![]() |
Gusty Rikarno Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Di
tiga tahun lalu, ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah berukuran 25 X
50 meter yang berada di seputaran pemacar Cabang Tilong-Kabupaten Kupang, saya
terjebak dan terpaksa beradu argumen dengan seorang peternak kambing.
Persoalannya kelihatan sederhana. Saya menanam beberapa pohon cemara, mangga
dan pepaya. Agar aman dari hewan liar, maka kebun berukuran sedang itu
dipagari. Bukan hanya dengan kayu atau bambu tetapi juga dengan kawat duri. Dua
minggu pertama, aman-aman saja dan saya berbangga ketika tanaman yang disiram dalam
kondisi kekurangan air itu tumbuh dengan sempurna. Beberapa pucuk daun mungil
membangkitkan rasa optimism.
Di
suatu sore yang tidak diduga, sekelompok kawanan kambing "menghabiskan" pucuk mungil itu dalam
hitungan menit. Marah dan sakit hati, itu pasti. Akhirtnya, dengan sedikit terpaksa saya menahan
seekor dari antara puluhan ekor itu. Kepada para tetangga dan beberapa orang
yang melintasi jalan dekat kebun itu saya bertanya dan memohon jawaban. “Siapakah
pemilik kambing ini”. Tak lama berselang, tuan kambing itu datang dan langsung
menceramahiku. “Bu, kenapa tidak buat pagar dengan baik. Itu hewan bukan
manusia. Ia tidak tahu betapa berharganya tanaman yang mereka habisi. Bu salah
na”. Saya terus diceramahi tanpa rasa
bersalah dan sudah pasti tidak memiliki sedikit niat untuk meminta maaf.
Giliran saya yang heran dan bingung. Belum sampai di situ, ia menampar
kambingnya berulang-ulang sambil menatap saya. Seolah-olah ia mau bilang,
kambing ini bodohnya sama seperti kamu yang tidak bisa membuat pagar dengan
baik.
Tiba-tiba
saya tersinggung dan marah. Saya menngajaknya untuk selesaikan persoalan itu di
kantor polisi. Biar dia mengerti kalau kami hidup di negara hukum. Lagi pula,
saya merasa tidak punya energi lebih untuk berdebat dengannya. Ia sangat yakin,
kalau ia dan kambingnya benar. Saya dinilai bodoh untuk dua hal. Pertama, tidak
bisa buat pagar dengan baik dan kedua, saya dinilai bersalah menahan
kambingnya. Singkat cerita, akhirnya ia meminta maaf. Bukan karena merasa
bersalah tetapi takut diseret ke kantor polisi. Saya pastikan, hingga saat ini,
ia dan kambingnya tetap merasa benar karena saya putuskan untuk memagari kebun itu
dengan tembok setinggi 1,5 meter.
……………………………………………..
Di beberapa hari terakhir, kita dikejutkan juga
dihebohkan oleh aksi seorang Feliks Nesi (FN). Sastrawan kebanggaan punyanya
NTT. Aksi yang tidak biasa dari orang yang luar biasa. Kaca jendela dihancurkan
dengan helm dan beberapa kursi sengaja dipatahkan. FN kecewa dan marah. Bukan
karena dan untuk kaca atau kursi itu. Ada sebuah harapan yang tidak sesuai
kenyataan.
Pada dinding facebooknya, FN menulis. “ … Saya kecewa sekali. Di novel
saya, Orang-Orang Oetimu, saya menulis tentang pastor yang sukanya melindungi
kebusukan pastor lain. Apakah saya baru saja melihatnya di dunia nyata ini?
Saat menggarap novel, saya pernah mewawancarai seorang bapak yang mengasingkan
anak perempuannya ke kampung sesudah anak tunggalnya itu dihamili seorang
pastor-pastor itu tetap di kota, anaknya yang 'disembunyikan'. Bapak itu
menangis sambil bercerita. Antara putus asa dan terluka, tetapi tetap mengasihi
anak perempuan (dan cucu)-nya. Hanya ia yang menangis, tetapi kami sama-sama
terluka. ( … ) Saya kecewa. Saya emosi. Di tangan saya ada helm. Di depan saya
ada kaca jendela. Maka saya hantam kaca-kaca jendela pastoran dengan helm. Helm
INK sungguh kuat, kaca-kaca hancur berantakan. Saya pegang kursi-kursi plastik
di teras rumah pastoran dan saya banting sampai hancur. Saya pulang ke rumah.
