Ilustrasi Tarian Hegong (Foto: netralnews.com) |
Lagi-lagi aku termenung di
tengah bisingnya kantin sekolah siang hari itu. Tergiang-ngiang di kepalaku
kata-kata nenek belum lama ini. “Nia, nenek harap kamu dapat meneruskan karier
nenek sebagai penari Hegong jika nenek sudah tidak ada nanti”.
Entah kenapa, ucapan
tersebut seolah menjadi pertanda meninggalnya neneku kemarin karena serangan
jantung. Aku tidak menyangka semuanya terjadi begitu cepat. Hari dimana aku
merasa bimbang untuk memilih, apakah harus meninggalkan kegemaranku menari
modern, lalu beralih menekuni tarian Hegong seperti nenek. Aku benar-benar bingung.
“Hei, Nia! Melamun saja!” seru Aliyah,
sahabatku.
“Eh, i..iya...”
“Kamu terlihat kurang bahagia hari ini.
Ada apa?”
“Neneku meninggal kemarin dan
menginginkanku meneruskan karirnya sebagai penari Hegong”
“Hmm… kamu harus mencoba mulai
mempelajari tari tradisional berarti, agar bisa menjadi penari Hegong yang hebat
seperti nenekmu.”
“Justru itu masalahnya, Liyah! Aku tidak
ingin meninggalkan kesukaanku menari modern”.
“Yah, semua ini keputusanmu Nia. Jadi,
pikirkanlah baik-baik. Ingat sajalah, semua pilihan yang kau pilih pasti ada
konsekuensinya masing-masing.”
“Kriiinnggg, kriiiinnngggg…”
Bel sekolah terdengar. Saatnya pelajaran Pak
Gilang. Sejarah. Salah satu mata pelajaran yang harus kubilang sangat
membosankan. Apalagi dengan materi kali ini yang membahas kerajaan-kerajaan di
masa lalu.
“Jangan lupa ya anak-anak, tugas projek
kita. Terakhir pengumpulan adalah minggu depan. Bapak harap kalian bisa
mengerjakannya semaksimal mungkin,” pesan Pak Gilang pada kami. Walaupun
sebenarnya ada kemungkinan besar bahwa anak-anak tidak mendengarkan secara baik
apa yang baru saja disampaikan oleh Pak Gilang.
Sore saat di rumah. “Tok, tok, tok…,” pintu
kamarmu diketuk.
“Nia, Mama mau bicara sama kamu.”
Mama tiba-tiba datang. “Ma, aku belum mau
memikirkan perkataan almarhum nenek…,” spontan aku berkata seperti itu.
“Maaf, nak. Bukannya Mama ingin membebani
pikiranmu, namun Mama benar-benar ingin kamu mengikuti saran almarhum nenek.
Itu pesan wasiat yang sebaiknya dilakukan,” kata mama dengan wajah penuh
harapan kepadaku.
“Baiklah ma, akan kupikirkan baik-baik.
Tapi aku minta maaf, mungkin aku perlu waktu yang agak lama untuk berpikir,”
jawabku. Mama hanya tersenyum dan keluar perlahan dari kamarku. Di tengah
sunyinya ruangan ini hatiku makin gundah. Seakan tak ada yang mengerti
perasaanku kali ini. Walaupun sebenarnya aku tahu keluargaku dan Aliyah akan
selalu mendukung apa pun yang aku lakukan.
Aku mungkin sudah terlalu cinta dengan
tarian modern. Ucapan almarhum neneku membuat pikiranku semakin tak karuan.
Kenapa nenek harus berpesan seperti itu? Andai saja beliau masih ada, aku akan
lebih mudah menyampaikan isi pikiranku. Aku sangat sayang pada nenekku. Aku
tidak ingin mengecewakan beliau. Tapi masalahnya, aku memiliki keinginan yang
lain.
Seminggu kemudian.
“Anak-anak, sekarang kumpulkan projek
Kerajaan Jawa kalian. Bapak ingin lihat bagaimana kreasi kalian,” kata Pak Gilang
di kelas. Duduk diam dan tertunduk lesu. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Pak
Gilang menatapku.
“Nia, ayo kumpulkan hasil projekmu.”
Perlahan aku menggelengkan kepala, “Maaf,
Pak. Tugas saya belum selesai.”
