Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

RIAN SEONG, GEMPURAN KENANGAN, DAN LUKISAN YANG HILANG

Buku Lukisan yang Hilang karya Rian Seong. (Foto: Sayyidati Hajar)
SEORANG pria sangat bersedih untuk tiga hal, kehilangan ibu, kehilangan istri, dan kehilangan anak perempuan. Kehilangan pun bermacam wujud. Kehilangan yang bermakna denotatif—sebenar-benarnya, ketika ruh dan jasad saling melepas, pun kehilangan secara konotatif—perumpamaan, ketika mata tak saling menjangkau jasad. Kehilangan melahirkan manusia-manusia baru setiap kali mereka terbangun di pagi hari. Kepala dipenuhi kerinduan, dada dipenuhi sesak, mata dipenuhi potret-potret, pikiran dipenuhi kenangan. Kehilangan memang tak pernah mudah, tapi tak selalu berat. Tak pernah gampang, tapi tak selalu sulit. Ada setapak kecil, yang kiri dan kanannya tergantung lilin-lilin, juga mengalir sungai-sungai kecil pelunas dahaga. Jalan itu halus—rumit—dekat, tak semua orang mampu menemukannya. Namun Rian Seong, sang Pekerja Seni musik itu menemukannya. Ia menemukan setapak dengan lilin dan sungai-sungai mengalir itu. Di tengah kehilangan yang begitu dalam dan berat, ia menemukan jalan bertahan dari gempuran kenangan yang dahsyat bersama sang Mama—perempuan pertama yang mengajarinya cara mencintai.

Mengenal Rian Seong dan Lukisan yang Hilang

Suatu hari di tengah terik bulan Oktober, seorang kawan—yang baru saya kenal beberapa hari sebelumnya, meminta saya hadir ke Redaksi Cakrawala NTT. Kami mendiskusikan beberapa hal terkait Cakrawala NTT—sebuah media yang fokus pada pendidikan di NTT. Setelah beberapa lama, seorang laki-laki datang, disambut gembira oleh rekan-rekan di Redaksi Cakrawala NTT. Ketika itu ada Bang Gusty Rikarno, Kak Roby Fahik, Kak Alex Matara, dan Kak Atik. Mereka semua saling kenal, rupanya hanya saya yang kurang gaul, sampai tak kenal seorang guru musik terkenal bernama Rian Seong.

Pria bernama lengkap Marianus Seong Ndewi itu lahir di Waerana Flores Timur. Sejak 2013 giat melatih dan menjuri paduan sekolah dan Grejani. Keberhasilannya di dunia musik setidaknya dipengaruhi dua hal, pendidikan keluarganya yang dekat dengan musik dan jurusannya saat kuliah—SENDRATASIK Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Suami dari Apriliany Iju itu bertahan sebagai  pekerja seni, baik seni vokal maupun instrumental, di tengah tatapan miring banyak orang bahwa sekolah seni itu tak punya masa depan yang cerah. Ya, diakui atau tidak. Orang-orang masih gemar menganggap miring orang-orang yang bergiat di bidang seni. Terkadang malah dianggap kurang kerjaan.

Perjumpaan kami di Redaksi Cakrawala NTT adalah yang pertama dan kedua kali di resepsi adik sepupu saya. Lukisan yang Hilang, adalah hadiah pertemuan pertama—yang dengan percaya diri juga saya iyakan untuk menulis ulasan atas buku pertama sang Guru Musik itu. Ya,  Lukisan yang Hilang adalah buku pertama Rian Seong. Ditulis dengan cinta dan dada yang bergemuruh. Saya pikir kehadiran buku ini membuktikan bahwa Rian jatuh cinta dua kali pada sosok mamanya. Jatuh cinta pada saat ada dan ketiadaan sang Mama.

Buku Lukisan yang Hilang bersampul putih bergambar seorang ibu mendekap seorang anak perempuan. Sampul bertuliskan judul buku, nama penulis dan editor. Hanya 35 halaman,tak tebal.  Diterbitkan Gerbang Media  Yogyakarta pada Oktober 2019. Dapat dilahap habis dalam 30 menit. Rain menulis untuk satu tahun kepergian sang Mama. Sebuah hadiah inspiratif seorang anak laki-laki kepada mamanya. Saya membayangkan ketika buku itu dihadirkan ke tengah keluarga. Betapa terkejutnya mereka, seorang anak laki-laki berjuang keras di antara gemuruh kehilangan ibu, menulis kembali rekaman tahun-tahun kehidupan bersama wanita terkuat yang pernah mereka miliki. Sekali lagi sebuah kejutan inspiratif.

Mengapa Rian Memilih Kata Lukisan?

Lukisan adalah gambar (an) yang indah-indah. Lukisan juga bermakna cerita atau uraian yang melukiskan sesuatu (hal, kejadian, dan sebagainya). Begitulah makna lukisan yang termaktub dalam KBBI. Sebagai seorang pekerja seni, tak heran Rian menautkan perumpamaannya pada sesuatu yang dekat dengannya. Maria Marselina Angela Dhengo, perempuan kelahiran Sokoria-Ende Lio itu diibaratkan seperti sebuah lukisan—sebuah gambar indah—sebuah gambaran keindahan. Sebuah gambar yang pantas hadir di rumah—tempat  orang-orang pulang, orang-orang yang mengasihi, tempat berkumpulnya kasih sayang dan harapan.

