Suatu
saat jika harus memilih apakah tinggal di kotanya orang kudus atau kotanya
orang sehat, saya tidak ragu untuk memilih tinggal di kotanya orang sehat. Mau
tahu kenapa? Jawabannya sederhana saja. Saya manusia, penuh dosa dan
kekhilafan. Saya butuh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Saya butuh bonus
waktu untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Kuyakini saja, di dalam
diri orang yang sehat, ada unsur kekudusan. Ia mampu menjaga kesehatanya dengan
baik dan tentunya ia tetap produktif untuk berpikir dan bekerja. Di sisi yang
lain, orang kudus (apalagi merasa kudus) dalam dirinya sendiri sudah pasti
tidak sehat. Bagaimana mungkin ia mau disebut orang kudus (merasa kudus)
sementara ia masih berpredikat manusia. Ia tidak sehat. Minimal dari cara ia
bersikap, merasa dan berpikir.
Dalam
suatu kesempatan tepatnya tanggal 25 Mei 2019, saya mendapat undangan via group
WA dari bagian humas Pemerintah Kabupaten Kupang untuk datang dan meliput
kegiatan Trainning of Trainers (TOT) untuk Warga Peduli ADS dalam lingkup
wilayah Kabupaten Kupang. Kegiatan rupanya dinilai sangat penting dan mendesak.
Hal ini terlihat bagaimana Wakil Bupati Kupang, Jerry Manafe berbicara keras
dalam nada kesal ketika melihat banyak Kepala Desa, Lurah dan Camat tampak
tidak peka dan tidak mau ikut peduli terhadap persoalan yang dialami masyarakat
dalam wilayahnya. Grafik data kasus penularan HIV/AIDS cenderung meningkat.
Data per-April 2019, terdapat 276 kasus HIV/AIS dengan rincian 145
teridentifikasi menderita HIV, 45 orang lainnya menderita AIDS dan 25 orang
dinyatakan sudah meninggal dunia. Penularan HIV/AIDS dan dampak iktannya
ternyata jauh lebih lebih ganas dan mengerikan dari Narkoba. Narkoba butuh
waktu dan biaya yang tinggi untuk mendapatkannya. Sementara untuk berhubungan
seks (ilegal), sangat mudah. Tahu kenapa? Karena mudah dan murah. Mudah
mendapatkan jasa PSK (terselubung) dan biaya jasanya murah.
“Saya
kok heran ya. Ada camat, lurah dan kepala desa yang “mati rasa” dengan
persoalan ini. Saya cemas, mereka menjadi tidak peka karena mungkin saja mereka
adalah bagian dari penderita HIV/AIDS. Dana Desa, harus digunakan juga untuk
mengatasi persoalan penting semacam ini. Bayangkan, dari tiga belas kecamatan
yang ada, masih banyak peserta yang tidak hadir. Padahal kita sudah berupaya,
dalam kondisi anggaran yang terbatas kita selenggarakan kegiatan ini karena
kegiatan ini sangat penting dan mendesak”, tegas Jerry.
Sebagai
informasi tambahan, di kota Kupang pernah ada lokalisasi untuk para Pekerja
Seks Komersial (PSK). Mereka (PSK) dilokalisasi dalam satu maksud. Identitas
dan kesehatannnya mudah dikontrol. Secara berkala (saat itu), pihak kesehatan
dan kelompok masyarakat/LSM peduli HIV/AIDS, secara berkala mengontrol
kesehatan mereka. Ada kalanya mereka mengikuti seminar untuk mendapatkan
kata-kata awasan sekaligus ajakan agar mereka meninggalkan lokasi Karang Dempel
(KD) dan menekuni pekerjaan yang lain. Tapi itu cerita sekian banyak waktu yang
lalu. Kini lokasi prostitusi itu “dibersihkan” terhitung dari tanggal 1 Januari
2019 yang lalu. Ada semacam pemulihan wajah kota ini dari bawah bopeng penuh
dosa menuju wajah lugu penuh kekudusan. Efek postifnya, justru ada pada titik
ini. Kota Kupang bukan hanya kota kasih tetapi juga kotanya kudus. Kotanya
orang-orang kudus. Dampak negatif dari penutupan KD luput dari perhitungan dan
kalkulasi banyak orang termasuk gereja
sebagai sebuah intitusi keagamaan mayoritas.
Kamu
tahu? Persoalan baru perlahan mulai muncul. Tidak perlu munafik. Jujur saja.
Banyak tempat pitrat dan karoeke berubah fungsi sebagai tempat protistusi
terselubung. Belum lagi, ada mantan penghuni KD yang memutuskan kembali ke
kampung sebagai warga biasa tetapi tetap membawa cara hidup yang lama. Ia
(mantan PSK), bisa saja melacur dekat rumah adat, tak jauh dari rumah ibadah
atau di kebun saat memilih kemiri. Bisa saja. Tidak heran jika grafik data
penularan kasus HIV/AIDS terus meningkat. HIV/AIDS akhirnya tidak hanya soal
kesehatan tetapi telah menyentuh persoalan ekonomi, budaya, agama dan
sebagainya. Diyakini saja, seorang dewasa akan disebut “tolol” kalau bertanya,
mengapa harus ada PSK?
...........................................
