Gusty Rikarno, S.Fil Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Di
beberapa hari terakhir, angin bertiup kencang dan seakan siap membawa pergi
setiap asa dari raga yang rapuh. Para pengendara yang melintasi jalan Timor Raya,
seharusnya mengerti bahwa di setiap meter jalan selalu berarti ada dan tiada.
Mengurangi laju kendaraan saja sudah berarti kita ingin ada dan bernafas lebih
lama. Benar. Di sepanjang jalan ini,
angin bertiup kencang. Saya adalah salah satu dari ratusan bahkan ribuan
pengendara roda dua di jalur ini. Terkadang, saya berguman dalam doa setengah
sadar. Memohon agar asa dan raga ini tetap menyatu. Sudah puluhan bahkan ratusan
nyawa melayang sebagai tumbal untuk banyak dosa dan kebodohan di jalur ini.
Ada
kisah tentang peritiwa, data dan fakta yang datang sesukanya. Ada wacana dan polemik
yang harus diselesaikan. Semisal persoalan kekeringan dan gagal panen yang
memang harus dicemaskan. Belum lagi keresahan para guru dan kejenuhan peserta
didik sekaligus kegalauna orangtua mendidik anaknya sendiri di masa pandemic covid
19 ini. Belum lagi, wacana pemindahan Pulau Semau dalam wilayah administrasi kota
Kupang, kekuatiran calon mahasiswa yang sudah membayar registrasi kuliah tetapi
belum diijinkan melihat kampus, bertemu dosen dan berkenalan dengan kawan-kawan
seangkatan.
Di
sini, di atas tanah ini, adakah yang lebih hebat dan luar biasa dari cara kita
berada dan bernalar? Adakah hati kemudian berubah kecut untuk peristiwa yang
bisa dijelaskan dan diselesaikan secara rasional dan pedekatan hati? Mengapa
kemudian kita gusar untuk sesuatu yang bukan merupakan persoalan kita. Angin yang
ada memang selalu begitu. Kadang datang ber-sepoi-seoi basah tetapi juga berlari
kencang dan menghempas. Mungkin, bukan soal angin itu datang dalam gayanya yang
kadang-kadang, tetapi cara kamu berada
dan menilai. Saya adalah yang paling senang menikmati semua fakta hadir apa
adanya. Toh, memang harus begitu. Sudahlah. Untuk sesuatu yang kadang-kadang,
jangan pernah dipikir serius.
………………………………………..
Saya
tiba di Oelamasi. Saya suka hadir dan menikmati tempat ini. Merasakan lebih
dekat denyut nadi pembangunan pemerintahan di ini daerah. Jujur, dari tempat
ini segala yang ada dalam Alkitab terbuka. Masih ingat program Pemerintahan
Kabupaten Kupang di masa lalu tentang Taman Eden? Bukankah itu ada dalam Kitab
Kejadian? Di manakah Taman Eden itu? Ada yang membuat imajinasi sendiri. Taman
Eden itu seperti begini. Sebuah hamparan tanah subur yang ditumbuhi berbagai pepohanan
rindang, hijau dan sejuk. Pada dahan dan rantingnya bertengger sekian banyak
jenis burung. Di bawah pohon yang rindang itu seorang ayah dan anaknya duduk dan
bercerita tentang indahnya Kanaan dan hancurnya Sodom dan Gomora. Beberapa ekor
sapi piaraan berteriak kelaparan hingga ayah dan anak itu tersadar dari
imajinasinya. Mereka terpaksa (dipaksa), tanam untuk mewujudkan imajinasinya
sendiri.
Saya
tahu bahwa Taman Eden itu ada untuk tidak ada. Mengapa demikian? Maaf, jangan
paksakan saya menjawab. Kamu sudah tahu kalau saya hadir hanya untuk menikmati
semua peristiwa dan tidak punya hak untuk menilai sesuatu yang bukan menjadi
tugas dan maksud keberadaan saya. Tugas saya hanya menulis. Intinya, Taman itu
ada untuk tidak ada. Di Alkitab, Taman Eden itu ada. Tapi karena kamu ada
tetapi seolah tidak ada maka yang tersisa adalah imajinasimu sendiri.