“Bagaimana kamu ini, Nia? Bapak sudah
sediakan waktu yang cukup sejak jauh-jauh hari. Tapi kamu tidak mengerjakannya,”
kata Pak Gilang. Setelah itu sampai pelajaran selesai Pak Gilang tidak
mengatakan apa pun lagi.
Saat kukira hukuman tidak akan dijatuhkan
padaku, tiba-tiba…
“Nia, kamu ditunggu Pak Gilang di ruang
guru,” ucap seorang temanku saat jam istirahat.
“Waduh, ada apa?,” tanyaku.
“Entahlah, yang jelas Pak Gilang ingin
kamu menghadap beliau sekarang juga.”
“Permisi, Pak.” Perlahan aku membuka
pintu ruang guru.
“Duduklah di sini, Nia.” Pak Gilang berkata
padaku sambil menunjuk kursi yang berada di depan mejanya.
“Kenapa kamu tidak mengerjakan tugasmu,
Nia? Tidak biasanya kamu begini,” kata Pak Gilang membuatku merasa bersalah.
Aku hanya diam menunduk.
“Baiklah, terpaksa Bapak akan beri kamu
sebuah hukuman,” kata-kata Pak Gilang membuatku tegang.
“Hukumannya tidak berat. Hanya kamu harus
belajar menarikan tarian Hegong, dan kamu harus menampilkannya di acara pentas
seni antar kelas dua minggu lagi. Bagaimana?”
“Wah, itu susah sekali Pak. Saya belum
pernah melakukannya. Saya sudah terbiasa menari modern, tapi bukan tarian Hegong”.
Tak sabar aku ingin kembali ke rumah dan
membayangkan semua ini tidak terjadi.
“Nah, justru inilah kesempatanmu untuk
mencobanya. Anggap saja ini akan menjadi tantangan yang baru. Apalagi
dengar-dengar, almarhum nenekmu juga menginginkan setidaknya kamu belajar
menarikan tari tradisional bukan? Bapak merasa pesan beliau sangat baik. Kalau
semua anak lebih suka menari modern, siapa yang akan peduli dan melestarikan
budaya kita sendiri?”
Kupikir-pikir, kata-kata Pak Gilang tidak
salah.
“Baiklah Pak. Saya akan berusaha
mencobanya.”
Tak ada lagi yang bisa aku lakukan.
Dengan masih agak terpaksa, aku akan mengikuti apa kata Pak Gilang. Semoga saja
Pak Gilang benar, mungkin ini memang awalku untuk melakukan hal baru, dan
seperti kata Pak Gilang, untuk lebih peduli dengan budaya sendiri.
Siang hari sesampai di rumah…
“Ma, aku pulang,” suaraku terasa memenuhi
langit-langit ruangan begitu aku berteriak. “Nia. Mama punya kabar baik
untukmu,” Mama ikut berseru begitu aku masuk rumah. “Ada apa, Ma?” Aku
keheranan melihat mama bersemangat seperti itu.
“Mama telah mendaftarkanmu mengikuti
Sanggar Tari di Pendopo Kabupaten. Kamu akan mulai mengikuti kegiatan di sana hari
Sabtu besok. Segala perlengkapannya sudah Mama siapkan. Jadwal latihanmu di
sana sudah Mama taruh di meja belajarmu. Ah, Mama tak sabar melihatmu
mengikutinya,” Mama menjelaskan panjang lebar kepadaku.
Tunggu, Mama telah mendaftarkanku di
Sanggar Tari Tradisional? Aku bahkan belum tahu sanggarnya akan seperti apa.
Hmmm... baiklah, sudah didaftarkan jadi aku tak bisa menolaknya. Lagi pula aku
juga harus melakukan hukuman dari Pak Gilang, dan juga aku lama-lama tidak tega
juga melihat Mama selalu murung dan sedih setiap saat memikirkan pesan
almarhumah nenek. Maka dari itu aku hanya mengangguk, lalu pergi ke kamarku dan
melihat jadwalnya.
