Kartini yang Menyerah pada
Ringgit
Panggung pementasan tampak
remang. Di atas sebuah meja di tengah panggung, tampak beberapa alat kosmetik.
Di sampingnya ada sebuah kursi. Suasana tampak lengang. Kemudian, terdengar
nyanyian Hymne Guru, “Terpujilah wahai engkau ibu bapa guru, namamu akan selalu
hidup dalam sanubariku…..”. Seorang wanita dengan seragam KORPRI mengenakan
kacamata masuk sambil terus melantunkan Hymne Guru. Bunyi HP wanita tersebut
menghentikan lantunan Hymne Gurunya. Setelah itu, tampak sang wanita yang
adalah seorang guru honorer sibuk berbicara dengan seorang di seberang, mencoba
meyakinkan lawan bicara bahwa dia lebih layak memberikan pidato pada sebuah
acara di sekolahnya karena, menurutnya, pidato sang kepala sekolah tak lebih
sebuah bentuk pemujaan terhadap keberhasilannya membangun sekolah secara fisik.
Adegan itu membuka monolog
Pidato Tujuh Menit yang dibawakan oleh April Artison di taman Dedari, Sikumana,
Kupang, Sabtu (16/7) malam. Pidato Tujuh Menit merupakan monolog yang mengambil
tema Kartini dan pendidikan. Pidato Tujuh Menit mencoba mengangkat realitas
seorang guru honorer yang mengeluh pada kenyataan hidup sebagai seorang guru
honorer yang dibayar seadaya. Dalam adegan tersebut, meski awalnya sempat
bernada optimis dengan mengajak penonton menyadari realitas pendidikan yang
kadang timpang, namun, ketika sang guru honorer mendapat telepon langsung dari
sang kepala sekolah, nada dan kata-katanya menunujukan ketakberdayaannya menghadapi
sang kepala sekolah. Kepasrahaan itu, mencapai klimaksnya ketika sang guru
honorer mendapat tawaran mengajar dari negeri tetangga Malaysia dengan bayaran
5000 ringgit per minggu. Daya tahan dan nasionalisme sang guru akhirnya rubuh
ketika sang penawar, seorang kenalannya, menaikan tawaran dari 1000 ringgit ke
2000, 3000, 4000, dan akhirnya 5000 ringgit.
Bagi sebagian besar kita, ending Pidato Tujuh menit mungkin di
luar harapan. Bahwa sang guru yang sebelumnya begitu ngotot menunjukan sikap
nasionalismenya kemudian harus menyerah pada tawaran yang begitu menggiurkan
dari negeri tetangga. Namun, itulah gambaran kenyataan yang sering terjadi di
sekitar kita. Monolog yang dibawakan dengan cukup baik ini mencoba memberikan
gambaran kehidupan apa adanya, dan membiarkan penonton menemukan sendiri
dirinya, bila berhadapan dengan kenyataan yang demikian. Apakah menyerah atau
tetap berpegang teguh pada pengabdian dan pengorbanan untuk tanah air.
Pidato Tujuh Menit kemudian
diikuti oleh Teater Du’a Buhu Gelo
(Perempuan kentut kemiri) yang dibawakan oleh komunitas sastra Kahe Maumere.
Sebelumnya, ada monolog Perempuan Rembulan yang dibawakan oleh Linda Tagie.
Secara keseluruhan, menurut,
Marsel Robot, dosen Sastra Universitas Nusa Cendana, Kupang, Panggung Perempuan
Biasa merupakan gugatan perempuan terhadap perempuan dan perempuan terhadap
laki-laki. Dalam teater Du’a Buhu Gelo,
perempuan harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah kaum yang berada di
bawah laki-laki, termasuk keputusan untuk mengorbankan seorang perempuan untuk
menyelamatkan desa dari serbuan kera di akhir kisah tersebut.
Sementara itu, menurut Abdi
Keraf, salah satu pelaku seni panggung, akhir kisah sebuah pementasan harus
bisa memberikan pesan kepada penonton. Secara spesifik ia mengatakan, akhir
kisah Pidato Tujuh Menit sungguh di luar dugaannya bahwa sang guru honorer
harus menyerah pada tawaran ringgit dari negeri Sabah Malaysia. Namun, ada juga
pemerhati dan penikmat seni yang mengatakan bahwa sebagai sebuah kisah satiris
atau ironi, kisah monolog Pidato Tujuh Menit memberikan kepada penonton
kebebasan untuk menarik sendiri sikapnya berhadapan dengan potret kehidupan
yang diangkat tersebut.
Pementasan Monolog Perempuan
Biasa menghadirkan sesuatu yang positif bagi keberlangsungan karya-karya
kreatif anak-anak muda NTT. Karena itu, Abdi Keraf mengharapkan agar
kegiatan-kegiatan seperti ini harus dibuat sesering mungkin dalam sebuah siklus
yang teratur sehingga bakat-bakat seni anak-anak NTT bisa terus diasah dan
dikembangkan dengan lebih baik. (ENS)
0 Comments