Oleh : Gusty Rikarno,
S.Fil
Jurnalis Media
Pendidikan Cakrawala NTT
Saya selalu begitu.
Menghabis waktu senggang berselancar di dunia maya. Memantau realitas dan
situasi terkini sekaligus merasakan “sensasi” dari cara orang berpikir dan
merasa tentang realitas dan situasi tersebut. Facebook menjadi salah satu
pilihan ketika aplikasi buatan Mark Zuckerberg ini digandrungi orang. Pada
wajah laman facebook, kita bisa menikmati sekian banyak aroma, mulai dari yang
berstandar tinggi hingga pada tingkat murahan. Kita bisa mengetahui kedalaman
berpikir dan karakter orang dari cara ia menulis status di dinding
facebook-nya. Terkadang kita resah dan bingung sendiri saat menakar kualitas
tulisan seorang pejabat atau akademisi yang “sejajar” dengan cara seorang
“masyarakat biasa” menulis status. Saya
membaca sambil menikmati. Ada yang hari kemarin dinding facebook-nya berisi
sampah dengan kalimat caci maki dan sumpah serapah. Hari ini berisi kata-kata
bijak penuh motivasi. Ada yang sangat konsisten. Dinding facebook-nya hanya
berisi keresahan, rasa psimis dan kritikan tanpa arah.
Saya berhenti di satu pemilik akun unik. Jasa
Pembuatan Skripsi. Saya tahu ini bukan sebuah nama. Begitulah facebook. Mark
Zuckerberg, Cs tidak butuh yang resmi dan asli. Sesungguhnya ia butuh uang.
Sama halnya dengan sang pemilik akun ini. Ia butuh uang dari jasa membuat
skripsi. “Bingung skripsi? Serahkan saja kepada kami. Jasa pembuatan skripsi
terpercaya” begitulah cara ia/mereka (pembuat skripsi) menawarkan jasanya.
Tidak lupa ia menyertakan nomor whatsapp (WA). Saya penasaran. Mencatat nomor
WA itu dan segera beralih dari aplikasi facebook ke aplikasi whatsapp.
Saya mengirim pesan.
Mengambil peran sebagai seorang calon sarjana yang ingin membutuhkan jasanya.
Dalam waktu singkat ia menjawab dan kelihatannya ia sangat bersemangat. Tanpa
basa-basi saya langsung menwarkan jasanya sekaligus menanyakan total biaya yang
harus saya siapkan. Menurutnya, saya bisa terima jadi. Bahkan ia akan
memberikan “training” singkat tentang bagaimana menjawab pertanyaan dosen saat
ujian nanti. Total biayanya sebesar Rp. 4.000.000,-. Saya selalu ingin begitu.
Mengajak orang “istimewa” untuk ngopi bersama.
Dari dunia maya akhinya kami bersua di dunia nyata. Saya berpenampilan
biasa. Yah…seperti para mahasiswa pada umumnya yang sedang resah dan gelisah.
Lugu, loya, gugup dan sedikit gagap.
Sambil meneguk kopi layaknya seorang juragan,
ia mulai menjelaskan tentang bagaimana mendapatkan judul. Menurutnya,
mendaptkan judul itu tidak sulit. Satu hal yang penting sekaligus sulit adalah
bagaimana harus menemukan masalah. Itulah tema yang bakal kita garap. Ia
menawarkan beberapa judul skripsi ketika saya menjelaskan bahwa saya adalah
calon guru jurusan sosiologi. “Tidak sulit bro. Itu gampang. Tidak usah resah
begitu. Saya sudah siapkan beberapa judul yang bisa langsung dipakai. Sudah banyak
orang memakai judul ini. Bro cukup ganti tempat dan tahunnya saja. Dosen pasti
langsung setuju. Apalagi dosen di kampus anu (ssstt…rahasia). Kalau hanya untuk judul, bro bisa bayar Rp.
1.000.000,. Itu murah sudah.”, katanya sambil terkekeh.
