Di berapa bulan terakhir,
kita dicengangkan sekaligus dikenyangkan dengan beragam narasi dan sepak
terjang seorang Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur Nusa Tenggara Timur. Bagai
rajawali, Ia (Viktor) bersama wakilnya Josef Nae Soi, mencoba menanamkan sebuah
gaya kerja maraton. Segala lini harus bergerak dan tergreak untuk maju. Diskusi
tanpa aksi adalah sandiwara yang harus segera hilang sebelum kata “namkak”,
bodoh dan beberapa kosa kata ‘tidak enak” bakal didapat. NTT adalah tanah kita,
provinsi di garis pinggir timur Indonesia yang memang harus banyak berbenah.
“Ada yang bilang, di ini
NTT banyak lahan tidur. Tidak. Yang tidur itu, bukan tanahnya tetapi
manusianya. Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat NTT banyak yang “tidur” bahkan
sudah lama mati. Saya dan Pak Josef, datang ke NTT dan tinggalkan zona nyaman
di Jakarta. Kami hadir untuk kita semua harus segera bangkit dari tidur panjang
kita. Malu pada generasi yang akan datang. Apa kata mereka, saat melihat kubur
kita. Mereka pasti malu memiliki generasi terdalu yang telah membuat mereka
bodoh dan miskin hingga tak punya harga diri. NTT harus sejahtera. Oleh Karena
itu, benahi SDM-nya. Perhatikan mutu pendidikan kita. Saya mau di tahun 2020,
prestasi kita berada di urutan ke-12 tingkat nasional. Jangan selalu berada di
garis buntut”, tegas Viktor saat merayakan hari pendidikan di Mengruda-Bajawa.
Langkah pertama dimulai.
Jabatan kepala sekolah SMA/SMK dilelang secara terbuka. Artinya, hanya calon
kepala sekolah yang cerdas, kreatif dan inovatif yang bakal diakomodir. Kepala
sekolah adalah seorang manager yang kinerjanya dinilai. Jika tidak membawa
peruabahan di sekolah dalam masa kepemimpinannya maka segera mengundurkan diri
sebelum diganti dengan cara yang sedikit tidak hormat. Mental kepala sekolah harus
dirubah, dari mental standar “gosok tangan” menuju mental kerja cerdas dan
tuntas. Bicara tentang SDM dan karakter sebenarnya bicara tentang bagaimana
pikiran dan hati bekerja sama dan sama-sama bekerja.
……………………………………………
Halaman kantor dinas
pendididikan Provinsi NTT, tampak sunyi di hari Senin, 27 Mei 2019. Bukan
karena karena hari ini libur atau semacam ada perayaan “nyepi”. Tidak. Hari ini
adalah hari produktif dan lebih “ramai” dari biasanya. Para kepala dinas
pendidikan dari 22 kabupaten/kota di NTT hadir. Hari ini adalah harinya NTT
menerima kabar tentang hasil UN tingkat MTs, SMP, SMPTK dan SMP Terbuka. Di
beberapa tahun terakhir suasananya selalu begini. Setia kali menerima kabar
hasil UN pada setiap jenjang, kantor ini selalu sunyi. Ada aroma kesedihan dan
ratapan yang tidak langsung terlihat. Bahasa tubuh adalah saksi dari semuanya
itu. Tarikan nafas panjang yang belum berakhir. Rasa psimis yang belum tuntas
dan niat untuk maju yang berjalan di tempat. Ada apa dengan NTT kita. Ada apa?
Benyamin Lola, M.Pd,
selaku kepala dinas pendidikan Provinsi NTT menyapa para kepala dinas yang
jauh-jauh datang dari daerah dengan nada datar, biasa dan hampir tidak
bergairah. Ada waktu 130 menit terlewati. Mereka (para Kadis) dibiarkan
menunggu. Ada urusan yang harus diselesaikan dan jauh “lebih penting” dari
acara penerima hasil UN ini. Bahasa tubuhnya tampak “lelah”. Beberapa bulan
terpilih menjadi Kadis pendidikan provinsi, akhirnya harus menanggung “dosa”
entah kapan dan siapa penyebabnya sehingga mutu pendidikan NTT tetap begini.
Begitulah seorang Benyamin Lola. Ia tidak akan langsung bernada tinggi, marah,
resah dan gelisah. Tidak juga seperti Pilatus yang langsung “mencuci tangan”
dan segera melempar tanggungjawab dengan mencari “kambing hitam”. Slide powerpoint,
data hasil UN sudah terlihat dan menyala. Menampilkan angka yang memang
meresahkan. Tidak ada angka A atau B. Semunya angka D, dan hanya satu yang
tertulis C.
