Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media
Pendidikan Cakrawala NTT
Menelusuri jalan sepi
literasi di NTT itu begini. Ada seorang (beberapa orang) sedang berjalan
menelusuri lorong pikirannya sendiri. Dingin, gelap dan sempit. Ia mengendus
mencari jawaban untuk sekian banyak pertanyaan eksistensial dalam dirinya.
Lorong dingin dan gelap itu semakin terasa saat ia rajin “bertengkar” dengan
kenyataan hidup yang dialaminya. Tidak heran, orang lebih memilih aman. Tidak
perlu mempertanyakan hidup yang sudah ada. Yah … (untuk kebanyakan orang), hidup
itu adalah yang ada saat ini. Nikmati dan syukuri saja apa yang ada. Atau
dengan format lain, hidup itu adalah bentuk keterlemparan dari keabadian. Tidak
perlu dipertayakan lagi. Mempertanyakan hidup dengan seluruh peristiwa yang
terjadi di dalamnya adalah pekejaan
sia-sia kalau tidak mau dibilang bodoh.
Menulis adalah alasan
untuk sebuah “pertengkaran” dengan diri sendiri. Semakin ia berpikir dan
melibatkan perasaan sepenuhnya atas banyak peristiwa hidup, maka ia bakal sepi
sendiri dan siap dilabeli sebagai filsuf (pemikir) atau orang gila. Tidak ada cara atau pilihan yang lebih tepat
selain menelusuri jalan sepi yang dingin ini.
Menulis adalah cara menembus (menyingkap) jalan sepi ini. Manfaat dan
sensasinya dapat jika kita berani sendiri di jalan sepi ini. Jika kemudian kamu
menemukan lebih dari sepuluh orang dalam perjalanan menerobos jalan sepi ini,
maka untuk konteks NTT itu sudah luar biasa. Kali ini saya ingin mengajak kita
sekalian menjejaki pemikiran Marsel Robot tentang bagaimana ia “bertengkar”
dengan diri dan memutuskan menerobos jalan sepi literasi.
Marsel Robot lahir di
Taga, Koit-Manggarai Timur, 1 Juni 1961. SD di Koit, SMP di Borong, SMA di St.
Thomas Aquinas, Ruteng-Flores. Tahun 1982, ia melanjutkan pendidikannya di
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Undana. Berkat kesetiaanya menelusuri jalan sepi literasi maka di tahun 1998,
Marsel melanjutkan Magisternya di Universitas Padjadjaran Bandung di bidang Ilmu Komunikasi dengan predikat Cum
Laude. Tahun 2008 di kampus yang sama ia berhasil mempertahankan disertasi
doktoralnya yang berjudul : kontruksi Harmoni Antara Salib dan Bulan Sabit :
Sebuah Etnografi Budaya Komunikasi Masyarakat Beda Agama di Ntaram (Manggarai)
Flores.
Sebagai dosen ia (Marsel
Robot) tahu sepi dan dinginnya lorong ini. Ia merasakan sendiri perihnya hati
dan pikiran melihat para mahasiswa yang adalah calon guru itu berusaha
menghindar dari lorong sepi literasi ini. Apa yang bakal terjadi dengan
generasi NTT ini di belasan dan puluhan tahun dari sekarang. Apa yag bisa
digugu dan ditiru oleh siswa/i yang didiknya nanti. Ini dosa siapa? Dalam satu
ia seperti Pilatus. Ingin ikut serta mencuci tangan dan “mencari kambing
hitam”.
“Sesungguhnya, saya
sedang berprofesi ganda. Sebagai dosen sekaligus pemulung. Sebagai dosen tugas
saya sangat formatif. Meneliti dan mengajar. Itu saja. Tetapi sebagai pemulung
tugas saya adalah memilih dan memilsah sampah. Para mahasiswa yang sudah
menamatkan pendidkan dari jenjang SD, SMP dan SMA yang juga adalah calon guru
tetapi tidak memiliki ketekunanan membaca dan menulis. Mereka itulah sampah
dalam bentuk yang nyata. Seperti pohon, ia nampak layu dan loyo karena hati dan
pikirannya kosong. Ia (mahasiswa) ikut dalam konsep pendahulu “tua” bahwa hidup adalah anugerah
dan dinikmati apa adanya. Apa yang terjadi? Ia bisa menulis tetapi tidak biasa
menulis. Jauh lebih parah dari seorang yang buta huruf. Saya malu menjaani
profesi ganda sebagai dosen dan pemulung ini. Tetapi itulah kondisi kita,” tandas Marsel dalam tatapan mata “berkaca”.