Hari Sabtu, aku benar-benar berangkat ke
sanggar itu. Aku dan Mama langsung disambut oleh pemilik sanggar yang tak lain
adalah… Pak Gilang. Aku yang melihatnya langsung terbenGong, tidak kusangka
ternyata Pak Gilang mempunyai sanggar tari tradisional. Secara bergantian
kulihat Mama dan Pak Gilang. Aku yakin mereka berdua sudah bersekongkol untuk
membuatku mau belajar tarian Hegong. Mama hanya menyeringai sambil menatapku.
“Hahaha… sudahlah. Mari Bapak antar ke
kelas tarimu,” kata Pak Gilang memecah susasana. Aku mengikutinya saja sambil
melambaikan tangan ke arah Mama yang segera meninggalkanku. Kekagetanku bertambah
ketika mengetahui bahwa Aliyah juga ada di sanggar tari ini.
“Hai Nia. Akhirnya kamu ikut sanggar ini
juga.”
“Wah, tidak aku sangka kamu ikut sanggar
ini, Al. Kenapa kamu tidak pernah bercerita selama ini?” tanyaku penasaran.
Aliyah hanya tertawa.
“Selamat sore anak-anak. Hari ini kita
kedatangan seorang teman baru. Namanya Nia. Untuk Nia, perkenalkan nama Ibu, Bu
Elis. Nah, untuk menyambut Nia, ibu ingin murid-murid lama di sini menarikan gerakan
tari Hegong yang baru saja kita pelajari,” kata Bu Elis, wanita paruh baya yang
melatih tari di kelasku. Tak lama anak-anak yang bertugas memukul Gong dan Waning
pun memukul alat mereka masing-masing sebagai pengiring Tari Hegong, dan
diikuti oleh gerakan tari anak-anak di sini.
Aku pun mencermati dan mulai mengenal
lebih jauh tari tradisional dari saat itu. Semua hal dari tarian ini membuatku
terpukau. Mulai dari kerumitan tariannya sampai keanggunan gerakan para
pemainnya. Entah kenapa jadi tidak sabar untuk ikut mencoba menarikannya. Tepuk
tangan keras dariku dan Bu Elis langsung menyambut teman-teman yang baru saja
membawakan Tari Hegong bersama-sama.
“Nia, Bu Elis harap, pelan-pelan kamu
bisa mengikuti teman-temanmu di sini. Apalagi melihat kamu telah memiliki dasar
sebagai seorang seorang penari yang baik, meskipun sebelumnya lebih banyak
berlatih tari modern,” kata Bu Elis berkata dengan sungguh-sungguh kepadaku.
“Semuanya, kalian telah menari Hegong dengan
cukup baik. Terus dilatih lagi, ya. Sekarang mari kita pelajari bersama gerak
tari Hegong yang lainnya,” lanjut Bu Elis.
Anak-anak menyambut antusias.
Kelihatannya mereka sudah menunggu-nunggu untuk mempelajari gerakan tarian yang
baru. Di awal-awal belajar, rasanya memang cukup berbeda dengan selama ini aku
menggeluti tari modern. Sebab Tari Hegong gerakannya jauh lebih lembut dan
gemulai. Namun itu semua tak menghalangiku untuk terus belajar. Aku berpikir
bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan belajar ini selagi aku mulai
tertarik begini. Teringat kata-kata Pak Gilang, aku membayangkan ini tantangan
baru buatku.
Aku bersyukur, tidak seperti yang
kusangka sebelumnya, ternyata aku bisa mengimbangi kemampuan teman-temanku
dengan cukup cepat. Sampai tak terasa, dua minggu kemudian aku sudah bisa
dengan lancar menarikan Tari Hegong tersebut tepat di hari dimana aku harus
menepati janjiku kepada Pak Gilang untuk menarikannya di pentas seni antar-kelas.
Pentas seni dilakukan di aula sekolah.
Pentas kali ini khusus untuk murid kelas 5 dan 6. Tiap kelas menampilkan
bermacam atraksi seni secara bergantian. Tidak lama setelah beberapa penampil, Pak
Gilang pun maju menuju mikrofon.
“Anak-anak, selanjutnya akan tampil
seorang murid yang sebelumnya gemar sekali menari modern, lalu dalam dua minggu
ini berusaha keras untuk bisa menari Hegong dengan baik,” Pak Gilang berkata
sambil tersenyum menatapku.
