Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

PERGILAH KE PASAR OESAPA, TIDAK PERLU KULIAH (EKONOMI)


PERGILAH KE PASAR OESAPA, TIDAK PERLU KULIAH (EKONOMI)
(Menggugat Peran Perguruan Tinggi di NTT )

Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.
Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT

Hari masih pagi. Di pelipit bukit cabang Tilong, Kabupaten Kupang ini, angin bertiup kencang. Gesekan daun lontar berhasil menciptakan nada-nada resah dan gelisah. Adakah sebentar lagi hari akan hujan ataukah pertanda awal musim panas yang menyengat? Saya adalah yang selalu ingin setia membaca bahasa alam. Tiba-tiba, istriku mengajak ke pasar walau Ia tahu, saya “trauma” menemaninya berbelanja di pasar itu. Bukan karena hiruk pikuknya manusia atau suasana pasar yang padat berdesakan. Bukan. Tapi cara ia (istriku) berbelanja. Menawar tomat seharga Rp. 5.000/kumpul, harus menelan waktu hingga tujuh menit. Jika harga tidak cocok, saya akan dibawanya pergi jauh ke sudut pasar. Ia tahu, ada seseorang di sana yang juga menjual tomat. Perbedaan harganya hanya lima ratus rupiah. Tapi untuk ke sana, kita harus berdesakan dengan yang lain dan menjaga langkah agar tidak menginjak barang jualan lain. Begitulah ceritanya, hingga saya merasa “tidak profesional” untuk berbelanja di pasar.

 Entah mengapa, pagi ini saya mengiyakan ajakannya. Saya tidak tahu, apakah ia atau saya yang menemui hari baik. Ada sedikit suasana romantis di atas punggung motor ketika ia memelukku erat. Saya pastikan bukan karena angin yang bertiup kencang dan ia takut terhempas. Ia sedang merindukan dan mendambakan suasana begini. Pergi ke pasar berdua seperti beberapa tahun silam waktu kami menikmati masa pacaran. Dugaanku benar. Ia bakal menarik tanganku ke sana ke mari. Di pasar ini tidak ada yang berubah kecuali untuk satu hal. Mayoritas pedagang tidak menggunakan masker. Kalau ada yang pakai, tetapi tidak untuk menutup mulut dan hidung tetapi menutup dagu. Di sini, segala bentuk anjuran dan protokol kesehatan dari pemerintah tentang bahaya Covid-19 tidak berlaku.

Namun, ada sebuah fakta menarik. Sebagian besar dari jumlah pedagang di pasar ini adalah ibu-ibu berusia lanjut. Lebih dari 50 tahun. Mereka dipastikan belum pernah mengenyam pendidikan sarjana, diploma, bahkan ada yang belum sempat mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Ibu-ibu memang diakui sebagai sosok yang setia dan sabar. Setia untuk menunggu dan memiliki keterampilan alamiah untuk “merayu” dan menyakinkan calon pembeli untuk membeli barang yang dijualnya. Sebut saja tomat. Ia tidak langsung mengatakan tomat itu baik dan masih segar. Ia akan cerita kalau tomat itu diangkut tadi pagi dari pelosok desa. Imajinasi calon pembeli berjalan. Itu berarti tomat ini masih segar, alami, dan tidak tersentuh dengan bahan kimia.

Begitulah yang terjadi. Pertanyaan tersisa, di manakah anak muda NTT yang baru atau sudah menyelesaikan pendidikan pada Jurusan Ekonomi?, misalnya. Jika bukan di pasar ini, di manakah mereka bekerja? Di balik meja sebagai staf pada kantor pemerintahan dan swasta? Atau, justru sedang nyaman berada di bawah ketiak orang tua sebagai pengangguran terdidik? Entahlah. Satu hal yang pasti, jika berbicara tentang NTT bangkit dan sejahtera maka harus melihat sejauh mana peranan anak muda di dalamnya. Saya berbangga hati dengan komentar sekelompok anak muda. Katanya, mereka sedang menyibukkan diri di pasar online. Ada banyak produk kecantikan terjual dan mendapat keuntungan besar dari sebuah HP android. Ia berbaring manja tetapi sebenarnya ia sedang berjualan. Menarik. Tomat itu dibeli bukan dengan cara ke pasar. Tomat itu dipesan secara online maka dalam hitungan menit, seseorang akan datang mengetuk pintu dapur dan melakukan transaksi jual-beli.

