Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

KETIKA GUBERNUR NTT BERPERAN SEBAGAI SALES


Gusty Rikarno
Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT
Saya baru selesai membaca. Tri Pitara Mahanggoro, penulis buku ini memang jenius. Ia mampu mengobok-obok hati dan pikiran pembacanya. Judulnya saja sudah bikin meleleh. “Life Excellence_Mencapai Kebahagian Hidup Dengan Keseimbangan Berpikir”. Sejak beberapa tahun lalu, saya memang sudah mempercayakan pikiran sebagai kompas untuk menuntun seluruh narasi, sikap hidup bahkan perasaan saya. Pada bagian awal ia mengajak pembaca dengan satu topik menarik. “Pikiran kita merupakan pusat kebahagiaan hidup”. Pembaca dibuatnya terhuyung-huyung hingga akhirnya tiba di tema akhir. Ia beri judul, “Menuju ke lubuk hati yang paling dalam”. Dengan demikian, Tri Pitara Mahanggoro tidak pernah mau memberi dikotomi antara pikiran dan perasaan.

Konsep manusia menurut antropologi dan etika Plato harus digali dalam Phaedo. Berikut argumen sentralnya. Jiwa sama dengan idea-idea, tetapi idea-idea bersifat immortal dan eksis dalam dirinya sendiri; karena itu, jiwa immortal. Sama seperti idea-idea eksis di dalam dirinya sendiri, demikian juga jiwa. Jiwa mempunyai eksistensi (ousia), sejauh ia memiliki relasi dengan sesuatu yang mempunyai nama akan ‘apa’nya, dengan idea-existence. Yang menyertainya kemudian yakni bahwa idea-idea diintuisikan oleh seorang. (Bdk. Jiwa manusia dalam pandangan plato).

Akh, bicara soal buku sepertinya membuat kita tampak kaku dan ja’im. Jadi, kita sederhanakan saja.  Seperti tema-tema yang lain saya ingin mengajak kita untuk bermain-main dengan fakta tanpa harus membuatnya kering dan membosankan. Santai saja. Toh, hidup ini adalah sebuah permainan. Benar. Manusia itu mahkluk bermain (homo ludens). Lalu? Biarkan imajinasimu bebas dan mari mengembara.

Di bulan Agustus kemarin (2019), Valeri Guru dan Sam Babys mengedit aneka perspektif dan testimoni dari beberapa pemikir dan tokoh di NTT dalam sebuah buku. Judulnya tidak tanggung-tanggung. “NTT Gerbang Selatan Indonesia”. Kadang-kadang saya menilai teman-teman di Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT terlalu “berlebihan” menarasikan seluruh sepak terjangnya seorang Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT.  Tidak heran, yang selalu tampil berbicara dan terkesan bekerja lebih banyak adalah gubernur. Sementara itu, komentar atau narasi yang disampaikan seorang wakil gubernur, sekretaris daerah dan para kepala dinas, jarang terdengar. Terkesan, yang pantas berbicara banyak adalah gubernur. Atau memang harus begitu. Persoalannya, publik (saya) menilai yang lain khususnya para kepala dinas itu tidak berpikir apalagi bekerja. Mereka masuk dalam kelompok “angguk-angguk” ketika gubernur berbicara. Apakah mereka mengerti dan menjabar aksi “angguk-angguk” sebagai ekspresi mengerti dan setuju itu? Nah, di sini persoalannya. Menurut saya, biarkan mereka (para kadis) itu berbicara. Beri mereka kesempatan untuk mengeksplorasi gagasannya sekaligus aksi nyata dari seluruh program kerjanya minimal sebulan sekali di Radio Swara NTT itu.

……………………………….

Berharap masih ingat, kisah perjuangan ibu-ibu di Besipae-Kabupaten Timor Tengah Selatan yang untuk memperjuangkan nilai sebuah kata kebenaran harus rela bertelanjang dada. Mereka menari dalam narasi pilu. Terhadap aksi seronok ini oleh sekelompok “orang pintar”, mereka dituduh melakukan porno aksi dan siap untuk membawanya ke ranah hukum. Padahal, ibu-ibu ini hanya ingin didengar dan sedikit ikut merasakan pergumulan sekaligus keresahan hatinya. Mereka dalam kapasitas daya pikir terbatas, “terpaksa” melakukan itu agar suara mereka didengar oleh pemerintah. Di tengah kerumunan dan aksi tidak biasa itu, seorang Viktor Bungtilu Laiskodat ada dan menyaksikannya secara langsung. Ia hadir dalam kapasitas sebagai anak Timor sekaligus Gubernur NTT. Ada garuda tertanam di dadanya sebagai pemerintah dan ada rasa sepenanggungan di hatinya sebagai anak NTT khususnya sebagai anak Timor.

