STAY AT HOME
(Memetik Hikmah Dari Wabah Virus
Corona)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan
Cakrawala NTT
Hampir tiga bulan. Kami (kita)
dihimbau bahkan harus dipaksa untuk selalu ada di rumah. Please, stay at home.
Tidak boleh melakukan perjalanan jauh dan atau tidak diizinkan menyelenggarakan
sebuah kegiatan dengan mengumpulkan banyak orang. Silahkan berproduktif di
rumah atau dari rumah. Gunakan ragam bentuk media digital yang tersedia. Jika
ingin berbelanja barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti beras, minyak
tanah, garam dan sebagainya, silahkan ke pasar terdekat tetapi harus mengunakan
alat perlindungan diri seperti masker dan sarung tangan dengan tetap menjaga jarak.
Sepulang dari pasar, segeralah bersihkan diri seperti mandi dan cuci tangan.
Ingat, tidak boleh cemas dan gelisah apalagi stres. Imun tubuhmu dan tubuhku
harus dalam posisi utuh dan stabil.
Virus Corona ini seperti sniper
yang berjalan, berlari bahkan terbang (melayang) dalam senyap. Ia bisa membunuh
siapa saja tanpa terkecuali. Jika kamu lengah sedikit saja apalagi bersikap
ceroboh maka selesailah riwayatmu. Kamu (kita) bakal hanya tinggal kenangan.
Pakailah masker, selalu mencuci tangan dan tetap menjaga jarak. Kenalilah
orang-orang di sekitarmu. Jika ada yang baru kembali dari perjalanan jauh atau
daerah zona merah covid 19, segeralah memintanya untuk melaporkan diri kepada
pihak berwajib atau satgas covid 19 yang ada di wilayahmu agar segera diperiksa
dan untuk selanjutnya melakukan karangtina mandiri.
Virus ini bakal lenyap dan lelah
sendiri jika kita berpikir dan bertindak sama. Untuk kamu yang Kristiani, pasti
pernah membaca atau mendengar kisah Nabi Nuh. Ia (Nabi Nuh) berserta manusia
dan ternak yang ada dalam lambung perahu berbulan-bulan lamanya. Semuanya
diminta untuk patuh dan taat sampai air bah yang ganas itu surut kembali. Tentu
saja, air bah dalam kisah iman Nabi Nuh dan virus corona ini konteksnya berbeda
walau harus diakui kalau pesannya tetap sama. Kita diminta taat. Itu saja.
Tidak boleh egois. Sikap egois, ceroboh dan anggap enteng sebaiknya dihindari.
Sekali kamu ceroboh maka kamu dan orang-orang yang dikasihi bakal binasa.
............................................................
Virus Corona itu memang tidak
bertuan. Hadir begitu saja dan membuat dunia “gemetar” ketakutan. Ia hadir
seperti “malaikat” maut yang siap menerkam dan membinasakan. Virus ini tunggal.
Ia hadir dan dipastikan bakal lenyap. Tugas kita adalah mengenalnya dan
berusaha untuk menghindar. Itu saja. Lalu adakah cara untuk mengenali virus
ini? Ambil handphon android-mu dan hidupkan paket data. Berselancarlah di dunia
maya dan carilah sumber terpercaya untuk mengetahui apa itu virus corona.
Di berbagai kesempatan perjumpaan
khususnya pada dinding dunia maya, semuanya ikut nimbrung berpikir, berkomentar
dan bahkan berdebat tentang satu topik. Virus Corona. (Bdk. paragraf pertama
jangan buat “alai-alai”) Beberapa orang berumur tua berkomentar dalam resah.
Katanya, virus ini adalah bentuk kemurkaan Allah atas sikap manusia yang tidak
taat. Beragam teks dan peristiwa diceritakan kembali untuk menguatkan
argumennya. Manusia diminta untuk segera bertobat dan bersujud memohon
pengampunan dan kasih Allah untuk memusnahkan virus yang mematikan ini.
Sementara itu, beberapa orang muda berpikir lain. Mereka melihat bahwa virus
ini diciptakan untuk sebuah maksud tertentu. Ada sebuah skenario besar dari
beberapa kelompok tertentu untuk sebuah tujuan khusus semisal merebut pengaruh atau
kekuasaan tunggal di bidang politik, hukum, ekonomi dan sebagainya.
Virus ini menjadi sangat anonim.
Memiliki nama tetapi tidak bertuan. Benarkah, pandemik covid 19 ini bentuk
kemurkaan Allah dan atau memang sengaja diciptakan oleh sekelompok orang untuk
maksud tertentu? Belum ada yang memastikannya. Resah, gelisah, jenuh dan
binggung menjadi semakin utuh saat jumlah korban terus berjatuhan dan belum
menemukan vaksin yang ampuh untuk membasmi virus tak bertuan ini. Walau
demikian, hidup harus terus dijalankan. Semua elemen masyarakat diminta untuk
terus bergerak dan produktif walau hanya dari rumah. Lalu, bagaimanakah cerita
hidup sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang harus keluar dari rumah
untuk mendapatkan sesuap nasi untuk diri dan keluarganya?
Pada titik ini, pemerintah
diharapkan lebih arif dan bijaksana. Beberap keputusan sensistif harus diambil.