Seperti yang sudah saya duga, komunitas Pastoran SMK Bitauni melaporkan saya ke
Polsek Insana karena merusak kaca jendela dan kursi-kursi. Tak sampai satu jam
kemudian, saya dijemput polisi. Terima kasih Romo Kepala. Terima kasih Romo A.
Terima kasih semua pastor di keuskupan Atambua dan di manapun juga di dunia
ini. Malam ini saya akan menginap di kantor polisi. Kita sama-sama pendosa, tak
ada yang paling benar. Tapi jika kalian, institusi Gereja, sangat sangat lambat
(atau hampir tidak pernah?) dalam mengurusi pastor bermasalah, tetapi sangat
cepat dalam mempolisikan orang-orang yang marah, maka kita akan selalu bertemu.
Salam Sayang”.
Begitulah
saya kalau menulis. Susah sekali untuk langsung pada inti persaoalan. Jika
kemudian itu bagian dari kegalalan atau kelemahan saya dalam hal menulis, saya
akui saja. Toh, saya juga baru mau belajar. Standarku jauh di bawah FN dan
lainnya dalam hal menyusun setiap kata sehingga mudah dimengerti orang. Saya menulis (berpendapat) selagi tidak dilarang.
Beginilah nikmatnya hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Silahkan berpendapat asal bisa dipertanggungjawabkan. NKRI harga mati. He….e…..
Tentu
kita bertanya, apa hubungan antara cerita saya tentang peternak kambing atau
tentang kambing dan pagar kebun dengan kisah seorang FN, mantan Frater
Keuskupan Atambua ini. Mungkin tidak ada hubungannya. Tapi satu hal yang pasti,
kedua cerita ini sama-sama membawa efek lanjut. Peternak kambing yang menampar
kambing miliknya dihadapan saya dan akhirnya meminta maaf ketika saya
mengajaknya untuk diselesaikan di kantor polisi dan seorang FN yang
menghancurkan kaca dan kursi dan akhirnya menginap di kantor polisi atas
laporan komunitas Pastoran SMK Bitauni.
Walaupun
mungkin hingga saat ini peternak kambing dan kambingnya tetap merasa benar paling
tidak tembok yang saya dirikan 1,5 meter ini cukup membuat rasa kecewa dan
ekspresi binggung saya menghilang. Kini saya dan peternak kambing itu saling
memuji dan bertegur sapa. Saya memuji kesetiaanya beternak hingga di usia
lanjut ini dan ia memuji beberapa tanaman yang bertumbuh subur. Katanya, itu
karena kesetiaanku menyiram. Lalu bagaimanakan dengan yang dialami FN dan
anggota komunitas pastoran SMK Bitauni. Saya pastikan, dalam waktu yang tidak
lama, persaolan ini bakal menemukan titik jenuhnya. Kedua belah pihak bakal
saling memaafkan. Sekali lagi, begitulah enaknya hidup di NKRI ini. Hukum adat
selalu dikedepankan.
Walau
demikian, efek lanjut dari persoalan ini tidak berakhir begitu saja. Kini
menjadi konsumsi publik dan mengelinding ke mana-mana. Masyarakat pada umumunya
dan umat Katolik pada khususnya, dibagi secara alamiah dalam dua kelompok. Satu
kelompok bernaung dibawah tagar #save Feliks Nesi dan kelompok yang lain berada
di mana-mana dan menilai FN telah melukai tubuh Gereja katolik yang Kudus dan Apostolik.
Bahkan ada yang lebih ekstrim berkomentar bahwa sikap FN jauh lebih ganas dan
mencabik-cabik tubuh gereja ketimbang perbuatan Romo A yang diketahui sudah
diselesaikan oleh pihak Keuskupan Atambua sejak kasus itu terbongkar.
Mari
kita bentangkan persoalan ini di atas matras. Cobalah mengambil titik terjauh
dan lihatlah persoaaln ini secara utuh dan menyeluruh. Ambil posisi netral dan
nikmatilah. Ada doa, air mata, kecewa, marah dan dendam datang dari sana. FN
adalah seorang eks Frater. Ia tahu ritme hitme hidup kaum berjubah. Ada kehidupan
doa yang harus diimbangi dengan sikap hidup (moral) yang baik dan patut
diteladani. Seorang Pastor tidak dilahirkan sebagai malaikat. Ia (Pastor)
menjaga rahmat imamatnya seperti ia menjaga emas dalam bejana tanah liat. FN
tahu itu. Karena itu, FN dalam aksinya merindukan seorang pemimpin yang dalam
hal ini pihak Keuskupan Atambua untuk mengambil sikap tegas kepada Romo A.
