Drs. Gerson Hendrik Kitu - Kepala
SMPN 2 Waingapu, Kabupaten
Sumba Timur
|
Konsep
judul di atas saya angkat sebagai bentuk ungkapan hati yang perih menyaksikan
konteks kehidupan persekolahan yang dalam prakteknya kurang “adil”. Maksudnya,
sekolah (guru dan pegawai) seringkali hanya mampu mengadili setiap kesalahan siswa. Misalnya:
(1) siswa terlambat, alpa dan bolos, (2) siswa tidak mengenakan seragam sesuai aturan, (3) siswa merokok, miras,
membawa gambar- gambar porno, dll.
Semua
bentuk pelanggaran tersebut sangat wajar diberi sanksi sesuai tata tertib
sekolah. Akan tetapi hal tersebut tidak
wajar bila sekolah tidak berupaya mengkaji misalnya latar belakang pelanggarannya dan upaya yang dilakukan untuk
mengatasi permasalahan.
Untuk
membantu kita menyikapi kondisi tersebut, saya menawarkan sebuah cermin
refleksi: (1) Apakah seorang guru atau pegawai tidak pernah terlambat, (2) Apakah
seorang guru selalu mengenakan seragam sesuai tata tertib, dan (3) apakah
seorang guru tidak pernah merokok di lingkungan sekolah?
Ada
ungkapan bijak: Jangan membenarkan yang biasa, tapi membiasakan yang benar. Ada
juga: Satu peraga lebih bermakna dari seribu kata. Dari kutipan kata bijak ini,
saya mengajak kita berefleksi, bahwa kebiasaan buruk yang kita lakukan di
sekolah secara sadar maupun tidak sadar akan direkam oleh peserta didik. Suatu saat
mereka akan mempraktekkannya pada saat jam sekolah. Bagi siswa yang pada
dasarnya sudah “madat” akan berupaya untuk meninggalkan lingkungan sekolah
hanya untuk mengisap rokok. Bahkan dia akan mengajak rekan-rekannya yang madat
untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Di sinilah satu alasan timbulnya
peristiwa “bolos”.
Ketidakadilan
di sekolah inilah yang saya gugat untuk
dijadikan “run way” bagi setiap komponen sekolah dan “stake holder.” Konsep “inilah
aku, utuslah mereka” akan terproyeksi dari praktek: siswa tidak boleh terlambat, guru dan pegawai
boleh, siswa harus mengenakan seragam sesuai tata tertib, guru pegawai tidak
harus. Siswa tidak boleh merokok, guru pegawai boleh merokok di lingkungan
sekolah. Bahkan yang lebih radikal, siswa yang hamil dan menghamili dikeluarkan
dari sekolah, sementara ada guru dan atau pegawai yang terlibat dalam berbagai
kasus “seksual”, sekolah tidak mampu berbuat apa-apa. Seolah – olah tata tertib
sekolah bagaikan sebilah pisau yang hanya tajam untuk menyayat kanker
pelanggaran siswa tetapi tumpul dalam menyayat “borok” guru. Peristiwa inilah yang menyebabkan “impotensi” slogan “guru,
digugu dan ditiru.” Lalu diplesetkan menjadi “guru, dimaki dan dihina.”
“Inilah
aku, utuslah aku,” jurus baru guru sukses ini telah saya terapkan di lingkungan
sekolah kami sejak tahun 2012 dengan cara: pertama, Tata tertib sekolah harus
mengatur dan mengikat semua komponen sekolah (dibuat dan disepakati oleh guru,
pegawai, OSIS, komite sekolah dan pemangku kepentingan). Kedua, setiap kesalahan
harus jelas sanksinya dan sanksi tersebut harus dilaksanakan (sanksi diterapkan
dengan metode pendekatan manusiawi).
********baca selengkapnya di Majalah Cakrawala NTT Edisi 56
atau download PDF File Cakrawala NTT Edisi 56
Klik link ini untuk download: CakrawalaNTT56
atau download PDF File Cakrawala NTT Edisi 56
Klik link ini untuk download: CakrawalaNTT56
0 Comments