Gusty Rikarno, S.Fil Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Sore
itu semakin menua. Aroma malam kian terasa. Di pondok ini, apalagi yang bisa
dibanggakan jika aroma dan hangatnya secangkir kopi sudah tidak terasa? Beginilah
saya mulai berbicara, “Saudaraku, kopi itu mungkin saja dingin tanpa kamu
prediksi. Tetapi ketahuilah, api dan tungku masih ada. Di sini, di hati ini”.
Mereka (anggota komunitas) adalah jiwa-jiwa muda yang berani berdiri seperti
karang. Segalanya ingin dipikirkan sekaligus ditertawakan termasuk kebodohan
dan kefanaan dirinya sendiri. Mereka dan kami adalah pemilik pondok ini. Bersepakat
untuk berada dalam satu komunitas yang diberi nama, “Komunitas Secangkir Kopi-Kupang”.
Diskusi, literasi dan donasi adalah dasar pijak keberadaan kami. Segala
entitas, fakta dan peristiwa serta gejala sosial yang mengikutinya dibawah
payung besar pendidikan dikupas, dikunyah dan dinikmati.
Seperti
Sokrates, kami ingin bermadah dalam nada diam tetapi berirama. “Aku tidak bisa
mengajari siapapun tentang sesuatu, aku hanya bisa membuat mereka
berpikir”. Siapakah mereka? Mereka
adalah kita. Saya, kamu dan dia. Pisau pengupas yang kita andalkan hanya satu.
Rasionalistas. Jika kemudian ada yang sulit dijangkau seperti mujizat atau misteri
maka sebaiknya kita diam. Benar. Segala sesuatu yang tidak biasa dikatakan
sebaiknya diam. Lalu? Mari sekali lagi kita menertawakankan kefanaan dan
kebodohan kita. Ada secangkir kopi yang panas tetapi beraroma. Nikmati saja dan
biarkan lidah, hati dan pikiranmu menyatu. Ingat. Cukup secangkir, karena di
dalamnya mengandung seribu inspirasi. Habiskan waktumu dalam aksi yang nyata
dan produktif. Kamu tidak dilahirkan hanya untuk menikmati kopi itu. Cukuplah
untuk memberimu inspirasi.
Di
saat-saat begini, ketika dunia dibanjiri aneka berita sampah (hoaks), maka pada
saat itu, banggalah karena kamu masih bisa berpikir sendiri. Bukan anjuran, dokma
atau apalah namanya. Jika diketahui, pikiranmu itu ada dan masih berfungsi namun
tidak dipakai, maka pada saat yang sama kamu adalah binatang yang berwujud
manusia atau manusia setengah binatang. Fakta berbicara. Manusia, binatang berwujud
manusia ini seringkali memangsa dan dimangsa atau ditunggangi oleh manusia
setengah binatang lainnya. Binatang berwujud manusia itu lazim berbicara banyak
tetapi tidak mengatakan apa-apa. Begitulah ia hidup dan menghabiskan waktunya
untuk menuduh, menilai bahkan mencerca yang lainnya. Ketika ditanya mengapa
atau bagaimana, ia tiba-tiba linglung, bingung dan frontal. Apakah mereka ini masuk
dalam golongan kampret atau cebong? Saya tidak tahu.
……………………………………
Mari
kita berbicara. Temanya terasa sepat. “Guru honor yang kadang selalu
terlupakan, dilupakan dan melupakan”. Ada seorang yang ingin berarti. Di
Indonesia ini, mereka (guru honorer) berjumlah banyak. Lebih dari tujuh puluh ribu
orang. Menyebar di seluruh jenjang
pendidikan mulai dari PAUD, SD, SMP dan SMA/SMK. Mereka bekerja dan mencoba
untuk bertahan dari upah yang kecil, stigma negatif sebagai guru gagal prodak
(tidak professional) dan membebani negara juga masyarakat (komite sekolah).
Benar. Profesionalisme mereka dipertanyakan ketika diketahui jumlah yang tidak
lolos Uji Kompetensi Guru (UKG) jauh lebih banyak. Negara tentunya tidak mau
ambil resiko dengan langsung mengangkat mereka menjadi guru Aparatur Sipil
Negara (ASN). Bisa dibayangkan ada jutaan generasi muda Indonesia yang bakal
menjadi korban dari para guru tidak professional ini. Jika demikian ini dosa
siapa? Dosa orangtuanya yang memaksa mereka menjadi guru? Dosa para dosesnya (yang
mungkin juga tidak professional) atau dosanya sendiri yang tidak mau belajar
dan selalu merasa nyaman dengan yang ada?
Amich
Alhumani, Ph,D, selaku direktur pendidikan dan agama merilis data yang mengejutkan
dari kementrian BPN/Bapennas bahwa Provinsi NTT merupakan salah satu dari tiga
provinsi lain di Indonesia yang menyumbangkan pengangguran terbesar justru
tamatan isntitusi PT. Artinya, saat ini NTT menderita bukan karena yang lain.