Dia (Viktor Bungtilu Laiskodat) mengusung tagline pembangunan yang mewah dan spektakuler. NTT Bangkit, NTT Sejahtera. Tagline itu bermuatan kata yang bernyawa. Bangkit dan sejahtera. Keduanya, saling mengandaikan. Sejahtera syaratnya harus bangkit atau alasan bangkit tidak lain kecuali untuk sejahtera. Bangkit itu adalah aksi. Bergerak, buka mata, dan berjalan. Bangkit adalah peristiwa akan sebuah jantung yang bergetar dan mengembuskan nafas kebebasan untuk menikmati kehidupan. Bangkit adalah cara berada yang paling elegan. Lalu? Bangkit harus memilih maksud minimal untuk yang dirinya sendiri. Dalam konteks ini, bangkit membawa akibat yakni kesejahteraan.

Masyarakat Besipae khusunya para ibu bertelanjang dada itu bangkit “berbicara” walau dalam aksi yang sangat vulgar. Ada sebuah kerinduan bawah sadar untuk mereka bisa menjadi dirinya sendiri dan tuan di atas tanahnya sendiri. Dengan demikian tagline pembangunan  seorang Viktor, berada pada garis, jalur dan maksud yang sama. Pemerintah dan masyarakat NTT memiliki kerinduan untuk bangkit dan merubah garis nasibnya sekaligus stigma yang mendaging sebagai provinsi miskin dan bodoh.

Ia (Viktor) berusaha mengambil jarak terjauh dari seluruh program kerjanya. Ia tahu, untuk membangkitkan masyarakat NTT dengan segala kemampuan membangun sumber daya manusia dan menggali potensi alamnya, tidaklah mudah. Ada cara atau strategi sik-sak yang berada di luar kemampuan berpikir rata-rata. Ia mencoba menerobos jalur birokrasi yang panjang dan terkesan berbbelit-belit. Ia marah dalam kata yang tidak biasa. “Sesungguhnya tidak ada lahan yang tidur, yang selalu tidur itu adalah masyarakatnya”. Ia juga mempertanyakan atau menggugat kekudusan masyarakat NTT. Menurut, kudus dalam posisi miskin dan bodoh adalah sia-sia sehingga tempatnya nanti bukan di Surga. Mungkin di neraka.

Mari kita lihat beberapa sepak terjang Viktor dengan seuruh narasi besarnya. Ada ribuan lahan yang digarap untuk usaha garam. Ia bertekad, untuk menyumbangkan 1 ton garam dari NTT untuk mengurangi import garam secara nasional. Ribuan bahkan jutaan benih ikan kerapu, mujair, dll dibudidayakan di sejumlah tempat. Selain itu, ia memiliki obsesi sekaligus ambisi untuk membangun dunia pariwisata di NTT. Ada pohon ajaib yang sudah ada ribuan tahun di NTT. Kelor namanya. Jika selama ini hanya digunakan untuk sayur maka diharapkan ada nilai tambahnya. Kelor itu harus diekspor dalam berbagai bentuk hasil produksi. Selain itu, ada rumput laut yang harus dikelola secara maksimal dan professional. Oh ya? Ada minuman tradisonal beralkohol (miras) yang diproduksi dari pohon aren dan enau yang juga dikelola melalui riset terapan terpadu Undana yang diberi nama Sopia (sopi asli). Sambil mengali potensi sumber daya alam, ia juga mendorong lahirnya para pemikir muda NTT selalui dinas pendidkan dengan mengusung program pendidikan unggulan di bidang literasi, numerasi dan karakter.

Hingga saat ini masyarakat NTT menunggu dalam ragu. Sejauhmana narasi dan aksi seorang Viktor terkristalisasi dalam satu bentuk dan membawa NTT menuju sejahtera. Apa kabar dengan kelor, sopia, garam, ikan kerapu dan sebagainya. Jangan-jangan dia (Viktor) adalah pencetak narasi sebagaimana ia pernah menyebutnya “hidup ini hanyalah sebatas cerita”. Begitulah Viktor. Tidak pernah mau membiarkan dirinya untuk hidup dari kata orang. Saya sangat yakin, ia mengetahui seluruh ekspresis kekesalan sebagian masyarakat NTT. Ia tahu itu tetapi tetapi tidak rela menggadai seluruh perasaan dan pikirannya untuk mendengar komentar yang terkesan sangat emosional itu. Membangun NTT, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan tentunya menelan banyak sumber daya baik fisik, psikis dan juga biaya.

