Jakarta, CAKRAWALANTT.COM – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, merefleksi kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan persiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang menjadi terobosan di masa pandemi. Hal tersebut ia sampaikan pada Dialog Vaksin Untuk Indonesia - Pandemi Tak Memupus Mimpi yang digelar Metro TV, bersama grup musik Slank, Jumat (30/4/2021).
Dalam kesempatan tersebut, Mendikbudristek mengatakan, kebijakan PJJ membuat
banyak orang tua menyadari pentingnya peran mereka dalam pendidikan anak.
Kesadaran ini memaksa orang tua untuk terlibat di pendidikan anak dan guru juga
punya kesadaran baru bahwa orang tua adalah mitra pendukung pendidikan anak.
“Orang tua sadar dirinya harus belajar jadi guru di rumah,” jelasnya.
Diakuinya, banyak pihak masih khawatir akan risiko PTM yang akan dilakukan di
tahun ajaran baru 2021. Namun dengan peraturan vaksin diprioritaskan (untuk
para guru), Nadiem merasa sudah waktunya pembelajaran kembali ke sekolah.
Menurut dia, tidak ada solusi lain selain anak-anak harus mulai berinteraksi
lagi.
Di sisi lain, Menteri Nadiem menekankan bahwa orang tua memiliki hak mutlak
menentukan apakah anaknya sudah boleh ikut sekolah tatap muka. Tetapi sekolah,
tuturnya, wajib menyediakan opsi tatap muka. “Itu hak prerogatif orang tua
untuk memilih anaknya mau PTM atau PJJ,” tegas Mendikbudristek.
Dimintai pendapatnya oleh Slank tentang banyaknya peserta didik yang mengaku
rindu pada guru dan teman-teman di sekolah, Mendikbudristek mengatakan, inilah
alasan untuk mendukung anak-anak kembali tatap muka dan inilah mengapa pihaknya
mendorong guru-guru diprioritaskan untuk divaksinasi. Maka, aturan barunya
adalah ketika guru-guru sudah divaksinasi, sekolah wajib memberikan opsi tatap
muka.
“Alhamdulillah, kita dapat dukungan Pak Presiden untuk prioritas
vaksinasi guru. Jadi dari alokasi pejabat pemerintah, guru jadi yang terpenting
agar kita bisa segera PTM. Targetnya, di Bulan Agustus di mana kita sudah masuk
tahun ajaran yang baru, semua sekolah itu sudah menyediakan opsi tatap muka,”
jelas Mendikbudristek.
Akhadi Wira Satriaji atau yang lebih akrab disapa Kaka Slank, mengajak
masyarakat untuk lebih peduli pada pendidikan anak-anak di Indonesia. Kaka
menyebut, ada risiko banyak anak terancam putus sekolah akibat pandemi. “Kami
ajak semuanya menyelamatkan anak-anak bangsa yang terancam putus sekolah dengan
berdonasi,” ajaknya.
Transisi Menuju Tatap Muka
Mohammad Ridwan Hafiedz atau Ridho Slank bercerita bahwa anaknya diberi
kuisioner dari sekolah, yang berisi pertanyaan kesediaan untuk pembelajaran
tatap muka. Ridho mengakui anaknya sangat ingin untuk kembali ke sekolah.
Berbeda dengan Ridho, Bimo Setiawan Almachzumi atau akrab disapa Bimbim Slank,
mengaku putrinya di rumah mengaku belum berani tatap muka walau enggan juga
sekolah daring.
Menjawab hal tersebut, Mendikbudristek mengungkapkan hasil dari berbagai survei
yang dihimpun maupun yang dilakukan Kemendikbudristek. Ia menyebut, mayoritas
peserta didik dan orang tua sudah ingin tatap muka. “Hampir 80 persen sudah
ingin tatap muka. Karena juga sudah lebih percaya diri dengan protokol
kesehatan,” jelasnya.
Dalam hangatnya perbincangan yang dilakukan Menteri Nadiem dan Slank ini, salah
satu orang tua peserta didik, Senny, bertanya tentang transisi menuju PTM. Ia
mengaku senang dengan rencana transisi menuju PTM tapi tetap ada kekhawatiran
yang dirasakan. “Anak saya kelas 3 SD, dan kami senang sekali (dengan rencana
PTM), tapi kekhawatiran itu tetap ada. Kegalauan ibu-ibu umumnya adalah jaminan
yang bisa diberikan agar kita rela dan ikhlas melepas anak-anak? Karena kita
tahu anak-anak tidak seperti kita menjaga protokol kesehatan. Bagaimana
mengatasinya, Mas Menteri?” tutur Senny.
Mendengar pertanyaan tersebut, Menteri Nadiem menjawab bahwa dirinya tidak bisa
memberikan jaminan. Tetapi yang harus diingat dan yang terpenting, tuturnya,
keputusan itu ada di masing-masing orang tua. “Itu dulu dipegang. Tiap orang
tua mengenal anaknya dan punya level risiko tersendiri. Hak memutuskan anak
kembali ke sekolah secara tatap muka atau masih PJJ saja, ada di orang tua.
Sekolah tidak boleh memaksa, itu hak orang tua,” tegas Mendikbudristek lagi.
