Yohanes Sehandi Pengamat Sastra, Dosen Universitas Flores |
Virus corona kini memasuki
wilayah bahasa Indonesia dan merusakkannya. Istilah yang dipakai para pejabat
yang punya otoritas dalam menangani virus corona, kacau balau. Komunikasi
publik pun kacau balau.
Konteks pembicaraan para
pejabat itu dalam bahasa Indonesia, tetapi anehnya, untuk "istilah
kunci" yang harus dipahami dan dipatuhi seluruh lapisan masyarakat, pakai
istilah asing yang tidak semua orang paham, padahal ada kata/istilah sebagai
padanannya dalam bahasa Indonesia. Berikut diberi contoh.
Pertama, istilah "social
distancing" yang kemudian diganti menjadi "physical distancing."
Apakah semua lapisan masyarakat paham istilah ini? Bukankah ini menambah
kekacauan baru dalam berkomunikasi? Mengapa tidak pakai kata/istilah dalam bahasa
Indonesia yang sudah familiar bagi semua kalangan masyarakat, misalnya,
"jaga jarak?"
Marilah kita bayangkan. Pada
waktu seorang pejabat di layar televisi, mengatakan: "Kita harus hindari
virus corona dengan social distancing." Apakah semua lapisan masyarakat
paham istilah ini? Bagaimana dia tindak lanjuti perintah itu kalau dia tidak
paham? Sangat beda, misanya, kalau sang pejabat itu mengatakan: "Kita
harus hindari virus corona dengan jaga jarak. Minimal satu meter." Yang
terakhir ini semua lapisan masyarakat langsung paham dan tentu melaksanakannya,
tanpa bertanya lagi apa maksudnya.
Kedua, istilah
"lockdown." Ini istilah bahasa Inggris yang tentu tidak banyak
dipahami masyarakat umum. Mengapa tidak menggunakan padanannya dalam bahasa
Indonesia, misalnya, "isolasi total" atau "pemisahan total"
atau "pengasingan total?" Istilah dalam bahasa Indonesia ini langsung
dipahami semua lapisan masyarakat.
Dalam kondisi kekacauan bahasa
Indonesia seperti saat ini, ke manakah kita harus mengadu? Tidak lain dan tidak
bukan, kepada Badan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud, yang sebelumnya bernama
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Badan inilah yang bertanggung jawab
atas pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Ada di mana Badan Bahasa dan
Perbukuan pada saat ini? Mengapa tidak muncul di publik untuk mengatasi
kekacauan bahasa ini?
Kealpaan Badan Bahasa dan
Perbukuan, sebagaimana terjadi pada saat ini, kita jadinya rindu kepada sosok
Jus Badudu dan Anton M. Moeliono, yang sangat giat dan masif memberikan
pencerahan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada tahun
1980-an. Lebih giat dan masif lagi pada waktu Anton M. Moeliono menjabat
sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1984-1989). Sayang,
kedua tokoh besar bahasa Indonesia ini sudah almarhum. (*)
1 Comments
Sepakat Bapa Yan
ReplyDelete