Gusty Rikarno Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Saya
baru selesai membaca. Tri Pitara Mahanggoro, penulis buku ini memang jenius. Ia
mampu mengobok-obok hati dan pikiran pembacanya. Judulnya saja sudah bikin
meleleh. “Life Excellence_Mencapai Kebahagian Hidup Dengan Keseimbangan
Berpikir”. Sejak beberapa tahun lalu, saya memang sudah mempercayakan pikiran
sebagai kompas untuk menuntun seluruh narasi, sikap hidup bahkan perasaan saya.
Pada bagian awal ia mengajak pembaca dengan satu topik menarik. “Pikiran kita
merupakan pusat kebahagiaan hidup”. Pembaca dibuatnya terhuyung-huyung hingga
akhirnya tiba di tema akhir. Ia beri judul, “Menuju ke lubuk hati yang paling
dalam”. Dengan demikian, Tri Pitara Mahanggoro tidak pernah mau memberi
dikotomi antara pikiran dan perasaan.
Konsep
manusia menurut antropologi dan etika Plato harus digali dalam Phaedo. Berikut argumen sentralnya. Jiwa
sama dengan idea-idea, tetapi idea-idea bersifat immortal dan eksis dalam
dirinya sendiri; karena itu, jiwa immortal. Sama seperti idea-idea eksis di
dalam dirinya sendiri, demikian juga jiwa. Jiwa mempunyai eksistensi (ousia),
sejauh ia memiliki relasi dengan sesuatu yang mempunyai nama akan ‘apa’nya,
dengan idea-existence. Yang menyertainya kemudian yakni bahwa idea-idea
diintuisikan oleh seorang. (Bdk. Jiwa manusia dalam pandangan plato).
Akh,
bicara soal buku sepertinya membuat kita tampak kaku dan ja’im. Jadi, kita
sederhanakan saja. Seperti tema-tema
yang lain saya ingin mengajak kita untuk bermain-main dengan fakta tanpa harus
membuatnya kering dan membosankan. Santai saja. Toh, hidup ini adalah sebuah
permainan. Benar. Manusia itu mahkluk bermain (homo ludens). Lalu? Biarkan imajinasimu
bebas dan mari mengembara.
Di
bulan Agustus kemarin (2019), Valeri Guru dan Sam Babys mengedit aneka
perspektif dan testimoni dari beberapa pemikir dan tokoh di NTT dalam sebuah
buku. Judulnya tidak tanggung-tanggung. “NTT Gerbang Selatan Indonesia”.
Kadang-kadang saya menilai teman-teman di Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi
NTT terlalu “berlebihan” menarasikan seluruh sepak terjangnya seorang Viktor
Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT. Tidak
heran, yang selalu tampil berbicara dan terkesan bekerja lebih banyak adalah
gubernur. Sementara itu, komentar atau narasi yang disampaikan seorang wakil
gubernur, sekretaris daerah dan para kepala dinas, jarang terdengar. Terkesan,
yang pantas berbicara banyak adalah gubernur. Atau memang harus begitu.
Persoalannya, publik (saya) menilai yang lain khususnya para kepala dinas itu
tidak berpikir apalagi bekerja. Mereka masuk dalam kelompok “angguk-angguk”
ketika gubernur berbicara. Apakah mereka mengerti dan menjabar aksi “angguk-angguk”
sebagai ekspresi mengerti dan setuju itu? Nah, di sini persoalannya. Menurut
saya, biarkan mereka (para kadis) itu berbicara. Beri mereka kesempatan untuk
mengeksplorasi gagasannya sekaligus aksi nyata dari seluruh program kerjanya minimal
sebulan sekali di Radio Swara NTT itu.
……………………………….
Berharap
masih ingat, kisah perjuangan ibu-ibu di Besipae-Kabupaten Timor Tengah Selatan
yang untuk memperjuangkan nilai sebuah kata kebenaran harus rela bertelanjang
dada. Mereka menari dalam narasi pilu. Terhadap aksi seronok ini oleh
sekelompok “orang pintar”, mereka dituduh melakukan porno aksi dan siap untuk
membawanya ke ranah hukum. Padahal, ibu-ibu ini hanya ingin didengar dan
sedikit ikut merasakan pergumulan sekaligus keresahan hatinya. Mereka dalam
kapasitas daya pikir terbatas, “terpaksa” melakukan itu agar suara mereka didengar
oleh pemerintah. Di tengah kerumunan dan aksi tidak biasa itu, seorang Viktor
Bungtilu Laiskodat ada dan menyaksikannya secara langsung. Ia hadir dalam
kapasitas sebagai anak Timor sekaligus Gubernur NTT. Ada garuda tertanam di
dadanya sebagai pemerintah dan ada rasa sepenanggungan di hatinya sebagai anak
NTT khususnya sebagai anak Timor.
