Tobias Jalang,
S.Fil
Kepala SMAN 3 Poco
Ranaka
Kabupaten Manggarai Timur |
Mengabaikan guru komite dalam
dunia pendidikan ibarat meniadakan sang play
maker dalam permainan bola kaki. Betapa tidak, keberadaannya kerap membawa
polimik bagi pengambil kebijakan namun digandrungi oleh sekolah di saat
ketersediaan guru berstatus Pegawai Negeri Sipil sangat minim. Perkara pun
mulai muncul saat dianalisis: berapa jumlah guru (komite) yang dibutuhkan jika
dilinearkan dengan rombongan belajar (rombel) yang ada dan spesifikasi mata
pelajaran yang dicari menurut jurusan yang dibuka pada sebuah sekolah (SMA)?
Mungkin pertanyaan di atas sangat mudah dijawab bagi
sekolah yang sudah berdiri tiga atau empat tahun ke atas. Namun awan hitam akan
menaungi sekolah yang baru berdiri di bawah usia tersebut. Mengapa? Pertama, sekolah baru cendrung merekrut
guru (komite) yang radius lebih dekat dengan letak sekolah. Asumsi ini tidak
terlepas dari alasan eksklusivitas wilayah bahwa sekolah tersebut didirikan
untuk memperkejakan para sarjana di wilayah tersebut. Selain alasan konyol
bahwa gaji guru dari kampung sendiri bisa dikompromi atau kasarnya lebih murah.
Kedua, tendensi untuk merekrut guru
yang kental dengan nepotisme dan koncoisme tidak terhindarkan. Meski dugaan ini
tidak berlaku masif, namun aroma sangat mudah tercium jika, misalnya, pemberi
hibah tanah dan pimpinan sekolah melakukan kesepakatan terselebung: ‘yang
penting anak Bapak punya ijazah. Ia kami pekerjakan di sekolah ini’. Atau
pihak-pihak yang mengaku berjasa untuk bisa berdirinya sekolah tersebut;
mengharuskan anak atau keluarga bisa mengajar di sekolah itu.
Jika dua poin di atas mata rantainya tidak diputuskan,
maka tiga rangkaian dalam sebuah proses
pendidikan (cf. Rohiat, 2012: 68),
yaitu 1) in put, 2) proses, dan 3) out put untuk mencapai titik terbaik hanya fatamorgana. Pertama, in put. Berdirinya sebuah sekolah (SMP
atau SMA) sangat tergantung pada SD-SD atau SMP-SMP di sekitar SMP atau SMA
yang mau dibangun. Harapannya, semua siswa yang tamatan dari sekolah-sekolah
tersebut mendaftar di sekolah (SMP/SMA) yang dalam wilayah itu juga. Namun mereka
akan enggan mendaftar di sekolah tersebut jika sekolah itu tidak menunjukkan
kualitas dirinya (baik dalam proses maupun dalam out put), program sekolahnya hanya dominan intrakurikuler, dll.
Kedua, proses. Proses pendidikan yang baik lahir dari tenaga pengajar yang
berkualitas. Jika tenaga guru yang direkrut tanpa kriteria yang jelas dan
seleksi yang ketat, maka kualitas guru yang dimiliki pun pasti tidak mampu
menjawabi tujuan pendidikan nasional. Alhasil, proses pembelajaran akan
berjalan stagnan, visi dan misi sekolah sulit terwujud, dan out put yang dihasilkan hanya pananda
bahwa mereka sudah tamat dari SMP/SMA. Mereka tidak memiliki kompetensi yang
mumpuni saat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau saat
berada di tengah masyarakat. Padahal, out
put, sebagai poin ketiga, merupakan barometer bagi pemerintah, masyarakat,
dan dunia kerja untuk mengetahui apakah sekolah tersebut menjalankan proses
pembelajaran, menempa karakter siswanya, mempersiapkan peserta didik untuk
hidup berasyarakat dan dunia kerja.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jacque Delors, seperti yang dikutip Cakrawala
NTT (2016:9), menandaskan dengan tegas bahwa salah satu kunci utama untuk
memperbaiki mutu pendidikan adalah memperbaiki pola rekrutmen (guru komite).
Baginya, jika rekrutmen guru dilakukan secara transpran, akuntibel, dan
objektif maka bukan sebuah kemustahilan kualitas pendidikan sedikit demi
sedikit akan terwujud. Lalu, apakah ke-11.841 orang guru komite SMA se-NTT,
jumlah yang dirilis oleh Dinas Pendidikan Provinsi NTT 2016 (Ibid., 2016:9), direkrut seperti
dihipotesis Delors tersebut? Saya tidak hendak menelisik bagaimana cara masing-masing
sekolah mendapatkan guru komite baru. Bagi saya, hipotesis Delors menyadarkan
saya akan pentingnya pendidikan yang berkualiatas dan semuanya bermuara dari
perekrutan calon guru baru dengan ketat. Karena itu, untuk menghindari
kecendrungan-kecendrungan yang saya sebutkan pada awal tulisan ini; saya coba
men-share apa yang kami lakukan di sekolah
kami saat merekrut seorang guru yang baru.
