Saverinus Suhardin, S.Kep., Ns. Perawat, Mahasiswa Magister FKp Unair Surabaya, dan Pengajar di AKPER Maranatha Groups Kupang |
Saya ikutan heran ketika melihat
banyak yang heran dengan respons beberapa warga terkait video klarifikasi
pasien Covid-19 nomor 01 di NTT. Kita semua bisa tahu, kontroversi mengenai
kasus tersebut begitu menghebohkan
di media sosial. Kenapa bisa heran? Bukankah hal seperti itu – perdebatan yang diselipi
perundungan, sudah menjadi kebiasaan kita?
Respons tersebut merupakan
gambaran situasi yang kita alami saat ini. Kita sedang diliputi rasa cemas.
Saking berlebihnya, kita sulit berpikir tenang. Malah yang terlihat kita makin
kacau. Maka, tidak heran bila kita menemukan banyak komentar yang saling
menghujat dan hal kontra-produkif lainnya.
Daripada kita fokus pada
kontroversi yang akan melelahkan itu, lebih baik kita berpikir, bagaimana
tindakan yang sebaiknya dilakukan setelah satu pasien terkonfirmasi postif
Covid-19 di NTT. Bila
kita terus mencari kambing hitamnya, maka hal itu tidak akan usai. Kita sedang
menghadapi wabah yang benar-benar baru. Alat pemeriksaannya masih terbatas.
Vaksin pencegahnya belum ada. Pengobatannya
masih coba-coba, sedang diteliti di berbagai tempat. Bila kita belajar dari kasus 01
di NTT, semuanya terjadi karena kelengahan banyak pihak. Maka tidak adil bila
kita terus-menerus merundung satu orang atau suatau lembaga tertentu.
Mari kita merunut sejenak pada
kasus tersebut. Sesuai keterangan pada video yang beredar (meski banyak yang
menganggap ada bagian yang kurang jujur), pada awalnya dia langsung melapor di
RSU Johannes Kupang setelah tahu sahabatnya yang di Jakarta terkonfirmasi
positif Covid-19. Saya pikir, bagian ini patut kita apresiasi. Partisipasi
aktif masyarakat seperti ini – berani
melapor lebih dini, sangat penting dilakukan dalam konteks antisipasi sehingga penyebaran virus ini
tidak makin meluas.
Pada bagian selanjutnya, kita
semua mendengar kalau dirinya tidak kunjung mendapat kabar mengenai hasil
pemeriksaan laboratorium sesuai tanggal yang dijanjikan. Kebetulan kasusnya
tergolong ringan dan tanpa banyak gejala, dia menganggap tidak bermasalah
setelah 14 hari melakukan karantina dan observasi
mandiri. Eh, tiba-tiba setelah lewat dari waktu yang ditentukan, hasil
pemeriksaan laboratoriumnya baru keluar. Terkonfirmasi positif.
Tulisan ini tidak akan mengulas
semua isi video tersebut, cukup dua bagian itu saja. Menurut saya, kasus
tersebut, salah atau bagiannya menyadarkan kita tentang lemahnya sistem
identifikasi masalah atau pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis seseorang
positif atau negatif dari virus SARS Cov-2 atau yang lebih sering disebut
Corona saja.
Khusus kita di NTT, selain sistem
pelayanan kesehatan secara umum yang diperkirakan tidak cukup kuat bila
menghadapi lonjakan pasien Covid-19, masalah tes Corona ini memang menjadi
salah satu momok. Bayangkan, untuk pemeriksaan pasti dengan motode sapuan (swab) tenggorokan, sampelnya harus
dikirim ke laboratorium yang berada di Surabaya. Sedangkan metode Rapid-Test yang hasilnya cepat – meski dilaporkan kurang akurat
dibandingkan dengan PCR atau swab
tenggorokan, belum juga dilakukan secara masif di NTT.
Lewat berita kita memantau,
pemeriksaan berskala besar baru terjadi di Jakarta dan daerah lain di Pulau
Jawa. Tidak heran di sana jumlah penderita positif sudah banyak dan terus
meningkat tiap hari, sedangkan di NTT baru satu setelah sebelumnya dinyatakan
negatif dalam rentang waktu yang lumayan
lama. Andai saja status negatif itu berdasar tes yang masif, khususnya bagi warga NTT yang baru
saja pulang dari zona merah, tentunya melegakan. Tapi kalau status negatif
tanpa tes yang memadai, itu menyimpan banyak tanya dan menimbulkan suasana
gundah. Satu kasus
positif Covid-19 di NTT kiranya tidak hanya menimbulkan huru-hara, tetapi juga
bisa menjadi berkah. Paling tidak, berita ini akan memicu pemerintah daerah
untuk menyadari urgensi dari pemeriksaan atau tes Covid-19 secara masif.