Jika demikian ceritanya, mengapa harus menghabiskan waktu untuk kuliah? Atau kuliah itu untuk apa? Selembar kertas ijasah? Nama besar keluarga? Atau kuliah itu sebagai jalan untuk mampu menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan banyak uang? Begini. Hidup itu adalah tentang bagaimana kita mampu meramu segala yang ada sesuai dengan cara kita ada dan hidup. Misalnya, kamu kuliah dengan motivasi mengubah garis nasib keluarga yang sederhana. Pihak orang tua menjual sapi untuk biaya kuliah dengan total pengeluaran sejak masuk pertama hingga wisuda sebesar, Rp. 60.000.000,00. Biaya ini tidak termasuk uang wisuda dan biaya pesta syukurannya. Padahal kalau mau efektif dan sedikit rasional, uang itu kamu pakai untuk berbisnis tomat. Caraya, pergi ke pasar dan berceritalah dengan ibu-ibu yang tidak sempat kuliah itu. Keuntunganmu pasti lebih besar karena modal usahamu besar. Jika keuntungannya besar, maka kamu bisa pekerjakan beberapa orang ibu lainnya yang tidak sempat sekolah dan saatnya kamu kuliah. Toh, uangmu sudah banyak dan sekarang kamu hanya butuh selembar ijasah. Dari pada kamu kuliah, sudah habiskan banyak uang dan waktu bertahun-tahun jika pada akhirnya hanya untuk menganggur dan membebankan orang tua juga negara.

Jika kamu seorang idealis bakal kamu marah dengan tulisan ini. Tetapi kalau kamu adalah seorang yang rasional dan realistis, maka kamu bakal bersyukur. Fakta berbicara. Angka pengangguran terdidik mencapai angka 6,8 jiwa. Logikanya jelas. Perguruan Tinggi tidak menjamin kemudahan mendapatkan pekerjaan. Penganggur terdidik justru meningkat. Lulusan sekolah rendah malah cepat mendapatkan pekerjaan. Lapangan pekerjaan untuk kaum terdidik meluas, tetapi banyak yang tak mampu memenuhi persyaratan kerja (https://www.beritasatu.com/nasional/553406-penganggur-terdidik-meningkat).

Saya banyak bercerita dengan calon guru dan dosen. Kepada si calon guru yang kebetulan adalah keponakan, saya bertanya, “motivasi apa yang membuat kamu memilih fakultas keguruan?” jawabanya singkat dan pasti. “Untuk mengajar peserta didik”. Tidak ada alternatif jawaban, semisal untuk belajar dan mengajar (KBM). Logika ini yang nantinya, ketika menjadi guru (dosen), dia merasa sebagai yang paling tahu. Sumber segala ilmu. Maka tidak heran jika metode mengajarnya, masih menggunakan gaya ceramah. Dia marah jika siswa (mahasiswa) tampak acuh tak acuh dan menanyakan sesuatu di luar kemampuannya menjawab. Kepada seorang dosen, saya bertanya. Apa yang membuatmu masih merasa bangga dari profesimu sebagai dosen ketika mengetahui alumni (mantan mahasiswamu) masuk kelompok pengangguran terdidik? Sebagian besar mereka (dosen) tidak berani langsung menjawab. Beberapa orang sempat protes dan bertanya balik. “Menurut kamu, bagaimana?” atau “kenapa harus tanya begitu?” padahal saya merindukan ia menjawab jujur. Misalnya, itulah dosa kami. Mengutamakan nilai ketimbang menuntun mereka untuk mampu berpikir sendiri sehingga nantinya bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.