Tetapi banyaknya lulusan sarjana yang menganggur dan membebankan keluarga dan
daerah. Padahal, arah pembangunan pendidikan dan nasional harus berada pada
garis lurus. Artinya, Sumber Daya Manusia (SDM) harus memberi andil besar pada
tingkat kesejahtraan masyarakatnya. Mereka (sarjana) se-kreatif mungkin untuk
menciptakan lapangan kerja. Bukankahn orangtua menyekolahkan anaknya untuk
merubah garis nasib?
Hingga
saat ini, jumlah guru honor di NTT jauh lebih banyak dari guru ASN yang
tersertifikasi. Artinya dari 25 % jumlah guru berstatus ASN, hanya 25 % yang
sudah dikatakan sebagai guru profesional. Bayangkan, guru ASN saja tidak memberi
jaminan pada kualitas diri sebagai seorang guru yang bakal digugu dan ditiru. Bagaimana
mungkin dengan mengumpulkna potofolio sudah disebut profesional? Kan, aneh. Sementara
itu, ada guru honor yang berjumlah 75 % yang sudah pasti sebagian besarnya
tidak tersertifikasi maka dengan demikian secara regulasi tidak bisa diandalkan
sebagai guru professional. Sementara itu, di lima tahun kedepan, ada 5.264 guru
ASN di NTT yang bakal pensiun. Menutup kekurangan guru ini tentunya butuh tenaga
baru yang diharapkan professional. Dari mana NTT akan mendapat guru profesional
sebanyak itu? Sekali lagi, pemerintah tidak mau ambil resiko. Bukan soal negara
tidak mau atau tidak mampu mengangkat guru honorer menjadi guru ASN tetapi
dampak yang paling parah yang bakal dipikul generasi yang akan datang.
Bandingkan kisah tentang bagaimana seorang buta menuntun orang buta. Apakah
mereka sampai tujuan? Jawabannya hanya dua. Mungkin atau mustahil.
Di
beberapa hari lalu, lima orang guru honor yang mengajar bertahun-tahun di SMAN
3 Kota Kupang menerima pil pahit. Mereka di-PHK. Seorang diantaranya berbicara
lantang dalam nada kecewa dan sedikit marah. Bukan hanya soal ia di-PHK. Tetapi
cara pihak sekolah meng-PHK-kan dia, itu juga hal lain yang paling dirasakan.
Ia (guru honor) ini, merasa tidak dihargai dan diragukan kualitas dirinya
secara sepihak tanpa sebuah alat ukur yang jelas. Mengapa hanya dia dan empat
teman lainnya di-PHK. Jika mau adil dan sedikit rasional dan professional,
sebaiknya semua guru honor di sekolah itu di-PHK-kan saja. Lalu diundang kembali
untuk mengikuti seleksi terbuka. Malu, itu sudah pasti. Harga dirinya terasa diinjak-injak
dengan diberhentikan tanpa sepucuk Surat Keputusan (SK) pemberhentian. Ia tidak
lebih dari peternak ayam yang berubah menjadi penjual sayur ketika dinilai
tidak mampu memelihara 30 anak ayam yang bakal beranjak besar. Pihak sekolah
dinilai tidak professional dan pemerintah menutup mata dengan semua ini.
Kopi
itu sudah di atas meja. Nikmati saja. Ada rasa sepat pada tegukan terakhir. Ada sekelempok anak bangsa yang berprofesi
“sementara” dan dijadikan “anak magang” tanpa sebuah kepastian. Bayangkan saja.
Sudah 14 tahun mengajar dan mendediaksikan dirinya untuk anak bangsa. Di suatu
pagi ia dipanggil dalam satu kalimat datar tetapi pedis dan tajam. “Berhubung
rombongan belajar berkurang, besok pagi, kamu tidak perlu datang sekolah.
Terima kasih untuk kerjasama kita selama ini”. Sakit kan? Sakit sekali. Ada air
mata yang menetes dan rintihan hati yang tidak terdengar. Apakah nilai sebuah
perjuangan, kesetiaan dan pengorbanan?
Dr. dr.
Jefry Jap, M.Kes yang juga hadir menikmati secangkir kopi sore itu menarik
nafas dan berbicara dalam “galau”. Berharap para pimpinan institusi PT lainnya
di NTT, galau dengan fenomena tidak biasa ini. Siti Hajar, dosen Universitas
Muhammadyah Kupang yang duduk disampingnya sebagai moderator memang sengaja
memberinya waktu berbicara lebih lama. Ia (Siti Hajar) juga adalah dosen di
FKIP, wadah ilmiha pencetak guru. Apakah ia juga “galau”? Saya tidak tahu. Sebagai
salah satu pimpinan institusi Perguruan Tinggi (PT) pencetak guru, Dr. dr.
