Gusty Rikarno, S.Fil Pemimpin Umum MPC NTT |
PENDIDIKAN karakter melalui Gerakan
Literasi Sekolah telah menjadi trend
komoditi sekaligus promosi dalam dunia pendidikan. Sekolah sebagai sebuah
lembaga pendidikan tempat generasi bangsa bertumbuh dan berkembang secara
inteletual, emosional dan spiritual telah menjadikan literasi sebagai obyek
“jualan” untuk tujuan promosi. Beragam jenis karya tulis dalam beragam bentuk
baik buku, bulletin sekolah, laman website dan sebagainya ”dipasarkan” untuk
menarik minat masyarakat khususnya para calon orangtua murid.
Hemat
penulis, tidak ada yang salah dari kreatifitas produktif seperti ini.
Menjadikan literasi sebagai bagian dari “prodak” sebagai nilai jula sekolah di
tengah masyarakat. Namun demikian perlu dipahami bahwa pendidikan karakter yang
pertama dan utama, tidak dilaksanakan dalam pendidikan formal saja tetapi dalam
pendidikan informasi di keluarga, di lingkungan masyarakat dan bangsa. Artinya,
ada semacam benang merah yang menghubungkan literasi (aktifitas membaca dan
menulis) dengan aspek pengembangan karakter peserta didik seperti kejujuran,
kedisiplinan dan bertanggung jawab. Dari kegiatan membaca memampukan ia
(peserta didik) untuk mengamati berbagai persoalan di tengah masyarakat dan sedapat mungkin mampu member solusi atas
persoalan tersebut.
Dengan
demikian, pembentukan pendidikan karakter melalui gerakan literasi sekolah
tidak bersifat instant atau sekali jadi. Butuh sebuah proses yang panjang dan
berkelanjutan. Dengan demikian pendidikan karakter dapat dilakukan di sekolah
dengan menyosialisasikan dan melakukan karakter utama seperti solidaritas,
toleransi, penghargaan, kejujuran, tanggung jawab dalam masyarakat yang
multikultural. Sebagai anggota masyarakat siswa berkembang baik berdasar
etnisitas dan identitas nasional memiliki perspektif global dan
mengidentifikasi sebagai warganegara yang baik dan merasa jadi komunitas dunia.
Literasi
dan Pembentukan Karakter
Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) yang dicanangkan Kemdikbud melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti semakin hari semakin menampakkan gaungnya.
Dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK, para guru dan siswa berlomba-lomba
menyukseskan program GLS, yang muaranya adalah penumbuhan budaya baca sejak
dini. Literasi merupakan kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan
informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk mewujudkan
warga sekolah yang literat, dekat dengan buku, dan terbiasa menggunakan bahan bacaan
dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan. Pertanyaannya adalah, apa
sesungguhnya sasaran GSL? Apa manfaatnya bagi siswa khususnya dan bagi bangsa
umumnya? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Membaca dan
menulis adalah dua hal yang saling mengadandaikan. Penulis trampil selalu
datang dari seorang pembaca yang tekun. Penulis “Novel Badut Malaka” Robert
Fahik dalam sebuah kegiatan bimbingan teknis menulis untuk para siswa dan guru
berujar, seorang yang jarang baca, bisa saja menghasilakan tulisan. Sangat
bisa. Namun, ketahuilah hasil tulisan itu akan terasa hambar, dangkal dan
kering. Pembaca bakal “tersesat” dalam sebuah logika berpikir yang tumpang
tindih. Lain hal dengan seorang penulis yang juga seorang pembaca yang tekun.
Ia akan menulis seperti halnya air yang mengalir dari hulu sampai ke muara.
Enak dibaca, dimengerti dan tulisannya diingat sampai kapanpun.
Aktifitas membaca
15 menit sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang dicanang pemerintah bukan
tanpa maksud. Peserta didik ‘dibiasakan” atau dibudayakan untuk tekun membaca.
Membaca dalam hal ini adalah membaca berbagai hal baik berupa informasi
(berita) pengetahuan umum dan sebagainya. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Viktor Buntilu Laiskodat pun menekankan hal yang sama. Menurutnya, tidak
cukup hanya lima belas menit, harus membaca dua jam sehari.
Peneliti
Anne Cunningham dan Keith Stanovich menyatakan bahwa kebiasaan membaca sejak
kecil diperkirakan mampu memengaruhi kuantitas membaca seseorang dari tahun ke
tahun. Dengan tingginya jam terbang dalam membaca, seseorang dapat memperkaya
kosakata dan kemampuan membacanya. Menurut penelitian lain dari University of
Edinburgh dan King’s College London, kemampuan membaca yang sudah dibangun dari
usia belia tersebut mampu meningkatkan kecerdasan secara keseluruhan.
Menurutnya, ada enam manfaat membaca seperti meningkatkan kecerdasan,
meningkatkan daya ingat dan kosentrasi, terserang Alzheimer atau penyakit pada otak yang
menyebabkan penurunan daya ingat dan fungsi kognitif seseorang, menumbuhkan
rasa empati, mengurangi stress dan membuat umur panjang.(https://www.gramedia.com).
Dari
beberapa manfaat membaca di atas, gerakan literasi diharapkan mampu menjadi
sarana pembentuk pola pikir, sikap, dan perilaku anak bangsa. Karena literasi
menuntut seseorang untuk terus membaca dan menulis. Dimana dengan membaca,
mereka akan menemukan kalimat dan kata - kata yang positif yang akan membentuk
pola pikirnya menjadi lebih baik. Dan dengan menulis mereka akan dilatih untuk
terus mengeluarkan ide-ide yang bias membentuk pola berbahasa yang bagus.
Dengan menulis dan membaca, pola piker seseorang akan berubah dengan sendirinya.
Semakin bagus berbahasanya, semakin bagus pula karakter orang tersebut.
Namun
jika kita lihat sekarang, masyarakat lebih suka menonton dan mendengar dari
pada menulis dan membaca. Berdasarkan data yang dilansir dari laman
republika.co.id menurut data BPS, menunjukkan jumlah waktu yang digunakan anak
Indonesia dalam menonton televise adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu
besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di
Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari.
Sungguh
miris jika kita melihat pada fakta yang terjadi di Indonesia. Kurangnya minat
membaca dan menulis pada anak-anak di Indonesia adalah suatu masalah yang harus
diatasi oleh pemerintah. Pemerintah harus menggencarkan program gerakan
literasi ini. Salah satunya melalui sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan juga menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu hal penting yang
tertuang dalam peraturan tersebut yaitu kewajiban membaca buku non teks
pelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari di
sekolah. Berdasarkan amanat itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah (DitjenDikdasmen) meluncurkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Selain
itu, ada Perpres Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK). Perpres ini menjabarkan tentang pentingnya membangun budaya literasi
dalam kaitan dengan penguatan pendidikan karakter. Lewat gerakan literasi ini, menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang
berkualitas, bijaksana dan berdedikasi tinggi. Sebab, mereka memiliki
pengetahuan yang luas. Tidak berpola piker sempit dan dangkal. Tidak
hanya itu saja. Kelisanan juga, dengan literasi kita dapat memperbaiki
kelisanan, mampu bertutur kata yang sopan dan santun. Berfikir dulu sebelum
bertindak.
0 Comments