Cerpen Baunsele
Albert*
Di keheningan malam nan sepi bertabur bintang, di
sebuah bilik sempit dan sederhana penuh kedamaian, sang penyair tengah
memainkan penanya di atas sehelai kertas. Kata demi kata dirangkainya menjadi
satu kesatuan yang utuh penuh makna. Menggoreskan pikiran-pikiran cerdas nan
kreatif. Serasa menyesal seumur hidup bila ditinggalkan, tetapi bila dinikmati
terasa indah di hati dan permai di kalbu.
Sang penyair muda belum beranjak dari tempat
duduknya. Ia tidak mau bekerja setengah hati. Lagi dan lagi, kalimat demi
kalimat dirangkainya dengan kata-kata pilihan. Di hadapannya terbentang ilusi
dan pengalaman sebagai pedomannya. Ia tentu tidak ingin bernyanyi semerdu-merdunya
puteri-puteri kayangan, bila itu tidak ia dendangkan dengan cinta.
Tampaknya sang penyair muda tengah berpikir keras.
Dengan menggunakan sedikit imajinasi, ia mencoba menghadirkan pengalaman-pengalaman
hidupnya yang telah lama terkubur. Setelah beberapa menit menerawang jauh, ia
kembali menulis lagi.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 02.35 WIB.
Pikirannya masih menerawang jauh untuk menghadirkannya secara kreatif dalam
selembar kertas. Saat itu Alrescha teringat akan kawan kecilnya, Any semasa ia
masih kanak-kanak dulu. Mereka sangat akrab bahkan tak dapat terpisahkan lagi.
Yang satu akan menangis kepada ibunya bila sehari saja ia tidak melihat dan
bermain bersama kawannya.
Setiap hari mereka menghabiskan waktu dengan bermain
bersama. Tempat bermain yang paling disenangi oleh mereka berdua adalah di
pantai, yang jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Membuat gundukan menyerupai
gunung, jembatan dan rumah-rumahan dengan pasir adalah jenis permainan kesukaan
mereka. Terkadang mereka lupa untuk makan karena terlalu asyik bermain. Di
tengah hamparan pasir putih nan luas dan di bawah rimbunan pohan lontar yang
sejuk itulah mereka menghabiskan masa kanak-kanak mereka.
Bulan berlalu dan tahun pun berganti. Usia mereka
pun semakin hari semakin bertambah. Itu berarti bahwa mereka harus meninggalkan
masa kanak-kanaknya dan memasuki masa sekolah. Ketika genap berusia enam tahun,
mereka berdua akhirnya didaftarkan bersama oleh kedua orang tua mereka pada
sebuah Sekolah Dasar Negeri terdekat. Setiap pagi dan siang, mereka harus
diantar dan dijemput oleh kedua orang tua mereka. Akan tetapi, ketika mereka
sudah duduk di bangku kelas II SD, mereka sudah bisa pergi dan pulang tanpa
dijemput. Mereka tampak senang dan bahagia di kala bersama.
Enam tahun telah berlalu, mereka berdua akhirnya
menyelesaikan bangku SD dengan baik. Mereka lulus dengan hasil yang
membanggakan. Orang tua mereka juga ikut senang dan bahagia melihat kesuksesan
keduanya. Kini tiba saatnya bagi mereka untuk meninggalkan seragam putih merah
dan siap mengenakan seragam putih biru. Mereka juga harus siap dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, kawan baru, suasana baru dan
segalanya. Akhirnya, masa SMP pun mereka lalui dengan mulus dan mantap tanpa
tantangan yang berarti. Semuanya berjalan dengan lancar termasuk hubungan
sebagai kawan di antara mereka.
Hubungan sebagai kawan antara Alrescha dan Any
semakin hari semakin akrab ketika mereka sudah duduk di bangku Sekolah menengah
Atas (SMA). Ke sekolah, perpustakaan, ke danau telaga biru dan ke Mall atau
Lippo bahkan Transmart sekalipun mereka selalu bersama.
Suatu saat, ketika mereka sedang menikmati minuman
segar dan udara sejuk di sebuah sudut taman rekreasi, entah mengapa mata mereka
tiba-tiba saling berpapasan. Sebuah tatapan yang sungguh berbeda dari yang
biasanya. Suasana yang ramai penuh canda, tiba-tiba berubah menjadi bisu.
Kebisuan itu terjadi oleh karena satu tatapan yang tak terhindarkan itu.
“Eh, habiskan minumnya kak, sudah jam 16.45 ini,” kata
Any menyadarkan Alrescha dari lamunannya.
“Oh iya, dik,” jawab Alrescha dengan nada sedikit gugup.
Entah mengapa, Alrescha tiba-tiba merasakan sesuatu
yang berbeda di hatinya. Apakah aku jatuh
cinta kepada Any yang telah aku anggap sebagai adikku sendiri? Apakah Any akan
marah bila aku mengungungkapkan perasaan ini kepadanya? Ataukah ia juga
merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan saat ini? Tanya Alrescha
dalam hatinya.