Jefry, memang sepantasnya bertanggungjawab. Tidak boleh menutup mata apalagi
mencuci tangan. Masyarakat semakin rasional. Mereka “menuduh” pihak institusi
PT, “tidak becus” menyiapkan calon guru profesional. Cara dan metode mengajar
masih manual seperti puluhan tahun silam. Belum lagi banyak dosen merasa diri
paling hebat bahkan merasa diri “dewa” yang harus disembah oleh para
mahasiswanya.
Adakah intitusi
PT yang kita masih merasa nyaman sebagai institusi PT sebagai menara ilmu, pemantik
kreatifitas dan inovasi padahal banyak alumninya yang menganggur? Atau institusi
PT beralih fungsi sebagai Perseroan Terbatas (PT) yang “money oriented”?
Menunggu pembayaran uang kuliah, registrasi dan membeli buku bahan ajar para
dosen dengan harga fantastis dan melupakan tugas utamanya sebagai pemantik
kreatifitas dan daya kritis mahasiswa? Benarkah institusi PT kita hanya mampu
mencetak ijasah dan bukan sarjana pendidikan?
“Sore
ini, saya tidak sedang menikmati secangkir kopi yang hangat dan nikmat tetapi
kopi dingin yang pahit dan sepat. Pertama, saya prihatin dengan apa yang
dialami para guru honor di SMAN 3 Kota Kupang dan sekian banyak guru honor di
berbagai jenjang pendidikan lainnya. Mereka adalah pahlawan yang bukan hanyan tidak
menerima tanpa tanda jasa tetapi juga dihina. Padahal mereka sudah menenteng
gelar sarjana pendidikan yang oleh pihak institusi PT menilai layak untuk
mempergunakan ijasahnya dan menyadang gelar sebagai seorang guru. Kedua, saya
menilai kita semua baik pemerintah, institusi PT dan semua stakeholders
terkait, belum serius berpikir dan melihat pendidikan sebagai hal yang
fundamental untuk kemajuan bangsa ini. Mungkin ada benarnya, tuduhan masyarakat
bahwa institusi PT “tidak becus” menyiapkan para calon guru. Sebagai salah satu
pimpinan institusi PT khususnya di Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang, kami
selalu ingin membenahi diri dari waktu ke waktu. Tidak bermaksud membela diri,
saya menilai urusan pendidikan itu adalah tugas semua pihak khususnya
pemerintah dan stakeholders lainnya. Kita semua belum terlihat serius mengurus
pendidikan ini”, tandas dr. Jefry dengan suara bergetar.
Untuk
sesaat suasana pondok yang sebelumnya ramai karena dihibur kelompok musik “akuistik
Secangkir Kopi” menjadi hening. Para pemateri seakan kembali ke dalam dirinya
dan bertanya serius. Ada apa dengan dunia pendididikan kita. Ke manakah jutaan
generasi Indonesia khususnya di NTT bakal dibawa. Apakah suatu saat nanti
mereka berbangga dan berbesar hati dengan dirinya sendiri dan tanah tempat ia
menginjakkan kaki dan mengirip nafas kehidupan? Lalu berama-ramai mereka
mengujungi perkuburan untuk menyala lilin, berdoa dan berterima kasih di pusara
guru (dosen) mereka. Ataukah justru
sebaliknya? Mereka menjadi terasing dari dirinya seninri dan menuduh para guru
(dosennya) sebagai penyebab atas nasib buruk yang dialaminya?
…………………………………..
Tiba-tiba
saya membayangkan mewahnya gedung DPRD/DPR-RI, tempat para wakil rakyat
berpikir, berbicara, melobi sambil terkekeh-kekeh. Apakah mereka juga “galau”
bersama Dr. dr. Jefry, pimpinan UCB itu? Atau ada isu lain yang lebih hangat
untuk digereng-goreng dari pada isu guru honor, institusi PT yang “tidak becus”
dan nasib jutaan generasi bangsa dua puluh tahun yang akan datang? Hanya kopi
dalam cangkir itu yang tahu.
Beranikah
mereka mengetuk palu untuk meningkatkan mutu institusi PT yang dibutuhkan
masyarakat dan juga berani menutup institusi PT yang banyak mencetak pengangguran
terdidik? Beranikah mereka mengangkat guru honor yang diuji dan diseleksi
secara professional dan bukan karena pertimbangan politik semata atau mengangkat
guru berdasarkan pembagian jatah para birokrat dan politisi? Lalu, maukah
mereka menggadai seluruh tenaga dan pikirannya untuk generasi bangsa ini dengan
membangun berbagai insfratruktur pendidikan dan gaji/honor para guru yang layak.
Indonesia ini terlalu sayang untuk bubar
di tahun 2050 hanya karena banyak generasinya yang malas berpikir dan berbah
manjadi kampret atau cebong.
Salam
Cakrawala, Salam Literasi
0 Comments