Tahapan Perekrutan
Kerumitan
penataan tenaga guru (komite) di sekolah negeri menjadi perkara yang tidak
terelakan oleh seorang kepala sekolah saat pergantian secara periodik
dilakukan. Ada dua kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, kepala sekolah
sebelumnya kadang merekrut guru dan/atau tenaga tata usaha tanpa menganalisis
urgensitasnya. Akibatnya adalah terjadi kelebihan tenaga untuk bidang studi
tertentu. Kedua, guru yang direkrut tersebut hanya menyeleksi kelengkapan
administratifnya sedangkan kompetensi spesifikasi bidang yang dibutuhkan atau
penguasaan teknologi informasi/komputer diabaikan. Akibatnya adalah guru tidak
tampil percaya diri saat mengajar, pendekatan pembelajaran dominan yang
konvensional, lemah dalam pemanfaatan media pembelajaran, dan seterusnya.
Untuk
mencegah yang disebutkan di atas, maka (1) formula yang termuat dalam PP 74
Tahun 2008 tentang kebutuhan guru hendaknya menjadi acuan. Dalam PP tersebut
disebutkan bahwa jumlah guru yang dibutuhkan diperoleh dari hasil pembagian
antara Jumlah Jam Tatap Muka (JTM) dengan 24 (jumlah JTM ideal bagi seorang
guru per minggu). JTM sendiri didapat dengan cara mengalikan alokasi waktu per
mata pelajaran dengan jumlah rombel. Jika hasil pembagiannya kemudian berada
pada interval 0,04–1,59, maka cukup satu guru yang mengampuh satu mata pelajaran
tertentu. Atau jika ada pada interval 2,90–3,89, maka guru yang
harus dimiliki sebanyak tiga orang untuk satu mata pelajaran tertentu, dan
seterusnya. Analisis kebutuhan tersebut tentu semakin baik jika (2)
dintegralkan dengan kemampuan keuangan sekolah, ketercapaian target minimal atas
hasil ujian nasional, data hasil penilaian kinerja guru untuk satu semester
atau satu tahun berjalan, dan laporan kekurangan guru kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten/Provinsi.
Jika dua
kriteria itu sudah dijalankan, maka langkah
pertama yang dilakukan adalah mengumumkan secara resmi dengan menggunakan
media-media populer zaman now,
seperti face book, whatsApp, twitter, atau radio tentang
kebutuhan guru. Penting pula memperhatikan detail pengumuman, seperti nama dan
lokasi sekolah, spesifikasi guru yang dibutuhkan, jadwal pengumpulan berkas dan
tahapan seleksi. Selanjutnya, sekolah bisa memperkirakan berapa pelamar yang
akan memasukan lamaran dan berasal dari mana saja mereka dengan melihat berapa
jumlah tanggapan atas pengumuman yang sudah diekspos. Tentu data pelamar yang
paling sahih adalah dari berkas-berkas yang mereka kumpulkan, seperti ijazah
terakhir dan curriculum vitae. Jika
semua data tersebut sudah dikumpulkkan, maka sekolah tinggal mengirim sms atau wa kepada pelamar tentang kapan mereka dites kompetensinya dan
diwawancara.
Langkah kedua adalah
pengujian kompetensi calon guru. Agar testing berjalan lancar, maka materi yang
diuji harus disiapkan dengan baik. Rancangan materi kompetensi yang diberikan
pun sangat tergantung kepada tim seleksi yang dibentuk oleh sekolah sendiri.
Jika sekolah memiliki biaya yang cukup, maka bisa menjalin kerja sama dengan
pihak universitas terdekat. Namun jika tidak, maka para guru yang memiliki
kompetensi bagus, berwawasan luas, tidak memiliki hubungan emosional dengan
pelamar, dan hasil penilaian kinerja minimal berada pada kategori baik; bisa
masuk ke tim penyeleksi. Tim penyeleksi tentu tidak saja bertugas untuk
menyusun soal tetapi kemudian bisa berperan sebagai pewawancara atau pengamat
saat pelamar melakukan peer teaching.