Minimal jangan bertugas di tempat ia berpotensi mengulangi dosa yang sama.
Ingat, dosa itu bukan hanya soal niat tetapi juga soal kesempatan. Itulah yang FN
maksudkan.
Selain
FN sebagai seorang Katolik dan khususnya eks Frater, ia adalah seorang aktivis,
penyair dan sastrawan. Orang muda yang mau berpikir sendiri. FN bukan anak
kampung yang mau ikut arus dan rela bergabung dalam kelompok manut-manut. Ia
tahu apa yang terbaik baginya. Ia adalah orang bebas seperti dalam banyak kisah
hidup para penyair lainnya seperti Kahlil Gibran dan Chairil Anwar. Bagi mereka
(sastrawan), nilai bahasa hati (nurani) jauh lebih tinggi dari bahasa logika
(filsafat). Mereka menghidupi teologi pembebasan. Nasib dan hak hidup orang
kecil atau korban kekerasan budaya dan dogma harus dibela hingga ttitik darah
penghabisan. Karya-karya FN mengambarkan hal itu khsusunya dalam novel “Orang-Orang
Oetimu”. Saya sangat yakin, FN punya
kebanggaan ketika persaoalannya menjadi konsumsi publik. Dia tidak mau tahu
lebih banyak jika Gereja Katolik yang Kudus dan Apostolik itu terluka
(dilukai). Itu hanyalah efek lanjut yang berada di luar tanggungjawab seorang
FN.
…………………………………………..
Mari
kita kembali pada cerita tentang peternak kambing, kambing, pagar kebun dan
saya yang masih bingung hingga saat ini. Tidak bisa terbayangkan bagaimana
logika saya yang tidak mampu membuat peternak kambing itu mengerti. Apakah kata
yang saya pakai tidak cukup sempurna untuk mebuatnya mengerti atau lemahnya
daya serap sang peternak kambing? Mari kita lihat reaksi komunitas Pastoran SMK
Bitauni. Mereka melaporkan peristiwa pengrusakan kaca dan kursi itu ke kantor
polisi. Saya belum mendapat informasi lengkap. Apakah sebelumnya mereka
berkomunikasi dengan pihak keuskupan sehingga laporannya bisa mewakili gereja
loka yang dalam hal ini pihak Keuskupan Atambua atau hanya sebagai sebuah
komunitas kecil yang merasa kecewa dan marah saat melihat kekayaan miliknya dihancurkan
begitu saja.
Komunitas
Pastoran SMK Bitauni melaporkan seorang FN yang adalah seorang umat Katolik ke
kantor polisi karena melakukan peng-rusakan. Hemat saya itu biasa dan wajar. Seorang
anak saja bisa melaporkan ibu kandungnya ke polisi. Sekali lagi ini NKRI. Tidak
ada yang kebal hukum. Termasuk para penegak hukum harus dihukum kalau melanggar
hukum. Logikanya jelas. Semua sama di mata hukum. Lalu? Apakah sampai di situ?
Tidak. Seperti halnya peternak kambing menampar kambingnya di hadapan saya
sebenarnya biasa saja. Toh itu kambingnya. Dia mau tampar atau bunuh, silahkan
saja. Tetapi saya menjadi sangat tersinggung dan mengajak peternak kambing ke
kantor polisi dan meyelesaikan persoalan itu di sana. Itu berarti, persaoalannya
bukan soal kaca yang dan dan kursi yang patah tetapi alasan mengapa kaca itu
pecah dan kursi itu rusak.
Nah,
di sinilah benang kusut itu ada. Mari kita merendanya dan mencoba mengupasnya
dengan pisau rasionalitas. Perlu diketahui, hingga saat ini pihak Keuskupan
Atambua belum berkomentar secara resmi mewakili institusi gereja Katolik
terhadap persoalan ini. Ada kesan, pihak Keuskupan Atambua melihat persaoalan
ini biasa-biasa saja dan masuk dalam kategori pidana umum. Padahal, persaoalan
ini sudah menjadi komsumsi masyarakat pada umumnya. Bukan hanya yang beragama
Katolik. Dengan demikian, Gereja katolik yang Kudus dan Apostolik itu kini menjadi
“tontonan” umum dan sudah pasti “menganggu” banyak pihak.
