![]() |
Buku Lukisan yang Hilang karya Rian Seong. (Foto: Sayyidati Hajar) |
SEORANG
pria sangat bersedih untuk tiga hal, kehilangan ibu, kehilangan istri, dan
kehilangan anak perempuan. Kehilangan pun bermacam wujud. Kehilangan yang
bermakna denotatif—sebenar-benarnya, ketika ruh dan jasad saling melepas, pun
kehilangan secara konotatif—perumpamaan, ketika mata tak saling menjangkau
jasad. Kehilangan melahirkan manusia-manusia baru setiap kali mereka terbangun
di pagi hari. Kepala dipenuhi kerinduan, dada dipenuhi sesak, mata dipenuhi
potret-potret, pikiran dipenuhi kenangan. Kehilangan memang tak pernah mudah,
tapi tak selalu berat. Tak pernah gampang, tapi tak selalu sulit. Ada setapak
kecil, yang kiri dan kanannya tergantung lilin-lilin, juga mengalir
sungai-sungai kecil pelunas dahaga. Jalan itu halus—rumit—dekat, tak semua
orang mampu menemukannya. Namun Rian Seong, sang Pekerja Seni musik itu
menemukannya. Ia menemukan setapak dengan lilin dan sungai-sungai mengalir itu.
Di tengah kehilangan yang begitu dalam dan berat, ia menemukan jalan bertahan
dari gempuran kenangan yang dahsyat bersama sang Mama—perempuan pertama yang
mengajarinya cara mencintai.
Mengenal Rian Seong dan Lukisan yang
Hilang
Suatu
hari di tengah terik bulan Oktober, seorang kawan—yang baru saya kenal beberapa
hari sebelumnya, meminta saya hadir ke Redaksi Cakrawala NTT. Kami
mendiskusikan beberapa hal terkait Cakrawala NTT—sebuah media yang fokus pada
pendidikan di NTT. Setelah beberapa lama, seorang laki-laki datang, disambut
gembira oleh rekan-rekan di Redaksi Cakrawala NTT. Ketika itu ada Bang Gusty
Rikarno, Kak Roby Fahik, Kak Alex Matara, dan Kak Atik. Mereka semua saling
kenal, rupanya hanya saya yang kurang gaul, sampai tak kenal seorang guru musik
terkenal bernama Rian Seong.
Pria
bernama lengkap Marianus Seong Ndewi itu lahir di Waerana Flores Timur. Sejak
2013 giat melatih dan menjuri paduan sekolah dan Grejani. Keberhasilannya di
dunia musik setidaknya dipengaruhi dua hal, pendidikan keluarganya yang dekat
dengan musik dan jurusannya saat kuliah—SENDRATASIK Universitas Katolik Widya
Mandira Kupang. Suami dari Apriliany Iju itu bertahan sebagai pekerja seni, baik seni vokal maupun instrumental,
di tengah tatapan miring banyak orang bahwa sekolah seni itu tak punya masa
depan yang cerah. Ya, diakui atau tidak. Orang-orang masih gemar menganggap
miring orang-orang yang bergiat di bidang seni. Terkadang malah dianggap kurang
kerjaan.
Perjumpaan
kami di Redaksi Cakrawala NTT adalah yang pertama dan kedua kali di resepsi
adik sepupu saya. Lukisan yang Hilang,
adalah hadiah pertemuan pertama—yang dengan percaya diri juga saya iyakan untuk
menulis ulasan atas buku pertama sang Guru Musik itu. Ya, Lukisan
yang Hilang adalah buku pertama Rian Seong. Ditulis dengan cinta dan dada
yang bergemuruh. Saya pikir kehadiran buku ini membuktikan bahwa Rian jatuh
cinta dua kali pada sosok mamanya. Jatuh cinta pada saat ada dan ketiadaan sang
Mama.
Buku
Lukisan yang Hilang bersampul putih
bergambar seorang ibu mendekap seorang anak perempuan. Sampul bertuliskan judul
buku, nama penulis dan editor. Hanya 35 halaman,tak tebal. Diterbitkan Gerbang Media Yogyakarta pada Oktober 2019. Dapat dilahap
habis dalam 30 menit. Rain menulis untuk satu tahun kepergian sang Mama. Sebuah
hadiah inspiratif seorang anak laki-laki kepada mamanya. Saya membayangkan
ketika buku itu dihadirkan ke tengah keluarga. Betapa terkejutnya mereka,
seorang anak laki-laki berjuang keras di antara gemuruh kehilangan ibu, menulis
kembali rekaman tahun-tahun kehidupan bersama wanita terkuat yang pernah mereka
miliki. Sekali lagi sebuah kejutan inspiratif.
Mengapa Rian Memilih Kata Lukisan?
Lukisan
adalah gambar (an) yang indah-indah. Lukisan juga bermakna cerita atau uraian
yang melukiskan sesuatu (hal, kejadian, dan sebagainya). Begitulah makna
lukisan yang termaktub dalam KBBI. Sebagai seorang pekerja seni, tak heran Rian
menautkan perumpamaannya pada sesuatu yang dekat dengannya. Maria Marselina
Angela Dhengo, perempuan kelahiran Sokoria-Ende Lio itu diibaratkan seperti
sebuah lukisan—sebuah gambar indah—sebuah gambaran keindahan. Sebuah gambar
yang pantas hadir di rumah—tempat
orang-orang pulang, orang-orang yang mengasihi, tempat berkumpulnya
kasih sayang dan harapan.