Aku menarik napas panjang sebelum maju ke
depan dan menarikan Tari Hegong bersama kelompokku. Perlahan namun pasti,
aku mulai bergerak sesuai bunyi pukulan Gong dan Waning. Seruan tepuk tangan dari
anak-anak di aula terdengar begitu aku dan kelompokku selesai menari. Aliyah menatapku penuh
semangat. Melihat semuanya, entah kenapa aku merasa senang sekali dan begitu
lega.
Di akhir acara pentas, Pak Gilang
mendatangiku dan memberiku satu selebaran yang bertuliskan: Lomba Menari Tradisional
untuk Siswa SD-SMP-SMA Tingkat Provinsi.
“Bapak kira kamu sudah siap untuk mulai
berlatih mengikuti ini, bersama beberapa temanmu yang lain,” kata-kata tersebut
diucapkan Pak Gilang begitu aku membacanya.
Spontan, aku langsung mengangguk
kegirangan. Rasanya seperti lupa bahwa tiga minggu sebelumnya aku masih sibuk
mengeluh saat harus meninggalkan tari modern dan beralih mempelajari tari
tradisional.
“Sekolah akan mengikutkan kamu dan
beberapa siswa, kalian mengikuti perlombaan ini bukan untuk berambisi
mendapatkan kemenangan. Tapi untuk melatih murid-murid untuk percaya diri menampilkan
kemampuan di muka umum,” Pak Gilang seperti bisa membaca pikiranku yang sempat
tidak yakin.
Aliyah yang datang mendekat pun berkata,
“Tenang saja, kita akan melakukannya dengan baik.”
Di pertemuan-pertemuan sanggar
berikutnya, aku diajar khusus oleh Pak Gilang dan Bu Elis untuk mengejar
teman-temanku yang sudah lebih dulu mahir menari Hegong. Dan akhirnya hari
lomba tari pun tiba. Mama berkali-kali memastikan bahwa semua perlengkapanku
telah siap. Mama sendiri yang mengantarku menuju lokasi perlombaan diadakan.
Begitu kami sampai, gedung perlombaan itu sudah penuh oleh peserta-peserta
lainnya yang banyak sekali. Kegugupanku mulai muncul melihatnya. Namun untung
saja Mama selalu menenangkanku.
Satu-persatu peserta lomba dipanggil naik
ke panggung untuk menunjukkan bakat mereka. Hingga kemudian sampai pada nomor
20, yang tak lain adalah nomor urutku dan kelompokku. Dengan gugup, aku dan
kolompok ku naik ke atas panggung dan menarikan tari Hegong yang sudah aku
pelajari selama beberapa minggu terakhir.
Begitu aku turun panggung, Mama berkata,
“Mama bangga padamu.”
“Ma, bagaimana kalau aku tidak menang,” tanyaku.
“Ikut perlombaan tujuannya bukan untuk berburu juara. Melainkan
agar kamu terlatih untuk percaya diri tampil di muka umum.”
1 jam kemudian…
“Baiklah hadirin sekalian, sekarang kita
lihat bersama siapa yang akan menjadi juaranya,” pembawa acara lomba muncul dan
bersiap mengumumkan juara lomba Tari Tradisional untuk SD sampai SMA itu.
“Kita mulai, dari juara 3 kategori SD,
diraih oleh Adinda Zulaiha.” Penonton bertepuk tangan dengan riuh.
“Pemenang dipersilakan untuk maju ke
depan. Kemudian dilanjutkan dengan juara 2, adalah peserta dengan nama Emilia
Setia Putri. Tepukan penonton pun semakin bergemuruh. Pembawa acara melanjutkan
lagi pengumumannya, “Dan sekarang yang kita tunggu-tunggu bersama, juara
pertama lomba Tari Traditional kategori SD adalah Nia Elmira Zahra. Selamat
untuk para pemenang lomba.”
Saat itu aku bangga terhadap diriku
sendiri. Aku merasa sangat senang. Aku merasa
harapan almarhumah nenekku terwujudkan.
“Selamat,” bisik mama. Dari situ aku
mulai menekuni Tari Hegong dan ikut beberapa pelombaan.
Joachima Vedruna Monica Bunga Botha
Kelas
VII K SMP Frater Maumere
1 Comments
Semangat trus anaknya mama....terima kasih pak Guru Bhs Indonesia smpk Frater Maumere buat dukungannya
ReplyDelete