Perhatikan pengendara roda dua itu. Ia menyalakan reting kanang. Logika umum,
ia bakal belok ke kanan. Namun apa yang dibuatnya. Ia membelokkan kendaraanya ke
sisi kiri jalan. Terdang kita harus menikmati semua peritiwa termasuk nilai
sebuah kebodohan. Saya tersenyum ketika berpapasan dengannya di lantai satu
kantor Bupati Kupang. Kemungkinan besar, ia sering ke sini atau mungkin bekerja
di sini. Saya tidak tahu.
Ajudan
wakil bupati Kupang memanggilku dan beberapa rekan jurnalis dest Kabupaten
Kupang. Membiarkan kami berada di ruang konfrensi pers punyanya orang nomor dua
di kabupaten yang memiliki wilayah terluas kedua di Provinsi NTT setelah
kabupaten TTS. Aparat desa dan anggota DPD desa Sumlili, Kecamtan Kupang Barat
ada di sana. Mereka terkesan sedang berdiskusi tetapi bahasa tubuhnya terlihat
tegang dan berpikir melampui apa yang seharusnya dipikirkan. Ada aura negative ketika
berada di lima menit pertama. Ada kata dan tatapan yang kadang tidak sejalan.
Hingga akhirnya saya mengerti kalau mereka harus berada di sini dan menyelesaikan
persoalan yang tidak bisa diselesaikan di tingkat desa dan kecamatan. Orang
nomor dua Kabupaten Kupang ini harus turun tangan dan membongkar sumbatan
komunikasi dan relasi di itu desa.
Untuk
hal semacam itu, saya ingin biasa-biasa saja. Di berbagai tempat, cerita
tentang kepala desa yang terkesan seolah cerdas dan warga yang terlihat kudus
tetapi bodoh. Juga tentang akal persolalan berawal dari beberapa oknum warga
yang merasa lebih pintar dan mengerti hukum hingga kemudian “menyerang: kepala
desa yang lugu nan tulus. Apalagi tentang BLT covid 19. Ada-ada saja
persoalannya. Ada yang menilai, bukan soal uang bantuan 600 ribu itu tetapi soal
keadilan dan nilai sebuah tata kelola pemerintahan yang harus bersih jujur dan
transparan. Begitu seterunya dan akhirnya saya tidak tertarik. Persoalan klasik
sejak zaman para nabi. Namun ada satu hal yang justru menari dari ruangan berukuran
10 X 7 meter di lantai dua kantor bupati itu. Saya tertuju pada sosok orang nomor dua
di kabupaten Kupang ini. Jerry Manafe, namanya. Mantan pengusaha yang berani
membanting stir dan terjun di dunia politik yang penuh kebanyakan orang awam
menilai penuh intrik dan tipu-tipu.
Jerry Manafe hadir dan menatap dalam aura kebapaan.
Setia mendengar dan memberi banyak waktu untuk mereka berbicara. Kepala desa
diberi kesempatan yang pertama. Bercerita dalam irama yang tidak biasa. Ia
sungguh merasa sebagai korban yang butuh sentuhan keadilan. Demikian halnya,
ketua dan anggota DPD. Mereka juga diberi waktu berbicara dan dalam nada yang
sedikit merendah tetapi menghanyutkan. Mereka membantah satu persatu pernyataa
kepala desa yang dipilih beberapa tahun lalu secara langsung, umum, bebas dan
rahasia. Jerry mendengar dan mulai memetakan persoalan. Ia mengunakan pisau
rasionalitas dan bukan kapak kekuasaan atau kewenangan semata. Seperti seorang
konselor, Ia justru membantu kdedua belah pihak mengerti posisinya
masing-masing sekaligus tugas dan fungsinya. Di ini tempat, Kedua belah pihak
akhirnya sama-sama mengerti kalau
keberadaan mereka bagai logam berwajah dua yang saling mengandaikan. Mereka
sadar, tidak ada yang merasa paling penting dan yang lainnya hanyalah sebagai
pelengkap. Pemerintah desa dan DPD yang merupakan representasi masyarakat adalah
pelakon yang bertujuan sama. Membawa masyarakat desa kea rah yang lebih baik.