Aku yakin ada
benih-benih cinta dan sayang itu di antara hatiku dan hatimu Any. Kita tidak
bisa membohongi diri kita sendiri. Itu tampak dari kejadian yang baru saja
terjadi. Suatu tatapan yang penuh makna. Mungkin sekarang bukanlah waktu yang
tepat bagiku untuk mengatakannya. Pikir Alrescha
meyakinkan dirinya.
Hari berikutnya setelah pulang sekolah, Alrescha
mengajak Any untuk menemuinya di bangku taman di bawah pohon besar di pinggir
danau telaga biru. Tempat itu adalah tempat penuh kenangan. Alrescha dan Any
biasanya ke sini tatkala satu di antara mereka lagi sedih ataupun gembira. Di
tempat inilah mereka saling berbagi,
baik suka maupun duka. Di tempat ini jugalah Alrescha meminta Any untuk
menemuinya jam 15.00 WIB nanti sore.
Waktu berlalu begitu cepat. Akhirnya, jam yang telah
disepakati bersama tinggal beberapa menit lagi. Any buru-buru karena ia tak mau
mengecewakan Alrescha. Namun rupanya, Alrescha belum tiba di taman itu ketika
Any tiba. Alrescha muncul setelah Any menunggu hampir sepuluh menit.
“Any!” seru Alrescha ketika melihat Any yang gelisah
mencari-cari sesuatu. Any berpaling ke arah datangnya suara. Any tersenyum
ketika melihat Alrescha datang.
“Sudah lama menunggu?” tanya Alrescha.
“Ah, tidak. Setelah mengerjakan PR aku langsung
kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku.”
“Nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku,”
sahut Alrescha sambil tersenyum.
“Ah, tidak apa-apa kok,” balas Any.
Alrescha mengambil tempat duduk tepat di samping
Any. Memang bangku yang tersedia hanya untuk dua orang. Di bawah pohon besar
yang rindang dan pemandangan alam di sekitar danau yang indah menjadikan
suasana semakin akrab. Keduanya pun ngobrol diselingi canda Any yang penuh daya
pikat tersendiri.
“Any!” Alrescha
memecah kesunyian di antara mereka.
“Ya?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Untuk itulah
aku mengajakmu ke sini.”
“Tentang apa?”
“Tapi aku takut kamu marah padaku, aku tidak mau
hubungan kita sebagai kawan yang telah bertahun-tahun kita bina bersama menjadi
rusak oleh karena satu hal ini.”
“Tentang apa Alrescha, aku tidak marah kok,” kata
Any meyakinkan hati Alrescha.
“Tapi kamu harus janji padaku. Kamu harus janji
bahwa kamu tidak akan marah jika aku mengatakannya padamu.”
“Oke Alrescha, aku janji. Pohon besar dan danau
telaga biru inilah yang menjadi saksinya.”
“Aku mencintaimu Any,” ungkap Alrescha dengan suara
agak serak.
“Kamu serius?” tanya Any dengan suara sedikit
gemetar.
“Ya, aku serius. Aku mencintaimu. Aku ingin kamu
menjadi kawan dan milikku selamanya. Aku tidak mau kamu akhirnya menjadi milik
orang lain. Kamu mau, kan?” tanya Alrescha.
“Alrescha, sesungguhnya aku juga merasakan hal yang
sama seperti yang kamu rasakan. Tetapi tidak mungkin aku yang mendahuluinya.
Aku sadar bahwa kamu bahkan telah menganggapku sebagai adik kandungmu sendiri.
Tetapi, aku tidak bisa menahan rasa ini. Aku ingin hubungan kita menjadi jelas
seperti apa yang kamu inginkan saat ini. Apa yang menjadi inginmu adalah
inginku juga, dan apa yang menjadi harapanmu, itu juga harapanku. Aku juga
mencintaimu Alrescha.”
“Aku benar-benar merasa bahagia saat ini,” kata
Alrescha kepada Any.
“Kenapa?”
“Karena akhirnya aku benar-benar mendapatkan bintang
yang selama ini ku jaga.”
“Aku juga”
“Kenapa?”
“Karena akhirnya aku pun seutuhnya mendapatkan
matahari kehidupan yang selama ini menyinariku. Yang jelas, selama
bertahun-tahun kita bersama, tidak sesaat pun aku melupakanmu.”
“Aku juga,”
balas Alrescha dengan perasaan senang.
Akhirnya, hubungan sebagai kawan yang telah
bertahun-tahun dibina oleh Alrescha dan Any dimeteraikan di atas hamparan
danau telaga biru nan luas membentang. Danau telaga biru menjadi saksi bisu
kisah cinta ini.
Jam Backer tiba-tiba berdering. Ternyata waktu telah
menunjukkan pukul 03.00 WIB. Kisah cinta dan hubungan sebagai kawan yang tidak
akan pernah terlupakan itu akhirnya harus berakhir di sini. Sang penyair muda
akhirnya menutup kisahnya dengan rasa puas. Terima kasih kawanku, terima kasih
sayangku.
*Jurnalis Media
Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT
(red)
0 Comments