunci yang telah dituliskan dalam buku Hanya Pikiran Yang Tidak
Pernah Tua yang berisi 17 judul ini
menjadi refleksi yang kelak harus melahirkan diskusi dan aksi-aksi nyata menuju
literasi masyarakat NTT yang lebih maju. Pembaca
perlu menyambut detonasi berpikir Gusty, dan meledaklah bersamanya!
0 Comments