…………………………………………………………………………
Puluhan perserta
Bimbingan Teknis (Bimtek) penulisan karya ilmiah (PTK/PTS) yang diselenggarakan
di SMP Kristen 3 Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) terdiam. Aula
kegiatan beraroma ilmiah itu berubah menjadi sunyi. Mereka (perserta bimtek)
merenung dalam kata tak bersuara. Ada imajinasi yang sedang berkelana, ke mana
dan bagaimana situasi generasi bangsa (daerah ini) di tahun 2050 nanti? Apakah
mereka (generasi muda) mampu bercerita tentang dirinya, leluhurnya dan
orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya? Ataukah semuanya lenyap tanpa
cerita dan kenagan? Berada di sini untuk tiga hari terhitung dari tanggal 24-26
Juni untuk mengurai visi besar itu. Menyambut Generasi Emas NTT 2050 Dengan
Membangun Budaya Literasi.
Lelaki penulis buku
kumpulan artikel “Ringkasan Kegelisahan Sosial di Aula Sejarah” berbicara lagi. Di hadapan puluhan peserta
Bimtek yang terdiri dari para guru dan kepala SMP itu, Ia (Marsel
Robot) berkenalan. Katanya, ia sudah mengalami bagaimana perihnya saat tidak
mempunyai kebiasaan membaca dan menulis. Sebelum berada di titik ini sebagai
dosen, ia gagal dalam sekian banyak bentuk test (ujian). Segala sesuatu yang
dinamai test (ujian), ia pasti gagal total. Ia “bertengkar” dengan dirinya
sebelum jalan pertobatan itu terbuka. Baginya, menulis dan membaca itu adalah
dua hal yang saling mengandaikan. Menulis itu bakal sulit seperti mengali sumur
dengan jarum jika jarang (kurang) membaca.
“Menulis itu memang
sulit. Untuk konteks NTT dimana masyarakatnya (termasuk guru) bisa membaca
tetapi tidak biasa membaca, menulis itu seperti kegiatan menggali sumur dengan
menggunakan jarum. Atau unta yang disuruh (dipaksa) masuk lubang jarum. Sulit.
Tetapi hasil tidak pernah mengkhianati proses. Tidak ada cara lain yang lebih
cerdas dan bijaksana jika ingin menulis adalah dengan banyak membaca dan mulai
tulis. Keajaban selalu terjadi untuk orang yang mau memulai dan berusaha.
Jangan tanya mengapa kemudian orang menjadi professional dalam hal menulis seperti
tim Media Pendidikan Cakrawala NTT, jawaban hanya satu. Mereka (tim Cakrawala)
telah mulai dan setia pada lorong sepi literasi ini. Membaca dan menulis adalah pekerjaaan merawat
akal sehat dan proses mendidik jari. Benar. Jari kita perlu didik agar tidak
kaku, gagap dan menjadi “harimau” untuk diri sendiri,” tandas pimpinan umum
Tabloid Suara Tabor ini.
Menurut Marsel, menulis
itu adalah seorang yang sedang jatuh cinta. Ia mengambil jarak dan keluar dari
dirinya. Ia menulis. Mencari kata yang tepat, menyusunnya dalam kalimat hingga
pesan itu tercipta. Awalnya ia nampak resah dan gelisah. Apakah deretan kalimat
ini mampu menggetarkan jiwa seseorang yang sangat dicintainya? Kesuksesan usaha
mendapatkan cinta ditentukan oleh seberapa kuat dan bernas kata dan kalimat
yang ditulis. Ia membaca lagi tulisannya di beberapa jam yang lalu. Ia kaget.
Menghapusnya segera dan mulai menulis lagi. Begitulah seterunya. Menulis dan
mencoretnya lagi hingga keresahan itu pergi dan hilang. Ia ke dapur, ingin
merayakan hasil karyanya ini dalam secangkir kopi panas. Meneguknya perlahan
sambil memandang surat yang sudah terbukus dalam amplop putih.
Lelah, perih tetapi selalu berakhir
mengagumkan. Dalam tulisan ia sungguh melihat dirinya secara utuh. Ada rasa
bangga ketika ia menatap perasaan dan pikirannya sendiri. Terpesona karena ia
berhasil membingkai dirinya dalam posisi lain. Dalam kekuatan terisa, akhirnya
ia berhsil mengirim surat cinta itu. Keajaiban terjadi. Orang yang sangat
dicintainya itu mendatanginya dalam mimpi dan sadar. Hati mereka berpaut dalam
kata sehidup semati dari kata dan kalimat yang dirakitnya di beberapa bulan
lalu. Mereka saling mencintai dalam kata, suara dan sikap.