Benar. Hari itu saya ingin tampil bodoh di
hadapannya. Berjuang tampak bingung dan resah. Sesekali menggarukkkan kepala
dan kamu tahu? Ia semakin “bergairah”. Bercerita banyak hal tentang
ketuntungannya dari jasa membuat skripsi. Menurutnya, di kota Kupang ini banyak
yang sudah memakai jasanya. Skripsi mereka dipuji oleh dosen pembimbing dan
penguji. Mereka lulus. Saat wisuda ada yang datang bersama orangtuanya dan
mencium tangannya. Ia seperti dewa penyelamat. Keluarganya menyisipkan juga
“uang sirih pinang” yang walaupun mereka tahu, ia (si pembuat skripsi) tidak
makan sirih pinang.
Berjuang tampak ragu, saya bertanya bagaimana
kalau nantinya ketahuan saya mengunakan jasanya. Ia menatapku sejenak. Seakan
sedang berjuang mencari cara menghapus keresahan saya. “Tidak perlu takut.
Sebelum maju untuk ujian kamu akan dibekali. Dosen sudah memiliki beberapa
pertanyaan wajib yang saya tahu hanya sekadar basa-basi. Tapi, kamu juga harus
mendekati dosen. Kalau di kampus anu, saya tahu maunya dosen itu. Hidup ini
adalah tentang uang. Idealisme bahkan keyakinanmu bisa dibeli dengan uang. Bro
tahu maksud saya to? Saya heran ada yang shering kalau di kampusnya ada dosen
“killer”. Tidak. Ia (dosen) sesungguhnya meminta pengertian dari kamu. Minta
diharga sekaligus minta uang jajanmu”, katanya sambil terbahak.
………………………………………………………………………………………….
Ini fakta. Kisah nyata dunia pendidikan kita.
Jika setiap tahunnya, semua kampus meng-wisudakan ratusan bahkan ribuan orang
sarjana, saya malah ragu untuk ikut berbangga. Ada semacam paradoks. Semisal
begini. Setiap tahun, beberapa kampus di
NTT menamatkan sekian banyak sarjana ekonomi. Coba pergi ke pasar. Pedagang di
sana adalah “orangtua” bersahaja tanpa ijazah sarjana ekonomi. Dalam setiap
harinya, mereka menghasilkan banyak uang dari kepiwaiannya berdagang. Sampai di
detik ini saya harus berbisik keras. NTT butuh sarjana bukan ijasah sarjana.
Sudah. Bakal saya ulas khusus topik yang satu ini. Mari kita kembali ke meja
ngopi dengan si penjual jasa membuat skripsi tadi.
Saya segera pamit ketika dua orang gadis
mendatanginya. Sepertinya mereka memiliki maksud yang sama. Ingin memakai
jasanya membuat skripsi. Kepada saya si pembuat skripsi berpesan jika nanti
datang menemuinya lagi jangan lupa bawa laptop. Beberapa judul skripsi bisa
langsung di-coppy paste-kan. Emailnya sudah tidak dipakai lagi. Saya kembali ke
redaksi. Duduk diam tanpa kata dan suara. Di saat begitu, saya didatangi
sekelompok mahasiswa ber-jas kuning emas. Tiba-tiba meminta Kartu Keluargaku.
Katanya, mereka bertugas untuk mengecek dan mencatat bagaimana masyarakat
berlaku hidup sehat. Tanpa ragu ia menyuruh saya mengisi formulir yang berisi
pertanyaan yang menyentak dada seperti berapa penghasilan tiap bulan? Berapa
jumlah fentilasi rumah anda? Lalu ke mana air kamar mandi dialirkan. Pertanyaan
konyol dan membingungkan. Mungkin seharusnya begini. Kamu memberi salam,
memperkenalkan diri dari kampus mana dan tujuan kedatangamu apa. Mungkin
kebodohan itu perlu dirayakan denga satu cara seperti ini. Diam tanpa kata dan suara.