Biografi
mini seorang perempuan Ende yang dikenal sebagai ibu rumah tangga yang setia
mengurus anak dan suaminya. Juga mengurus pekarangan, kebun, komunitas, dan
orang-orang hadir dalam kehidupnnya. Rian melukiskan keindahan hidup bersama
perempuan itu dalam sebuah buku, ketika perempuan itu tak lagi ada. Benarlah,
bahwa cinta adalah cita itu sendiri. Tak ada yang dapat mengerti cinta setelah
kehilangan. Begitu pun keindahan adalah keindahan itu sendiri, tak ada yang
dapat memaknai keindahan dengan sebenar-benarnya sebelum keindahan itu pergi—hilang—lenyap
dari mata-mata yang biasa memandangnya. Saya menangkap sebuah desahan panjang berisi
doa-doa rumit yang dihadirkan Rian dalam buku ini. Mengenang kembali putaran
kehidupan bersama orang tersayang yang telah hilang tak gampang. Kadang, kita
ingin keindahan itu menjadi nyata kembali. Selalu ada pertempuran antara yang
nyata dan tak nyata. Dan dengan kekuatan iman, Rian berhasil menghadirkan
kembali ringkasan cerita tentang hubungannya dengan perempuan penenun keindahan
itu.
Mama
Lin—begitulah sapaan seluruh keluarga di rumah, menjadi warna, garis, ruang,
waktu, tekstur, dimensi, cahaya, abtraksi, dan ekspresionis yang Tuhan lukiskan
dalam surga kecil mereka. Keindahannya memantul-mantul di udara, membawa
kebahagiaan bagi siapapun yang mengenalnya. Cahaya hatinya menetap lama dalam
hati. Rian memilih menulis buku sebagai media keindahan itu menetap lebih lama.
Setiap kali membaca kembali buku Lukisan
yang Hilang, ia akan terus menemukan keindahan Mama Lin, keindahan cahaya
dan warna dan garis-garis kehidupan yang telah mereka maknai bersama.
Membaca Mama Lin, Membayangkan Mama
Sendiri
Saya
akan membagikan pengalaman membaca Lukisan
yang Hilang. Buku sederahana ini tak cocok diabaca oleh mereka-mereka yang
mengidamkan tulisan-tulisan dengan gaya bahasa ilmiah, juga mereka yang
mengidamkan tulisan dengan gaya bahasa yang terlampau puitis. Buku ini biografi
mini diperindah dengan puisi-puisi kehilangan dan penggalan-penggalan doa. Saya
anggap penggalan, sebab kesempurnaan doa selalu disimpan pemiliknya—hanya di
hadapan Tuhan ia sampaikan seluruhnnya. Rian Seong, memilih mengarsipkan kenangan,
doa-doa, dan puisi untuk Mama Lin lewat sebuah buku ringan yang dapat dibaca
dalam situasi apa saja. Dalam situasi kehilangan, buku ini seumpama obat, dalam
situasi bahagia, buku ini adalah pengingat, dalam keadaan sedih, buku ini
adalah motivasi. Buku sederhana ini disusun untuk diterima semua orang. Mengapa?
Karena setiap orang memiliki ibu. Dan setiap yang memiliki ibu selalu
merindukannya dengan cara yang aneh. Inilah cara Rian merindukan ibunya—dan
kita pun turut.
Saya
turut meneteskan air mata pada bagian-bagian tertentu, alasannya klasik. Meski
tak sama, ada dua ibu terbayang di kepala. Mama Lin, yang saya baca ceritanya
dalam Lukisan yang Hilang, dan mama
saya sendiri. Sebuah buku sederhana yang ketika dibaca banyak kenangan
berlarian di kepala. Membaca sekaligus memutar kembali kenangan-kenangan hidup
bersama Mama. Begitulah, sebuah kesederhanaan kadang lebih menyentuh, sederhana
memang tak terhingga. Sebagai pembaca, menunggu sekuel buku ini rasanya tak
berlebihan. Rian berhutang banyak untuk menulis biografi lengkap Mama Lin. Berharap
di buku kedua nanti, hal-hal detail dapat diceritakan lebih baik.
Buku
ini menceritakan ajaran-ajaran hidup dan masa kecil Rian (sekeluarga) bersama
Mama Lin. Tulisan yang pada akhirnya menyadarkan kita bahwa, setiap pertemuan
adalah perpisahan. Setiap awal memiliki akhir. Setiap kebersamaan adalah
kesendirian. Setiap yang bernyawa akan pergi. Buku ini membawa refleksi, bahwa
sebelum kehilangan—perpisahan—akhir—kesendirian itu benar-benar datang, kita
adalah manusia merdeka yang berpeluang menciptakan kebaikan-kebaikan. Setiap
kebaikan itu akan menjelma lukisan indah yang terbingkai dalam dada. Dan Mama
Lin, lukisan indah Rian Seong yang hilang itu, masih terbingkai di dalam
dadanya. (Oleh: Sayyidati Hajar --- Dosen
Universitas Muhammadiyah Kupang, Penulis Buku Kumpulan Cerpen “Menyudahi
Kabair”. Artikel ini pernah dipublikasikan di kompasiana.com)
0 Comments