Biografi mini seorang perempuan Ende yang dikenal sebagai ibu rumah tangga yang setia mengurus anak dan suaminya. Juga mengurus pekarangan, kebun, komunitas, dan orang-orang hadir dalam kehidupnnya. Rian melukiskan keindahan hidup bersama perempuan itu dalam sebuah buku, ketika perempuan itu tak lagi ada. Benarlah, bahwa cinta adalah cita itu sendiri. Tak ada yang dapat mengerti cinta setelah kehilangan. Begitu pun keindahan adalah keindahan itu sendiri, tak ada yang dapat memaknai keindahan dengan sebenar-benarnya sebelum keindahan itu pergi—hilang—lenyap  dari mata-mata yang biasa memandangnya.  Saya menangkap sebuah desahan panjang berisi doa-doa rumit yang dihadirkan Rian dalam buku ini. Mengenang kembali putaran kehidupan bersama orang tersayang yang telah hilang tak gampang. Kadang, kita ingin keindahan itu menjadi nyata kembali. Selalu ada pertempuran antara yang nyata dan tak nyata. Dan dengan kekuatan iman, Rian berhasil menghadirkan kembali ringkasan cerita tentang hubungannya dengan perempuan penenun keindahan itu.

Mama Lin—begitulah sapaan seluruh keluarga di rumah, menjadi warna, garis, ruang, waktu, tekstur, dimensi, cahaya, abtraksi, dan ekspresionis yang Tuhan lukiskan dalam surga kecil mereka. Keindahannya memantul-mantul di udara, membawa kebahagiaan bagi siapapun yang mengenalnya. Cahaya hatinya menetap lama dalam hati. Rian memilih menulis buku sebagai media keindahan itu menetap lebih lama. Setiap kali membaca kembali buku Lukisan yang Hilang, ia akan terus menemukan keindahan Mama Lin, keindahan cahaya dan warna dan garis-garis kehidupan yang telah mereka maknai bersama.

Membaca Mama Lin, Membayangkan Mama Sendiri

Saya akan membagikan pengalaman membaca Lukisan yang Hilang. Buku sederahana ini tak cocok diabaca oleh mereka-mereka yang mengidamkan tulisan-tulisan dengan gaya bahasa ilmiah, juga mereka yang mengidamkan tulisan dengan gaya bahasa yang terlampau puitis. Buku ini biografi mini diperindah dengan puisi-puisi kehilangan dan penggalan-penggalan doa. Saya anggap penggalan, sebab kesempurnaan doa selalu disimpan pemiliknya—hanya di hadapan Tuhan ia sampaikan seluruhnnya. Rian Seong, memilih mengarsipkan kenangan, doa-doa, dan puisi untuk Mama Lin lewat sebuah buku ringan yang dapat dibaca dalam situasi apa saja. Dalam situasi kehilangan, buku ini seumpama obat, dalam situasi bahagia, buku ini adalah pengingat, dalam keadaan sedih, buku ini adalah motivasi. Buku sederhana ini disusun untuk diterima semua orang. Mengapa? Karena setiap orang memiliki ibu. Dan setiap yang memiliki ibu selalu merindukannya dengan cara yang aneh. Inilah cara Rian merindukan ibunya—dan kita pun turut.

Saya turut meneteskan air mata pada bagian-bagian tertentu, alasannya klasik. Meski tak sama, ada dua ibu terbayang di kepala. Mama Lin, yang saya baca ceritanya dalam Lukisan yang Hilang, dan mama saya sendiri. Sebuah buku sederhana yang ketika dibaca banyak kenangan berlarian di kepala. Membaca sekaligus memutar kembali kenangan-kenangan hidup bersama Mama. Begitulah, sebuah kesederhanaan kadang lebih menyentuh, sederhana memang tak terhingga. Sebagai pembaca, menunggu sekuel buku ini rasanya tak berlebihan. Rian berhutang banyak untuk menulis biografi lengkap Mama Lin. Berharap di buku kedua nanti, hal-hal detail dapat diceritakan lebih baik.

Buku ini menceritakan ajaran-ajaran hidup dan masa kecil Rian (sekeluarga) bersama Mama Lin. Tulisan yang pada akhirnya menyadarkan kita bahwa, setiap pertemuan adalah perpisahan. Setiap awal memiliki akhir. Setiap kebersamaan adalah kesendirian. Setiap yang bernyawa akan pergi. Buku ini membawa refleksi, bahwa sebelum kehilangan—perpisahan—akhir—kesendirian itu benar-benar datang, kita adalah manusia merdeka yang berpeluang menciptakan kebaikan-kebaikan. Setiap kebaikan itu akan menjelma lukisan indah yang terbingkai dalam dada. Dan Mama Lin, lukisan indah Rian Seong yang hilang itu, masih terbingkai di dalam dadanya. (Oleh: Sayyidati Hajar --- Dosen Universitas Muhammadiyah Kupang, Penulis Buku Kumpulan Cerpen “Menyudahi Kabair”. Artikel ini pernah dipublikasikan di kompasiana.com)


Post a Comment

0 Comments