Perlu kita sadari, saran untuk
melakukan isolasi mandiri, jaga jarak, jaga kebersihan, dan #DiRumahAja tidak akan efektif bila tidak diikuti
pemeriksaan yang masif dan penatalaksanaan yang cepat-tepat bagi yang positif. Bila
kita mau belajar dan menerapkan pengalaman China yang dianggap sudah
"menang" melawan virus ini, upaya mengombinasikan antara pembatasan perjalanan
antar kota/daerah; pengurangan kontak sosial atau jaga jarak dengan orang lain;
deteksi dini dan isolasi mandiri di rumah, terbukti mengurangi penyebaran virus
secara signifikan.
Jadi, setelah satu kasus 01
positif Covid-19 di NTT telah diketahui, tidak ada pilihan lain untuk
mengurangi penyebarannya. Segera lakukan tes yang masif, khususnya bagi yang
telah kontak erat dengan pasien yang positif. Selain itu, warga NTT yang baru
saja pulang dari daerah lain yang sudah dinyatakan zona merah, perlu juga
dilakukan tes. Mereka sudah terdata di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) atau petugas khusus yang ditetapkan untuk
memantau setiap penumpang yang datang dan pergi di pelabuhan dan bandara. Kalau
tes masif bisa dilakukan, tinggal hubungi kembali lewat nomor kontak yang
tercatat.
Kalaupun PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan
pengambilan sampel sapuan lendir tenggorokan itu masih terasa sulit dan
membutuhkan waktu yang lama (karena harus dikirim dulu ke Surabaya), tidak
masalah bila didahului dengan metode tes cepat saja. Walaupun keakuratannya
belum meyakinkan, paling tidak bisa membantu untuk identifikasi awal.
Bila kita mengikuti berita
nasional, pemerintah pusat telah membeli dan menerima bantuan dari negara lain,
salah satunya alat tes cepat Covid-19 itu. Sayangnya, belum ada kabar apakah
alat sudah tersalur sampai ke NTT atau belum. Kalau sudah tersalur sampai
ke NTT, sudah sejauh
mana penggunaannya?
Selanjutnya, bagi kita warga
biasa, satu kasus positif di NTT menjadi alarm untuk semakin waspada, tapi
tidak perlu panik. Kita bersyukur, wabah ini tidak muncul pertama kali di
daerah kita. Pengalaman di daerah atau negara lain bisa menjadi panduan bagi
kita untuk aktif melakukan upaya pencegahan. Kita terus patuhi anjuran untuk #DiRumaAja
dan anjuran kesehatan lainnya yang telah banyak disampaikan pihak berwenang
(WHO, Kemenkes RI, dan Dinas Kesehatan).
Ketaatan kita menjalani upaya
pencegahan, sangat membantu tenaga kesehatan dan sistem kesehatan secara umum.
Kalau kita tetap keras kepala, kemudian terpapar virus yang menyerang sistem
pernapasan tersebut, pada akhirnya kita akan memadati fasilitas pelayanan
kesehatan.
Jumlah kunjungan pasien yang
melonjak akan menyulitkan tenaga kesehatan sebagai penolong. Di China,
khususnya Kota Wuhan yang menjadi daerah pusat awal munculnya virus penyebab
radang paru-paru ini, persoalan yang sama pernah dihadapi. Tenaga kesehatan mereka banyak terinfeksi dari lingkungan
kerjanya, hingga mencapai 63%. Sebagian kecil mengalami kondisi yang lumayan
parah atau kritis, dan menyebabkan beberapa orang meninggal dunia. Atau di
Jakarta saat ini, per tanggal 11 April 2020 dilaporkan sudah ada 174 tenaga
kesehatan yang positif Covid-19. Sudah 2 orang yang meninggal dunia, dan baru 23
orang yang dilaporkan sembuh.
Kondisi yang sama akan terjadi di
NTT bila langkah antisipasinya tetap lamban. Kita sebagai masyarakat mesti
lebih tertib lagi, sambil terus berharap dan memberi usul pada pemprov dan
pemda untuk gencar memfasilitasi
pemeriksaan (tes Covid-19) yang masif. Kalau kita fokus pada kontroversinya
saja, maka kita tidak sempat belajar dan menerapkan pengalaman dari negara atau
wilayah lain.
0 Comments