…………………………………………………..
Di bulan begini, Kota
Soe terasa sangat dingin. Angin yang bertiup seperti segerombol bayang yang
datang dan menggigit tulang. Ada rasa hampa, jika suasana ini berlalu begitu
saja. Saya akhirnya menjadi bagian dari
peserta. Mencatat setiap kata dan kalimat sastrawan NTT ini. Di mataku saat
ini, Marsel Robot adalah guru yang hadir untuk mengajar dan menghibur. Ia
adalah nabi kekinian yang berseru pentingnya membangun budaya literasi di
kalangan peserta yang juga adalah guru. Kesimpulan sementara akhirnya didapat.
Guru adalah nabi yang berpikir, mengajar dan menghibur.
Kita amini itu. Guru
adalah nabi yang ingin menghabiskan hari-hari hidupnya untuk berpikir dan
mengajar. Ia (guru) adalah seorang yang mau meluluhkan dirinya seperti lilin
untuk membuka cakrawala berpikir generasi muda. Ia datang membawa api yang membakar
semangat berjuang dan optimisme para pemilik masa depan NTT di tahun 2050. Guru
adalah seorang yang ingin mengerutu dalam aksi dan pelayanan. Selain itu, guru
adalah nabi yang menghibur. Ia datang membawa rasa yang tidak biasa. Dari cara
ia berpikir dan merasa, generasi muda belajar tentang arti kehidupan yang
nyata.
Dr. Marsel Robot kembali
berbicara. Kali ini ia hadir sebagai sahabat ketimbang sebagai dosen dan
sastrawan NTT. Ia menyampaikan rasa bangga untuk semua peserta yang hadir.
Menurut Marsel, kehadiran para kepala sekolah dan guru di hari libur ini adalah
“sesuatu”. Mengisi waktu liburan dalam cara yang luar biasa. Meningkatkan
profesionalisme dalam hal menulis. Jika kemudian ada mimpi untuk generasi emas
itu tercipta, maka ini adalah sinyal awal yang baik. Luar biasa. Harus diakui,
akhir-akhir ini, om “Google” telah mencaplok wibawa dan akal sehat guru. Banyak
tulisan yang dihasilkan dari rakitan kata yang ada di mesin google. Pikiran
guru dinina bobo hingga akhirnya lumpuh. Pendampingan menulis karya ilmiah
adalah cara untuk merawat akal sehat dan mengembalikan wibawa guru yang pantas
digugu dan ditiru.
“Manusia modern termasuk
para guru telah menjadi suku cadang dari “android”. Om “google” telah mencaplok
buah pikir manusia dalam kerja mesin yang kaku dan monoton. Ada sebuah
pernyakit “ketergantungan”. Perhatikan cara guru atau anak muda menulis status
facebooknya. Akh … menyedihkan. Dirinya “ditelanjangi” dari cara ia menuliskan
pikirannya di dinding facebook. Padahal harus diakui, otak kita adalah akar
serabut seperti halnya tumbuhan. Otak akan berkembang dan bertumbuh sempurna
jika selalu disegarkan dengan diberi nutrisi melalui aktifitas membaca dan
menulis. Dalam sebuah penelitian kecil, Alkitab adalah satu-satunya buku yang
dimiliki guru di rumah. Karena Alkitab adalah yang suci maka jarang dibaca.
Cukup melihat, memegang dan berdoa,” ujar sastrawan NTT ini.
Di akhir materinya,
dosen Bahasa & Sastra Indonesia Undana ini menyampaikan terima kasih kepada
tim Media Pendidikan Cakrawala NTT. Jiwa-jiwa muda nan enegik punyanya NTT yang
selalu resah. Mereka akhirnya memutuskan untuk setia di lorong sepi ini. Mereka
(tim formator Cakrawala) siap “meng-opname” hasil tulisan para guru dan
meniupkan roh dan wajah baru di dalamnya. Dalam hal ini fungsi tim Cakrawala
sebagai formator telah mendapat penyempurnaannya dalam media publikasi yang
dimilki yakni majalah pendidikan Cakrawala NTT dan Jurnal Pendidikan Cakrawala
NTT. Jalan sepi literasi ini harus menjadi pilihan para guru dan generasi muda
NTT. Artinya, cakrawala berpikir guru dan anak-anak NTT dibuka dan diarahkan
dalam cara yang tepat. Tim Formator Cakrawala NTT telah menajalankan fungsi
itu. Terima kasih.
Salam Cakrawala, salam
Literasi …
0 Comments