Ada apa dengan Perguruan Tinggi (PT) kita? Jika mau jujur, ada yang mis dari keberadaan PT kita. Saat ini, saya disibukkan oleh keponakan saya yang mau kuliah. Katanya mau masuk Teknik Sipil. Setelah ditanya tentang motivasi atau target dari pemilihan jurusan ini, ia menjawab hanya ikut teman dan ingin masuk pegawai negeri. Sebagai keluarga dekat saya menayakan dan memintanya untuk jujur. Hobimu apa saat ini? Ia belum sempat menjawab ketika dari balik gagang telepon saya mendengar mamanya mengerutu, kalau dia (keponaan) ini selalu bangun kesiangan dan habiskan waktu dengan laptop. Perlahan akhirnya saya sadar kalau ia punya minat besar di barang ini. Ia sangat bergembira karena saya tawarkan untuk masuk Jurusan Teknik Komputer (IT). Akhirnya ia pun jujur bahwa Teknik Sipil itu hanyalah imanjinasi dari bapaknya untuk ia wujudkan.

……………………………………………………..

Perguruan Tinggi adalah sebuah institusi ilmiah yang memang layak dituntut pertanggungjawabannya atas banyaknya pengangguran terdidik di negara ini termasuk di NTT. Tidak perlu mengelak bahwa Perguruan Tinggi itu hanya mencetak ijasah. Bukan seorang sarjana yang profesional di bidangnya. Perkara ia bekerja atau nganggur adalah dosa pribadi dan dosa pemerintah yang bertugas menyiapkan lapangan kerja. Hemat saya, itu tidak sehat. Mari kita sederhanakan. Kalau ada mahasiswa yang dinilai lemah dari sisi IPK dan berkarakter mengarah pada pribadi berkebutuhan khusus, maka sebaiknya ia diarahkan untuk pindah jurusan. Misalnya ada mahasiswa di fakultas keguruan Jurusan Bimbingan Konseling (BK), lebih banyak absen, suka membuat keributan, dan sebagainya, maka kembalikan ia pada tempatnya atau ke habitatnya. Ia tidak bisa menjadi calon guru BK. Itu seperti cerita, orang buta menuntun orang buta.

Walau demikian, saya memberi apresiasi kepada Perguruan Tinggi yang sudah bekerja maksimal untuk menyiapkan generasi NTT ke dunia kerja dan bekerja sama lintas sector, baik dalam negeri maupun luar negeri. Begitulah seharusnya. Bukan Perguruan Tinggi yang lebih mengutamakan uang kuliah atau registrasi mahasiswa, sementara dosennya menyibukkan diri bekerja di luar kampus dan meninggalkan sebuah diktat yang harus dibeli oleh mahasiswa sebagai syarat untuk mendapatkan nilai. Selain itu, pihak yayasan harus tegas. Dosen “nakal” harus dipecat. Misalnya, “berpacaran/selingkuh” untuk diberi nilai mata kuliah. Jika tidak, dia (mahasiswi) bakal tua di kampus. Pointnya, pihak Perguruan Tinggi harus bertanggung jawab dan membubarkan diri jika kemudian tidak berguna dalam mencetak generasi yang mandiri dan berkarakter. Satu hal lagi. Jangan kibuli masyarakat kalau kampus itu berkualitas hanya karena menempati akreditasi A atau B. Apa itu akreditasi? Sesuai fakta yang ada di kampus atau hasil “main mata” dengan tim akreditasi? Maksud saya, mulailah jujur, baik secara pribadi sebagai dosen maupun secara institusi sebagai sebuah Perguruan Tinggi. Stop tipu-tipu.

Salam Cakrawala, salam literasi.


Post a Comment

0 Comments