Jerry
Manafe hadir menawarkan solusi. Bukan mengalihkan isu dan mulai melempar
tanggungjawab dengan cara mencari “kambing hitam”. Jerry tidak sedang berwacana
agar KD diaktifkan kembali. Ia juga tidak mau bertanya apakah eks warga
(penghuni) KD, semuanya telah diberi modal diberi modal dan didampingi untuk
berusaha secara berkelanjutan? Lokasi “KD” ada dalam wilayah administrasi kota
Kupang. Walau demikian efeknya menyentuh aspek hidup manusia yang paling
rahasia dan berharga. Ia menjalar menembus ruang waktu dan menjarah jiwa semua
wilayah. Warga Kabupaten Kupang sebagai radius terdekat, pasti menerima dampak
yang lebih besar. Mengajak masyarakat sekaligus meneguhkan keputusan sebagai
kecil warga untuk ikut peduli dan setia pada “panggilan” untuk menyelamatkan
sekian banyak orang dari penularan HIV/AIDS adalah tugasnya dan
tanggungjawabnya sebagai pemerintah.
“Saya
yakin, kasus pemerkosaan, perselingkuhan, hamil di luar nikah dan penularan
kasus HIV/AIDS untuk beberapa waktu ke depan akan dan terus meningkat. Jika
itu terjadi ke mana masyarakat dan
daerah ini dibawa. Saya bersyukur ada sekelompok masyarakat yang hadir dan mau
peduli. Ke depan, kita akan terus berupaya agar semakin banyak komunitas yang
sama terbentuk di setiap desa. Kita harus bergerak lebih cepat. Oleh karena
itu, pentingnya membangun sinergisitas lintas sektor untuk menekan laju
pertumbuhan kasus ini dengan target Three zero yaitu tidak adanya infeksi baru,
tidak adanya kematian dan tidak adanya stigma bagi pederita HIV/AIDS. Anggaran
kita memang terbatas. Pendapat Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kupang sangat kecil,
tetapi kita harus berusaha semaksimal mungkin. Apapun caranya. Saya siap
bertemu orang pusat untuk membicarakan persoalan ini”, demikian Jerry Manafe.
Katakan
saja, tidak perlu munafik. Mau hidup di negeri (kota) orang kudus (merasa
kudus) atau di negeri (kota) di tempat
berdiamnya orang-orang sehat. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita memilih
dan memutuskan. Dosa itu adalah soal pilihan bukan soal kesempatan. Jika dosa
itu adalah kesempatan maka kita meragukan peran logika dan hati nurani. Boleh
dengan sebuah contoh. KD masih ada dan anggap saja jalan menuju ke sana adalah
perjalanan menuju neraka. Semua orang tahu tentang itu. Tinggal ia memilih,
apakah mau ke neraka atau ke surga. Persoalannya, kalau jalan ke neraka tidak
jelas, maka orang yang memang mau ke neraka bingung. Maka ia akan mempersulit
orang yang sedang memilih jalan ke surga. Minimal ia meminta bantuan untuk
bersama mencari jalan ke neraka dan akhirnya ke duanya tersesat. Begitulah
seterusnya. Logika ini mungkin tidak tepat. Pointnya, jika KD ditutup maka
harus ada sekian banyak strategi dan solusi untuk masyarakat bisa mempunyai
lapangan kerja. Hadirkan sekian banyak investor dan buka sekian banyak pabrik
di daerah ini. Maaf, tugas yang begini tanggungjawab pemerintah.
Saya
teringat, dua kata “gaib” seorang Viktor Bungtilu Laikodat , Gubernur NTT saat
ini. Pemerintah mempunyai dua tugas utama dan pertama yakni sebagai regulator
dan fasilitator. Ia menetapkan aturan yang mengikat, jelas dan transparan.
Selain itu, ia (pemerintah) adalah fasilitator, pihak berwenang yang mampu berimajinasi
dan sigap menentukan sikap ke mana daerah ini di bawa. Logikanya jelas. Jika KD
ditutup maka solusi diberi. Pemerintah harus lebih pro-aktif untuk membuka
akses bagi masyarakat untuk berwirausaha khususnya untuk kaum minorotas di bumi
patriarkat ini yakni manusia bernama perempuan.
Yah
... di benak saya, kira-kira begitu jika serius mencerna narasi seorang Jerry
Manafe. Seperti seorang sniper, ia tahu ke mana arah tuju peluru dilesatkan, ia
sudah memperhitungkan jarak sasaran, arah angin bertiup dan sudah pasti ia
seorang yang sangat profesional dalam hal menembak. Kota Kupang dan Kabupaten
Kupang adalah kakak-beradik yang selalu mengadaikan dalam banyaka hal termasuk
masalah sosial, ekonomi dan budaya. Jerry seorang yang sangat taat asas. Ia berbicara
apa yang menjadi kapasitasnya. Ia tidak akan menyerempet ke tema (pihak) lain
kalau bukan menjadi kapasitas dan wewenangnya.
Hmmm ... begitu kira-kira. Dalam konteks mengatasi penularan HIV/AIDS
agar tidak semakin kronis maka target kerja Three Zero harus dijalankan. Itu
saja. Salam cakrawala, salam Literasi.
Gusty Rikarno,
S.Fil – Jurnalis Cakrawala NTT
0 Comments