Dia (Viktor
Bungtilu Laiskodat) mengusung tagline
pembangunan yang mewah dan spektakuler. NTT Bangkit, NTT Sejahtera. Tagline itu
bermuatan kata yang bernyawa. Bangkit dan sejahtera. Keduanya, saling
mengandaikan. Sejahtera syaratnya harus bangkit atau alasan bangkit tidak lain
kecuali untuk sejahtera. Bangkit itu adalah aksi. Bergerak, buka mata, dan
berjalan. Bangkit adalah peristiwa akan sebuah jantung yang bergetar dan
mengembuskan nafas kebebasan untuk menikmati kehidupan. Bangkit adalah cara
berada yang paling elegan. Lalu? Bangkit harus memilih maksud minimal untuk
yang dirinya sendiri. Dalam konteks ini, bangkit membawa akibat yakni
kesejahteraan.
Masyarakat
Besipae khusunya para ibu bertelanjang dada itu bangkit “berbicara” walau dalam
aksi yang sangat vulgar. Ada sebuah kerinduan bawah sadar untuk mereka bisa
menjadi dirinya sendiri dan tuan di atas tanahnya sendiri. Dengan demikian tagline pembangunan seorang Viktor, berada pada garis, jalur dan
maksud yang sama. Pemerintah dan masyarakat NTT memiliki kerinduan untuk
bangkit dan merubah garis nasibnya sekaligus stigma yang mendaging sebagai
provinsi miskin dan bodoh.
Ia
(Viktor) berusaha mengambil jarak terjauh dari seluruh program kerjanya. Ia
tahu, untuk membangkitkan masyarakat NTT dengan segala kemampuan membangun
sumber daya manusia dan menggali potensi alamnya, tidaklah mudah. Ada cara atau
strategi sik-sak yang berada di luar kemampuan berpikir rata-rata. Ia mencoba
menerobos jalur birokrasi yang panjang dan terkesan berbbelit-belit. Ia marah
dalam kata yang tidak biasa. “Sesungguhnya tidak ada lahan yang tidur, yang
selalu tidur itu adalah masyarakatnya”. Ia juga mempertanyakan atau menggugat
kekudusan masyarakat NTT. Menurut, kudus dalam posisi miskin dan bodoh adalah
sia-sia sehingga tempatnya nanti bukan di Surga. Mungkin di neraka.
Mari
kita lihat beberapa sepak terjang Viktor dengan seuruh narasi besarnya. Ada
ribuan lahan yang digarap untuk usaha garam. Ia bertekad, untuk menyumbangkan 1
ton garam dari NTT untuk mengurangi import garam secara nasional. Ribuan bahkan
jutaan benih ikan kerapu, mujair, dll dibudidayakan di sejumlah tempat. Selain
itu, ia memiliki obsesi sekaligus ambisi untuk membangun dunia pariwisata di
NTT. Ada pohon ajaib yang sudah ada ribuan tahun di NTT. Kelor namanya. Jika
selama ini hanya digunakan untuk sayur maka diharapkan ada nilai tambahnya.
Kelor itu harus diekspor dalam berbagai bentuk hasil produksi. Selain itu, ada
rumput laut yang harus dikelola secara maksimal dan professional. Oh ya? Ada minuman
tradisonal beralkohol (miras) yang diproduksi dari pohon aren dan enau yang
juga dikelola melalui riset terapan terpadu Undana yang diberi nama Sopia (sopi
asli). Sambil mengali potensi sumber daya alam, ia juga mendorong lahirnya para
pemikir muda NTT selalui dinas pendidkan dengan mengusung program pendidikan
unggulan di bidang literasi, numerasi dan karakter.
Hingga
saat ini masyarakat NTT menunggu dalam ragu. Sejauhmana narasi dan aksi seorang
Viktor terkristalisasi dalam satu bentuk dan membawa NTT menuju sejahtera. Apa
kabar dengan kelor, sopia, garam, ikan kerapu dan sebagainya. Jangan-jangan dia
(Viktor) adalah pencetak narasi sebagaimana ia pernah menyebutnya “hidup ini
hanyalah sebatas cerita”. Begitulah Viktor. Tidak pernah mau membiarkan dirinya
untuk hidup dari kata orang. Saya sangat yakin, ia mengetahui seluruh ekspresis
kekesalan sebagian masyarakat NTT. Ia tahu itu tetapi tetapi tidak rela
menggadai seluruh perasaan dan pikirannya untuk mendengar komentar yang
terkesan sangat emosional itu. Membangun NTT, tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Butuh waktu dan tentunya menelan banyak sumber daya baik fisik, psikis
dan juga biaya.