Materi apa
saja yang bisa diberikan saat tes? Hal ini sangat tergantung kepada sekolah
sendiri tentang apa yang diharapkan dari calon guru tersebut. Jika guru ekonomi
yang sudah ada, misalnya, bagus dalam membahas hal teori-teori ekonomi, tetapi
lemah dalam bidang akuntansi; maka yang lebih dominan diuji adalah soal-soal
akutansi. Demikian untuk mata pelajaran lainnya. Intinya, materi ujian harus
memperhatikan: 1) kompetensi yang sangat sulit dikuasi siswa. Asumsinya: siswa
menguasai secara baik sebuah kompetensi sangat tergantung dari cara guru
menjelaskannya. 2) Ekseptasi yang didapatkan sekolah dari calon guru. Misalnya,
peserta didik memiliki kemampuan yang baik dalam menulis dan bersastra maka
calon guru hendaknya memiliki kecakapan (lebih) dalam besastra dan lincah dalam
menulis fiksi atau nonfiksi. Dan 3) kompetensi dasar yang akan diajarkanya
kelak kepada peserta didik.
Setelah langkah
kedua sudah dilakukan, selanjutnya ke langkah
ketiga. Pada langkah ini, calon guru diwawancara. Melalui wawancara, tim
seleksi akan mendapatkan hal-hal yang mungkin belum diperoleh dalam ujian
tertulis. Untuk itu, hal-hal yang bisa ditanyakan kepada calon guru adalah 1) apa
motivasi Anda menjadi guru? 2) Jika Anda pernah menjalankan praktik mengajar
atau pernah menjadi guru, masalah apa yang kerap Anda temukan saat pembelajaran
berlangsung atau di luar jam pembelajaran? 3) Apa solusi yang Anda tawarkan
pada saat itu? 4) Antara gaji dan tuntutan kinerja tinggi, mana yang Anda
prioritaskan? Mengapa? 5) Jika sekolah tidak mampu membayar gaji sesuai dengan
yang Anda inginkan, apakah Anda tetap setia mendidik anak-anak?, dll. Semua
pertanyaan ini hanya sebuah contoh. Tim penyeleksi sekolah bisa menambahnya.
Setelah
diwawancara, langkah keempat adalah melakukan
simulasi mengajar (peer teaching). Simulasi
ini sangat penting untuk untuk merekam kemampuan pelamar dalam mengembangkan
materi seturut model pembelajaran yang ditawarkan, kemampuan dalam mengelolah
kelas, dan kemampuan memanfaatkan media pembelajaran. Untuk itu, RPP menjadi
acuan yang dipakai oleh pelamar dalam simulasi yang dilakukan. Selama calon
guru melakukan simulasi, tim seleksi melakukan observasi menurut rambu-rambu
pada instrumen yang sudah disiapkan sebelumnya.
Dan pada langkah kelima sekolah menginformasikan/
mengumunkan yang dinyatakan sebagai guru baru. Tahapan ini dilakukan setelah
tim seleksi melapor (secara tertulis) semua hasil tahapan yang dilakukan oleh
pelamar kepada kepala sekolah. Lalu, kepala sekolah mengirim abstraksi laporan
tersebut kepada semua pelamar melalui whatsapp,
face book, atau short message service (SMS); selain kepada para guru dan komite
sekolah.
Efek Positif yang Dihasilkan
Tahapan-tahapan
yang dilakukan di atas semuanya bertujuan untuk mendapatkan seorang guru yang
berkualitas. Jika dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, maka hal-hal
positif akan tampak, seperti para guru memiliki rasa percaya diri yang mantap saat
menyajikan materi pembelajaran di kelas dan saat mereka berada dengan teman
guru lainnya. Hal ini terjadi karena ia merasa kompetensinya sudah teruji
secara objektif dan keberadaannya di sekolah tersebut bukan karena ada hubungan
kekeluargaan dengan pihak sekolah.
Jauh dari
itu, di antara para guru terus bersaing untuk meningkatkan kompetensinya. Efek
ini semakin jelas terbaca jika kepala sekolah mewacanakan bahwa para guru
pengasuh mata pelajaran yang diujinasionalkan di kelas dua belas, misalnya,
harus mendapat rerata minimal sebesar 5,00 saat UN. Jika tidak mencapai rerata
tersebut, maka ia harus mengajar di kelas yang sedikit lebih rendah dari kelas XII
dan kelas XII sendiri diampuh oleh guru yang sebelumnya mengajar di kelas XI atau
X.
Tidak saja
itu, persepsi masyarakat, perguruan tinggi dan/atau dunia kerja terhadap out put dari sekolah tersebut cendrung
positif. Mereka akan mengamini segala proses pendidikan yang dilakukan sekolah
karena para alumninya mudah beradaptasi dengan lingkungan kerja, menunjukkan
kualitas akademik dan karakter yang baik saat berada di perguruan tinggi atau
saat hidup bermasyarakat. Semua dampak positif di atas bukan sebuah
kemustahilan segera terwujud di sekolah kita masing-masing jika komitmen kita
mendapatkan guru (komite) dengan pola rekrutmen yang ketat secara
berkesinambungan dilakukan. (*)
0 Comments