“Bapa/Ibu Kadis yang saya
hormati. Inilah hasil UN kita tahun ini. Hampir tidak berbeda dari tahun lalu.
Nilai Bahasa Inggris, Matamatika dan IPA semuanya D. Kita dihibur dengan nilai
C dari mata pelaran Bahasa Indoensia. Secara nasional, kita di urutan ke-34.
Beginilah hasil perjuangan kita dan kita harus akui itu. Tugas kita, adalah mencari
akar penyebab semuanya ini. Apakah hasil ini kristalisasi dari mental kerja
kita, metode salah yang guru-guru kita selalu gunakan saat mengajar, ataukah
SDM dari bapa/ibu guru yang masih rendah atau memang kita cenderung bekerja
sendiri dan tidak membangun sinergistas serta kolaborasi dengan seluruh
stakeholders pendidikan. Apakah sarana dan prasarana kita yang masih terbatas
turut memperngaruhi kinerja kita atau sebenarnya ada apa dengan kita.
Pertanyaan ini, bukan untuk mencari tahu siapa yang salah. Ini pertanya
refleksitif untuk kita segera move on (bergerak) bersama”, ujar mantan plt.
Bupati Alor ini.
Tidak ada suara. Yang
terdengar adalah bunyi blis kamera. Memotret angka-angka yang resah. Ada
tanggisan dalam hati. Memandang jauh ke depan. Ke mana generasi ini harus
dibawa. Tiga orang anak memiliki nilai seratus tidak cukup membuat rasa resah
itu hilang. Semuanya memang resah dan seharusnya resah. Ada cerita tentang
pemerintah pusat yang mengalokasikan tiga puluh kursi untuk anak-anak NTT boleh
kuliah ikatan dinas. Dibiayai pemerintah dan nantinya langsung mendapatkan
Nomor Induk Pengawai (NIP). Gubernur NTT, putra Semau itu “merengek”, tolong
dong beri kami jatah lebih. Puji Tuhan dikabulkan. NTT mendapat jatah kursi 60
orang. Namun keresahan dan kekecewaan datang menghampiri. Dari hasil ujia
terbuka, anak-anak NTT hanya lolos sepuluh orang. Artinya, 50 kursi lainnya
yang harus menjadi jatah NTT, harus hilang menebus kata “bodoh”.
Entah mengapa, saat
menulis kisah ini air mataku jatuh. Ada apa dengan NTT kita. Benar bahwa nilai
tidak menajdi ukuran kesuksesan seseorang tetapi beri kami rasa optimis, beri
kami rasa percaya akan cerahnya masa depan NTT. Mengapa yang lain bisa. Mengapa
Provinsi Papua nilainya lebih baik dari kita. Mengapa, mengapa. Apa yang salah.
Katakam saja. Jika ada kepala sekolah yang tidak mampu mungkin sebaiknya
katakan dengan hormat untuk mundur. Kalau ada guru yang tidak profesional,
katakan siap untuk mencari pekerjaan lain. Kalau ada anak yang “lemah” beri
mereka teladan, beri mereka petunjuk, beri mereka kata-kata motivasi untuk
maju. Tolong, jangan politisasikan pendidikan kita. Perhatikan upah guru,
perhatikan sarana dan prasarana kita. Jangan lagi bekerja sendiri. Bangun
komunikasi lintas sektor. Generasi NTT butuh kita. Mereka rindu sebuah pelita
bernyala untuk mereka tetap optimis.
…………………………………………
Hari hampir siang. Di
gedung DPRD anggota komisi V menunggu. Semua kepala sekolah SMA se-kota Kupang
duduk berkumpul dan berpikir terkait Penerimaaan Peserta Dididk Baru (PPDB).
Kadis Benyamin Lola belum beranjak sebelum ia tuntas berbicara. Ada beberapa
hal yang menjadi catatan sekaligus pesan untuk bangkit dan “berubah”. Ada hal
yang perlu disyukuri. Jumlah sekolah peserta UNBK terus meningkat. Untuk
tingkat SMA/SMK, Gubernur telah menginstruksikan agar di tahun 2020, semua
sekolah harus melakukan ujian berbasis komputer. Harapan ini diyakini bisa
tetapi mungkin belum untuk tingkat SMP sederajat. Semua mengeluh tentang
jaringan listrik, sinyal, sarana komputer, server dan beberapa hal teknis
lainnya.