Di detik ini, akhirnya kita sebaiknya sepakat kalau Ia (viktor) adalah seorang sales. Ia adalah seorang Gubernur, wakil pemerintah pusat di daerah. Ia hadir sebagai sales program. Menjalankan visi dan misi presiden sekaligus menawarkan peluang dan potensi yang dimiliki NTT ke pemerintah pusat. Lima buah visi Presiden Jokowi dielaborasi dengan seluruh potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alama (SDA) punyanya NTT. Kelima visi itu antara lain, pembangunan infrastruktur, SDM, investasi seluas-luasnya, reformasi birokrasi dan pengunaan APBN yang fokus dan tepat sasar. Begitulah sales bekerja. Menghadirkan sekian banyak narasi sekaligus strategi untuk NTT bisa bangkit dan sejahtera. Beberapa Langkah strategis terkadang berada di luar pikiran politisi kebanyakan. Semisal, meminjam uang ratusan miliar untuk membangun infrastruktur jalan. Tujuannya satu. Masyarakat merdeka dari sisi tranportasi sehingga ikut nimbrung dalam denyut nadi perekonomian nasional. Ia mendermakan pikiran dan tenaganya sebagai gubernur sekaligus sales untuk masyarakat NTT. Pertanyaan sederhana tetapi sangat menentukan. Maukah masyarakat NTT menerimanya? Masih ingat tentang pulau Komodo? Ia “menggertak” dengan menutup akses ke pulau komodo. Padahal salah satu program unggulanya membangun pariwisata di NTT. Apa yang terjadi? Walau tidak seluruhnya, komodo kini menjadi bagian dari asset NTT yang bakal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Jika Viktor yang adalah Gubernur itu datang sebagai sales, lalu masyarakat ini harus mengambil posisi sebagai pembeli yang hanya menikmati atau sebagai penoton atau justru ikut mengambil peran sebagai sales dalam arti tertentu. Terkdang saya berpikir, para kepala dinas yang tidak kreatif dan mati angin itu sebaiknya pensiun dini saja. Seharusnya ada sebuah sayembara besar. ASN yang merasa tidak produktif dan lemah untuk berpikir karena banyak faktor sebaiknya pensiun dini saja. Pemerintah menyerahkan piagam penghargaan dan sedikit uang sebagai modal awal berwiraswasta. Jika tidak, kapal benama NTT ini akan selalu terhuyung-huyung. Susah maju dan lebih cenderung mundur. Tahu kenapa? Terlalu banyak awak kapal yang nempel bagai benalu. Ia (para benalu) ini tampil seolah sebagai sahabat dan partner kerja Viktor tetapi minus inisiatif dan tidak produktif. Ada tim percepatan pembangunan tetapi hanya sekadar nama. Di bidang pariwisata, pertanian, peternakan dan sebagainya, aksi nyata mereka apa?

Menurut saya, ada yang hilang di sini. Viktor yang adalah seorang gubernur dan sales itu seolah jalan sendiri dan bahkan kini terkesan ditinggal sendiri. Atakah narasi pembangunan itu terlampau idealis sehingga banyak yang mencari posisi aman dan cenderung mengekor?    Saya tidak banyak mengerti bahasa birokrasi tetapi yang saya tahu, selalu ada ruang atau jalur koordinasi dan kolaborasi. Kekuatiran saya ada pada dua titik ini. Pertama, Gubernur NTT akan merasa bahwa tidak ada lagi yang mampu berpikir dan bekerja melampaui batas dirinya. Dengan terpaksa dan berat hati, ia mengambil alih semua pekerjaan karena tidak ada tanda bahwa para kadis ini mampu bergerak dan berpikir sendiriJika kemudian ia berhasil maka itu karena kemampuannya sendiri. Lalu kalau ia gagal, memang seharusnya begitu. Ia tidak didukung oleh orang dekatnya. Kedua, ada sebuah sejarah yang bakal tertoreh nantinya tentang NTT bangkit dan sejahtera di belasan bahkan puluhan tahun kemudian. Pernah ada sebuah tagline yang menggetarkan, NTT bangkit dan sejahtera. Apakah itu terbukti ataukah hanya sebuah kisah dramatis yang hanya pernah ada tetapi tidak membekas? Tri Pitara Mahanggoro dalam bukunya itu kembali “menggugat” kita. Mari menuju ke lubuk hati yang paling dalam.

Salam Cakrawala, Salam Literasi



Post a Comment

0 Comments