Alasan kedua, lanjut Mendikbudristek, berjalannya vaksinasi guru-guru
meringankan beban transisi ini. Selain itu, semua orang tua berhak datang
langsung, memonitor, dan bergerak melihat ke sekolah, dan ikut memastikan bahwa
protokol kesehatan benar terjadi. Ia menyebut, peran orang tua dalam kesuksesan
PTM ini sangat penting. Tentunya ada peran kementerian terkait, dinas
kesehatan, dan pihak sekolah. Kementerian Kesehatan pun telah membuat protokol
kesehatan yang sangat ketat. “Namun, akhirnya kembali kepada keputusan Ibu
sendiri untuk memilih apakah anak sudah boleh mengikuti tatap muka,” terang
Mendikbudristek.
Selain Senny, Mendikbudristek juga mendengar pendapat orang tua peserta didik
PAUD dan SD, Anastasya. Lewat sambungan telepon, Anastasya mengungkapkan bahwa
kedua anaknya memang ingin kembali ke sekolah. Ada kerinduan untuk dapat
bermain dengan teman-teman. Namun, yang ia khawatirkan adalah anak-anak SD yang
mungkin belum paham betul protokol kesehatan. “Kalau anak SMP dan SMA mungkin
sudah mengerti protokol kesehatan. Tapi, kalau anak-anak di bawah kelas 3
SD, ada kemungkinan bersentuhan dengan teman di sekolah. Ibu-ibu sudah ingin
anaknya sekolah semua. Tapi bagaimana jika lingkungannya masih zona merah?”
tanyanya.
Menjawab hal tersebut, Menteri Nadiem menjelaskan bahwa masing-masing sekolah
akan melalui polanya sendiri. Ada sekolah yang mau buka cuma dua kali seminggu,
ada yang bergiliran pagi dan sore. Masing-masing sekolah akan menentukan cara
rotasinya, dan sistem itu tergantung kebutuhan masing-masing anak dan orang tua
di lingkungan. “Yang penting, karena aturan mainnya hanya boleh 50 persen
kapasitas di sekolah, mau tidak mau akan jadi hibrida,” jelasnya.
Rekomendasi kedua, lanjut Mendikbudristek, adalah orang tua disarankan langsung
mengamati sendiri ke sekolah. Misalnya, tatap muka hari pertama, orang tua
tidak mau kirim anak ke sekolah, tidak apa-apa. Orang tua bisa dating dulu ke
sekolah, memonitor bagaimana protokol kesehatan dan pembelajaran dijalankan.
Hari kedua, mungkin orang tua lebih yakin dengan anak yang lebih disiplin lalu
memutuskan tidak apa-apa anaknya pergi ke sekolah. “Kalau anak yang Ibu belum
yakin, tidak apa-apa masih PJJ. Ibu harus mengambil inisiasi sendiri. Pastinya,
hak prerogatif bagi Ibu dan semua orang tua, di mana mau mengambil risiko
tersebut. Tugas kami di pemerintahan adalah memastikan protokol kesehatan yang
paling ketat menjadi aturan main,” ungkapnya.
Transformasi Digital Indonesia Timur
Diminta pendapat tentang pendidikan, khususnya di Indonesia Timur,
Mendikbudristek menyatakan bahwa menutup jurang kesenjangan menjadi prioritas
kebijakan yang ia ambil, termasuk di bidang teknologi. “Alhamdulillah, kerja
sama dengan Pak Menkominfo, jaringan-jaringan sekolah menjadi prioritas, untuk
menutup kesenjangan yang tidak ada internet,” ujarnya. Namun, peran guru,
tambah Mendikbudristek, adalah yang terpenting.
“Bagaimana kita bisa memastikan guru-guru dan sekolah-sekolah penggerak kita
terdistribusi secara rata, dan harus ada insentif bagi guru2 terhebat ini,
apalagi yang mengajar di tempat-tempat paling sulit dan pelosok,” kata
Mendikbudristek.
Terkait transformasi di Indonesia Timur, seorang guru di Desa Gaura, Kecamatan
Laboya Barat, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan dirinya
juga telah divaksinasi di puskesmas desa. Ia pun bertanya pada Mendikbudristek
tentang pendidikan karakter. “Bagaimana agar ada gebrakan kurikulum untuk
membuat siswa lebih bermoral? Sejak era digital ini, moral siswa banyak yang
makin hilang dengan berbagai aplikasi modern,” ungkap Solihin yang bertanya
secara virtual.
Mendikbudristek memastikan bahwa pendidikan moral bukan hanya soal penguatan
kurikulum, walau hal tersebut selalu berjalan sesuai arahan Presiden Joko
Widodo terkait penyederhanaan dan penyempurnaan kurikulum. “Tapi yang penting
adalah bagaimana anak-anak belajar. Kalau selama ini anak-anak hanya belajar
satu arah, bagaimana mereka bisa mengembangkan karakter Pelajar Pancasila?
Anak-anak kita harus berpindah ke cara belajar dengan mengerjakan berbagai
proyek sosial dan kemanusiaan. Itulah cara mereka belajar Pancasila, dengan
kolaborasi dan implementasi di lingkungannya,” jelas Mendikbudristek. Dirinya
meyakini, bahwa project based learning (PBL) akan menjadi
transformasi pola belajar yang penting, dengan aspek-aspek partisipasi,
berdasarkan kerja sama kelompok, dan hasil karya yang nyata. “Dari situ,
anak-anak akan siap di dunia perubahan yang penuh disrupsi teknologi,”
tutupnya.
Sumber: kemdikbud.go.id
0 Comments