Awalnya,
saya tidak terlalu tertarik dengan persoalan ini karena beberapa pertimbangan. Pertama, persaoalan ini sangat simple.
Ada yang tidak puas dengan sebuah keputusan, itu biasa. Lagi pula tidak semua
orang termasuk instititusi tidak pernah bisa mengakomodir semua keinginan hati
setiap orang atau anggotanya. Kalau misalnya FN tidak puas akan pemindahan Romo
A ke SMK Bitauni, itu biasa. FN silahkan berbicara dengan Uskup Atambua
sebagaimana yang dianjurkan Romo Kepala SMK Bitauni. Kedua, FN adalah seorang eks Frater. Bisa saja ia mau menegaskan
bahwa keputusannya menanggalkan jubah itu sudah tepat daripada tetap berjubah
tetapi “bermasalah”. Setiap orang apalagi seornag sastrawan, selalu punya cara
untuk menegaskan identitas diri dan mendapat pengakuan publik. Ketiga, FN adalah peramu sekaligus
penjual Sopi Timor. Bisa saja ia mencoba ramuannya tetapi melebihi standar sehingga
emosinya tidak terkontrol. Artinya, kaca yang pecah dan kusi yang patah
hanyalah korban dari situasi yang berada di luar kendali FN. Keempat, Media
online, Leko.Com terkesan sangat memihak FN dan hampir tidak ada tanggapan
pihak komunitas SMK Bitauni. Mungkin saja, persoalan ini sudah disetting sebelumnya
mengingat FN adalah salah satu pendiri media online, Leko.com. Persaoaln ini didesain
untuk mendulang simpati sekaligus mengangkat nama FN sebagai tokoh bermoral dan
berintegritas. Dengan demikian, nama besar FN semakin terus melambung.
Kini
kaca yang pecah dan kursi yang rusak, telah melukai (dilukai) Gereja Katolik
yang Kudus dan Apostolik. Dengan demikian, Romo A dan FN, sama-sama member andil
melukai iman umat khususnya iman
Katolik. Jika Keuskupan Atambua salah mengambil langkah maka ke depan, “wibawa”
institusi Gereja Katolik bakal terpental. Umat bisa saja terperosok pada satu
sikap generalisasi. Padahal Romo A dalam tuduhan FN hanyalah oknum atau titik
hitam dari putihnya sebuah kertas. Saya yakin dan percaya, masih begitu banyak
Pastor yang kudus dan sangat setia pada panggilannya. Pastor pendoa dan
bermoral.
Para
pendukung FN yang tergabung dalam tagar #save Feliks Nesi bakal menerima sikap
generalisasi ini. Sikap FN akan dinilai sebagai jalan masuk untuk membongkar
persaoalan lain yang sebenarnya sudah diselesaikan dan hanya menjadi konsumsi
Gereja Katolik. Sekali lagi, Gereja Katolik secara intitusi dalam seluruh
sejarah perjalanannya diwarnai banyak dinamika. Konsili Vatika II, misalnya
adalah bagian dari kerendahan hati Gereja Katolik secara institusi untuk
menerima kritikan dari umatnya sendiri. Sikap Gereja Katolik untuk tidak masuk
dalam politik praktis adalah bagian dari bentuk kerendahan hati para pemimpin
gereja.
Dengan
demikian, menghancurkan kaca dan mematahkan kursi bukan jalan yang tepat untuk
sebuah ekspresi cinta kepada sang ibu gereja. Sebaliknya, “sikap diam” pihak
Keuskupan Atambua bukan merupakan cara yang tepat untuk menyelesaikan persoalan
ini. FN harus dipanggil sebagai umat, sahabat dan saudara dalam komunitas
Gereja Katolik. Atau dengan kata lain, FN dan pihak Keuskupan Atambua harus
berani berpikir dan bersikap melampaui kaca yang pecah dan kursi yang rusak. Peternak
kambing tidak mungkin membunuh kawanan kambingnya hanya untuk menjaga tanaman
yang saya siram dan rawat atau sebaliknya saya mendirikan tembok setinggi
mungkin dan menghilangkan peternak kambing dan kawanan kambingnya dari pandangan
mata. Tidak. Kita mengukur diri dan menempatkan pada tempat dan posisi yang tepat.
FN dan Romo A, masih manusia. Kehidupan iman (doa) dan moral harus sama-sama
dijaga. Tahu kenapa? Agar dunia tidak jatuh pada sikap generalisasi.
Salam
Cakrawala, salam Literasi ….
0 Comments