Tujuannya hanya satu. Memberi rasa aman kepada masyarakat. Aman dari serangan
wabah covid 19 dengan menekan jumlah orang masyarakat yang terjangkit virus
mematikan ini. Hingga sejauh ini, pemerintah sudah, sedang dan terus bekerja
keras dengan menyiapkan berbagai fasilitas kesehatan pendukung yang memadai
sambil terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan
aktif memerangi wabah wabah mematikan ini. Lalu adakah hikmah di balik situasi
dan cerita pandemi covid 19 ini? Mari kita sepakati bersama. Virus corona ini
tidak bertuan. Virus ini bukan azab dari Tuhan dan bukan karena ciptaan
sekelompok orang untuk sebuah maksud tertentu. Virus ini datang begitu saja.
Tidak bertuan dan akan lelah dan lenyap begitu saja. Dengan demikian, yang
tersisa adalah hikmah atau pesan dibalik sitausi dan cerita pandemi covid 19
ini.
Pertama, covid 19 mengajarkan
kita untuk mengerti bahwa ada bilik dalam kehidupan ini yang sulit dimengerti
secara rasional. Manusia adalah mahluk yang mulia sekaligus rapuh. Pada titik
ini, kita akan mengerti apa itu misteri. Manusia butuh sebuah sikap iman dari
agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain, agama apapun yang kau yakini,
imanmulah yang menyelamatkanmu. Di situasi begini, manusia sama di mata alam
dan Tuhan. Tidak ada yang paling suci dan mulia. Semuanya sama. Makluk yang
mulia sekaligus rapuh. Bersujud dalam doa adalah adalah sikap iman yang harus di
kedepankan. Tuhan adalah kasih. Ia selalu hadir dalam seluruh situasi nyata
yang dihadapi manusia. Sekalipun doa kita tidak mampu melenyapkan virus ini,
minimal kita diberi kekuatan untuk mengahadapi virus ini dengan tangan
terkatup. Tuhan adalah yang Mahakuasa dan Mahaadil. Terpujilah nama-Nya.
Kedua, covid 19 mengajarkan kita
untuk mencintai orang lain seperti kita mencintai diri sendiri. Aku ada
mengadaikan adanya kamu. Lalu? Tidak ada aku dan kamu. Yang ada adalah kita.
Kita adalah kata yang paling netral dan bijak untuk membunuh sikap egois,
serakah dan tamak. Kata “kita” terkristal pada kata “keluarga”. Seruan, stay at
home mengajak kita untuk kembali pada sebuah rasa saling memiliki dan
melindungi. Sikap egois dan kecerobohanmu akan menjadi musibah bukan hanya
untuk dirimu sendiri tetapi juga orang lain. Sekali lagi, covid 19 mengajarkan
bahwa kita berada pada dunia yang sama untuk saling menjaga dan melindungi.
Bangga dan terima kasih kepada berbagai pihak baik secara pribadi maupun secara
lembaga (komunitas) membagikan rejekinya berupa masker dan barang kebutuhan
pokok lainnya untuk meringankan beban dari saudara-saudari yang menerima dampak
langsung dari wabah virus ini.
Ketiga, Covid 19 mengharuskan
kita untuk kreatif dan produktif. Benar. Ketakutan terbesar dari sebagian besar
masyarakat justru bukan tentang virus corona yang mematikan itu tetapi
melemahnya roda perekonomian. Hingga saat ini, jutaan orang kehilangan
pekerjaanya. Dengan demikian, ada banyak keluarga yang terancam kelaparan dan
melarat. Selain itu, tingkat kriminalitas meningkat seiring dengan menitipisnya
bahan makanan dan obat-obatan. Masyarakat diminta untuk tetap di rumah tetapi
harus produktif. Masyarakat di pedesaan sebaiknya tetap ke kebun atau ke sawah
untuk bekerja. Kreatifitas dan inovasi lazimnya datang di saat-saat sulit.
Syaratnya satu. Masyarakat harus tetap tenang, waspada dan berupaya untuk
bergerak dan berkarya.
Keempat, Covid 19 mengajarkan
kita sebuah peradaban baru. Sebuah dunia baru dalam jaringan. Bebagai jenis usaha,
kreatifitas dan hasil produksi dijual secara online. Demikian halnya dengan
berbgai jenis rapat atau inovasi dilakukan dalam jaringan. Masyarakat dunia
harus berbangga sekaligus menyiapkan diri untuk masuk dalam sebuah peradaban
baru. Sebuah dunia virtual hasil karya yang mengagumkan. Berbagai wacana
tentang hadirnya uang elektronik kembali menyentakkan hati dan pikiran. Dunia
bagai sebuah dusun kecil yang bias dijangkau dalam hitungan detik. Pertanyaan
tersisa, sejauh mana kita menyiapkan diri untuk mask dalam sebuah peradaban
baru ini. Adakah kita menyerah pada nasib dan tetap konsisiten berpikir manual?
Kelima, covid 19 menggajarkan
kita untuk menikmati hidup. Jauh dari semua itu, covid 19 mengajarkan kita
untuk berani menikmati hidup dalam situasi apapun. Jangan pernah menyerah.
Hidup harus dimenangkan. Ada titik akhir yang harus diperjuangkan dari waktu ke
waktu. Di tengah situasi wabah corona ini, semua orang harus merasa
bertanggungjawab untuk dirinya sendiri dan orang lain. Semoga kita semua diberkati.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
...
0 Comments