Di
detik ini, akhirnya kita sebaiknya sepakat kalau Ia (viktor) adalah seorang
sales. Ia adalah seorang Gubernur, wakil pemerintah pusat di daerah. Ia hadir
sebagai sales program. Menjalankan visi dan misi presiden sekaligus menawarkan
peluang dan potensi yang dimiliki NTT ke pemerintah pusat. Lima buah visi
Presiden Jokowi dielaborasi dengan seluruh potensi Sumber Daya Manusia (SDM)
dan Sumber Daya Alama (SDA) punyanya NTT. Kelima visi itu antara lain, pembangunan
infrastruktur, SDM, investasi seluas-luasnya, reformasi birokrasi dan pengunaan
APBN yang fokus dan tepat sasar. Begitulah sales bekerja. Menghadirkan sekian banyak
narasi sekaligus strategi untuk NTT bisa bangkit dan sejahtera. Beberapa Langkah
strategis terkadang berada di luar pikiran politisi kebanyakan. Semisal,
meminjam uang ratusan miliar untuk membangun infrastruktur jalan. Tujuannya
satu. Masyarakat merdeka dari sisi tranportasi sehingga ikut nimbrung dalam denyut
nadi perekonomian nasional. Ia mendermakan pikiran dan tenaganya sebagai
gubernur sekaligus sales untuk masyarakat NTT. Pertanyaan sederhana tetapi
sangat menentukan. Maukah masyarakat NTT menerimanya? Masih ingat tentang pulau
Komodo? Ia “menggertak” dengan menutup
akses ke pulau komodo. Padahal salah satu program unggulanya membangun pariwisata
di NTT. Apa yang terjadi? Walau tidak seluruhnya, komodo kini menjadi bagian
dari asset NTT yang bakal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Jika
Viktor yang adalah Gubernur itu datang sebagai sales, lalu masyarakat ini harus
mengambil posisi sebagai pembeli yang hanya menikmati atau sebagai penoton atau
justru ikut mengambil peran sebagai sales dalam arti tertentu. Terkdang saya
berpikir, para kepala dinas yang tidak kreatif dan mati angin itu sebaiknya pensiun
dini saja. Seharusnya ada sebuah sayembara besar. ASN yang merasa tidak
produktif dan lemah untuk berpikir karena banyak faktor sebaiknya pensiun dini
saja. Pemerintah menyerahkan piagam penghargaan dan sedikit uang sebagai modal
awal berwiraswasta. Jika tidak, kapal benama NTT ini akan selalu terhuyung-huyung.
Susah maju dan lebih cenderung mundur. Tahu kenapa? Terlalu banyak awak kapal
yang nempel bagai benalu. Ia (para benalu) ini tampil seolah sebagai sahabat
dan partner kerja Viktor tetapi minus inisiatif dan tidak produktif. Ada tim
percepatan pembangunan tetapi hanya sekadar nama. Di bidang pariwisata,
pertanian, peternakan dan sebagainya, aksi nyata mereka apa?
Menurut
saya, ada yang hilang di sini. Viktor yang adalah seorang gubernur dan sales
itu seolah jalan sendiri dan bahkan kini terkesan ditinggal sendiri. Atakah
narasi pembangunan itu terlampau idealis sehingga banyak yang mencari posisi aman
dan cenderung mengekor? Saya tidak
banyak mengerti bahasa birokrasi tetapi yang saya tahu, selalu ada ruang atau
jalur koordinasi dan kolaborasi. Kekuatiran saya ada pada dua titik ini.
Pertama, Gubernur NTT akan merasa bahwa tidak ada lagi yang mampu berpikir dan
bekerja melampaui batas dirinya. Dengan terpaksa dan berat hati, ia mengambil
alih semua pekerjaan karena tidak ada tanda bahwa para kadis ini mampu bergerak
dan berpikir sendiriJika kemudian ia berhasil maka itu karena kemampuannya sendiri.
Lalu kalau ia gagal, memang seharusnya begitu. Ia tidak didukung oleh orang
dekatnya. Kedua, ada sebuah sejarah yang bakal tertoreh nantinya tentang NTT
bangkit dan sejahtera di belasan bahkan puluhan tahun kemudian. Pernah ada
sebuah tagline yang menggetarkan, NTT bangkit dan sejahtera. Apakah itu terbukti
ataukah hanya sebuah kisah dramatis yang hanya pernah ada tetapi tidak membekas?
Tri Pitara Mahanggoro dalam bukunya itu kembali “menggugat” kita. Mari menuju
ke lubuk hati yang paling dalam.
Salam
Cakrawala, Salam Literasi
0 Comments