Lebih dari itu, ada satu
hal mengganjal. Urutan hasil Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) terlihat
banyak yang rendah tetapi hasil Ujian Nasional Kerta Pensil (UNKP), angkanya
terlihat besar. Tidak ada yang memperoleh angka 6. Semuanya lebih dari itu.
Bahkan banyak yang mempunyai nilai 9. Tidak bermaksud meragukan apalagi
merendahkan tetapi mungkin baik seperti Rasul Thomas harus ragu. Jika
angka-angka ini benar, sesuai fakta anak NTT hebat, lalu kenapa nilai UNBK
rendah? Kenapa jarak nilai UNBK dan UNKP sangat besar?
“Jika diketahui atau
disadari saja, nilai UNKP tinggi karena “dibantu” pihak lain atau “didongkrak”
mungkin sebaiknya jangan berbuat dosa baru lagi. Kita mungkin lemah dari satu
sisi misalnya daya serap siswa yang lemah, metode mengajar guru yang monoton
atau yang lainnya tetapi tolong jangan buat dosa baru lagi yang akan membuat
karakter buruk. Tidak perlu malu dengan kemapuan anak-anak kita. Akui saja
sambil terus berbenah, berkerasi, bersinergi untuk tampil lebih baik”, tandas
Benyamin Lola.
Aula rapat, dinas
pendidkna Probvinsi NTT terasa panas dalam kondisi Ac yang masih hidup. Bukan
seorang Benyamin Lola jika tidak mampu “mendingikan” suasana. Para kepala dinas
diberi kesempatan berbicara. Menawarkan ide atau strategi jitu agar lebih baik.
Hanya empat orang berbicara. Yang lain memilih diam. Kadis pendidikan Kota
Kupang, Filmon J. Lulupoy, misalnya berbicara tentang pentingya sinegsitas.
Saatnya sekolah harus membuka diri untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja
dengan seluruh stakeholders pendidikan lainnya. Jangan lagi merasa hebat
sendiri. Gong Belajar harus didengungkan lagi. Para guru harus
“diprofesionalkan” dalam banyak bentuk kegiatan peningkatan kapasitas.
Point-nya semua pada sepakat dan siap menerima banyak terobosan baru yang
datang dari pemerintah provinsi sambil membangun koordinasi dengan pemerintah
daerah.
Dari narasi yang diucapkan
Benyamin Lola, Pemerintah Provinsi NTT
kelihatannya “tidak main-main” lagi untuk mendongkrak mutu pendidikan di
daerah ini. Beberapa langkah strategis dibuat. Pertama, perlu dan mendesak
untuk semua merasa memiliki dan siap membangun pendidikan NTT. Hal ini
ditunjukan dengan tanda tangan kinerja. Semua diberi tanggungjawab untuk
bekerja melampaui yang biasa. Kreatifitas, inovasi dan sinegerisitas harus
berbuah pada perubahan yang nyata. Jika
saat evaluasi tiba, katakan “mundur” jika memang tidak mampu. Kedua,
Musyarwarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mutlak dan harus dilaksanakan. Para guru
mata pelajaran harus banyak berdiskusi tentang ragam strategi dan metede
pembelajaran yang baik. Bila perlu datangkan ahlinya dan belajar bersama.
Ketiga, bakal dikeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pentingnya sebuah
sikap untuk mendongkrakkan mutu semisal anak-anak yang tidak mampu, harus tahan
kelas. Regulasi yang “mewajibkan” lulus telah memanjakan generasi menjadi
pribadi bermental instan dan kehilangan daya juang untuk bersaing. Keempat,
bakal bangun sekolah “model” atau apalah istilahnya dari berbagai jejang di
setiap kabupaten di mana delapan standar pendidkan dijalankan dengan baik
sehingga dapat dijadikan rujukan. Tempat sekolah lainnya belajar dan menimba
inspirasi.
Di hari senin ini,
berharap ada komitmen baru tercipta. NTT
harus bangkit dan sejahtera. Syaratnya satu, benahi SDM dengan baik. Tidak ada
istilah lahan tidur. NTT ini memilih Sumber daya Alam (SDA) yang sangat banyak.
Bangunkan manusia NTT yang sudah lama tertidur pulas. Bangunkan daya imajinasi
dan kreatifitasnya. Generasinya harus dibina dan dibentuk menajdi generasi
“karang” yang berakat pada budaya namun tetap terbuka pada kemajuan zaman. Mari
tingkatkan mutu pendidikan NTT untuk maju bersama hebat semua.
Gusty Rikarno, S.Fil – Jurnalis
Media Pendidikan Cakrawala NTT
0 Comments