Wajah dan suara si
penjual jasa membuat skripsi itu hadir kembali. Saya mempersilahkan para
mahasiswa pengecek dan pencacat data itu duduk. Kepada mereka saya menjelaskan
beberapa hal mulai dari soal etika, kecerdasan berkomunikasi hingga bagaimana
mengunpulkan data di tengah masyarakat. Kamu bakal temukan masalah yang terjadi
di tengah masyarakat, semisal masalah kebersihan dan kesehatan tergantung dari
kemauan si narasumber memberi data secara benar dan valid. Cara kamu
berkomunikasi untuk mengyakinkan sang narasumber (pemberi data) sangat
menentukan kualitas tulisanmu nanti. Tulisan skripsimu ditentukan dari cara
kamu memberi salam kepada para
narasumber. Kalau kemudian tiba-tiba meminta kartu keluarga dan mengisi
formulir kamu bakal mendapat kerugian ganda. Pertama, permintaanmu tidak
dikabulkan dan yang kedua kamu bakal diusir dan dikatai sebagai mahasiswa
bodoh.
Kisah penjual jasa
membuat skripsi ini dan sekelompok mahasiswa pengecek dan pencacat data
mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, lemahnya budaya baca-tulis di kalangan
mahasiswa. Aktifitas menulis selalu mengadaikan adanya kebiasaan membaca.
Penulis yang trampil adalah seorang pembaca yang tekun. Menulis skripsi adalah
menuliskan pikiran. Pikiran-pikiran cerdas dan kristis adalah miliknya si “kutu
buku”. Kedua, pentingnya kegiatan ekstra
kurikuler jurnalistik dan Karya Ilmiah Remaja. Para kepala sekolah, guru dan
komite di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) seharus memikirkan dan memprogramkan hal ini. Kegiatan ekstrakurikuler
lain seperti Dramband, pramuka, kelompok peduli lingkungan hidup dan
sebagainya, itu penting. Namun jauh lebih penting adalah bagaimana
mempersiapkan para calon mahasiswa ini. Mereka harus didampingi secara khusus
dalam hal menulis. Mari jujur, seberapa sering papan mading di sekolah itu
diganti dengan tulisan baru. Akh … jangan sampai papan madingnya ditempel
kertas pengumuman pengunaan dana BOS atau lembaran promosi dari berbagai kampus
untuk penerimaan mahasiswa baru. Ketiga, mungkin saatnya pemerintah dan DPR
bertobat. Bicara mutu pendidikan jangan langsung tertuju pada sebuah kondisi
gedung sekolah. Sekali lagi, mutu itu ada di kepala guru dan peserta didik.
Oleh karena itu, kegiatan peningkatan mutu guru dan siswa harus diutamakan.
Pendampingan penulisan karya ilmiah, misalnya. Mari jujur. Para guru NTT
mayoritas kandas di pangkat/golongan IV/A. Tahu kenapa? Karena ia tidak membaca
dan menulis. Kalau guru tidak biasa membaca dan menulis jangan harap anak didik
berbuat sebaliknya. Ingat, guru itu digugu dan ditiru.
Penjasa pembuatan skripsi itu terkekeh. Ia
terbahak untuk beberapa hal. Ia sedang menertawakan guru dan anak-anak NTT yang
nampak bingung, resah, gagap dan gugup menulis karya ilmiah. Harga dirinya
digadai atas nama profesionalisme dan ijasah sarjana. Selain itu, ia terkekeh
menertawakan pemerintah, masyarakat dan leluhurnya orang NTT. Pemerintah yang
selalu mencari posisi nyaman, anggota legislatif yang hanya berpikir untuk lima
tahun, masyarakat yang tidak peduli pendidikan dan generasi yang akan datang
serta leluhur yang meninggal tanpa memberi pesan dan teladan. Akhirnya, mari
kita terbahak bersama. Meramaikan dunia maya dan merayakan kebodohan sekaligus
membangun niat untuk berubah. Ingat, kita sedang mengalami dehidrasi literasi.
Kamu tahu apa itu dehidrasi literasi? Keadaan kita yang bisa baca (melek huruf)
tetapi tidak biasa membaca.
Salam Cakrawala, Salam
Literasi …
0 Comments