Jujur,
saya sungguh terpukau. Baru kali ini saya menyaksikan secara langsung bagaimana
seorang Jerry Manafe, membelah persoalan secara rasional dan penuh wibawa. Ia
memberi waktu kedua belah pihak untuk berefleksi dan menemukan cara untuk
menyelesaikan persoalan tersebut secara internal. Merekan diberi ruang untuk
menilai dan memutuskan. Di tanggal 3 Agustus dalam tahun ini, mereka harus
memberi kabar. Jika tidak, kapak kekuasaan dan kewenangan akan diletakkan pada
bahu mereka dan membelah hati dan pikiran hingga semuanya terang bederang. Jika
ini terjadi maka cerita tentang rasa bersalah dan saling memaafkan tidak akan
mendapat tempat. Semuanya dalam kalkulasi benar dan salah.
Di
ini titik, saya menilai Jerry Manafe sedang bertik-tok. Bukan dalam arti manual
seperti kebiasaan keponaan saya di layar handphond andoridnya. Ia menunjukan
wajah dan situasi batin dalam cara mesin android bekerja. Ia hanyalah bayangan
dari satu aplikasi salah satu android. Tik tok a’la Jerry manafe bukan pada
layar android tetapi pada layar kehidupan sosial. Ia hadir sebagai bapa, sahabat,
kenalan sekaligus pemimpin. Benar. Ia hadir dalam beberapa wajah yang membuat
orang merasa nyaman, mengerti dan akhirnya mampu berpikir sendiri. Tik-tok
sejenis ini, sulit ditemukan pada kebanyakan pemimpin yang selalu jatuh pada
dua sikap ekstrim. Tegas (rasional) tanpa hati dan fleksibel tapi akhirnya
dinilai lamban dan bodoh. Jerry Manfae adalah dia yang mampu berada dititik
sentral di mana hati dan pikiran berada pada posisi yang seimbang. Aturan dan
kebijakan mendapat porsi yang sepadan.
Di
ini ruangan akhirnya saya mengerti minimal beberapa hal semisal, politik itu
adalah cara berada yang seharusnya memiliki nilai estetis, etis dan rasional.
Meletakkan warna pada tempat yang tepat sehingga yang terlihat adalah sebuah
keindahan yang membuat segala mata, hati dan pikira terpakau. Jujur dan bekerja
dengan hati adalah integritas diri seorang pemimpin yang sesungguhnya. Politisi
itu dibolehkan terlihat bodoh tetapi jangan sampai goblok. Terkadang ia
merendah hingga ke titik paling kecil untuk mengangkat mereka yang merindukan
nilai sebuah kepedulian dan keadilan.
Akhirnya,
pemimpin itu adalah dia yang sedang menikmati perjalanan dengan kegembiraan dan
rasa syukur. Jerry Manafe ber-tik-tok hingga tiba di titik ini. Ia telah
menghidupi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan khusunya dalam hal tugas Wakil Bupati yaitu membantu bupati dalam
hal memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mengoordinasikan
kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat pengawasan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten dan Nagari, memberikan
saran dan pertimbangan kepada Bupati dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah.
………………………………………………..
Angin itu tetap seperti biasanya. Bertiup lembut dan
ber-sepoi-sepoi hingga sesekali berlari kencang dan siap mengehempaskan semua
yang ada. Tugas kita adalah menikmati cara kita berada dan jangan pernah mmebiarkan
dirimu berada dalam logika angin yang selalu hadir berwajah ganda. Ayunkan
langkahmu, berjalanlah dalam posisi kepala menatap jauh ke depan, menembus
fakta dan peristiwa. Dunia ini terlampau luas. Sangat disayangkan jika kamu
hanya berada di sini. Di dunia imajinasimu sendiri. Taman Eden itu tetap ada
dan mungkin hadir untuk tidak ada.
Ada revolusi yang harus kamu nikmati dan jalani saat ini.
Mungkin semacam revolusi Prancis tetapi konteksnya berbeda. Di ini tempat
namanya, Revolusi 5 P. Tugasmu satu. Yakinkan diri dan mantapkan langkahmu
untuk menjalankan dan menikmati revolusi itu. Ingat, ini sebuah revolusi. Bukan
reformasi. Sepertinya halnya bahasa alam itu, kamu dan saya harus ada dan menikmati
perubahan yang terjadi. Atau seperti Jerry Manafe, kamu (kita) harus ber-tik-tok.
Revolusi itu selalu mengadaikan perubahan radikal. Jika saatnya dunia atau alam
Kabupaten Kupang tidak berubah, minimal satu hal yang berubah. Dirimu dan
pikiranmu.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
0 Comments