Presiden
Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang
“Noy,
kita akan segera mendirikan Sekolah Kehidupan itu. Sekolah Kehidupan Likurai.
Sekolah bagi anak-anak Malaka.”
Saya
mempunyai hobi yang aneh. Selalu menonton film kesukaan minimal dua kali.
Kebanyakan orang satu kali saja. Itu mereka sudah paham. Atau lekas paham. Atau
paksa untuk paham. Hobi yang aneh ini juga berlaku untuk kesukaan-kesukaan
lainnya. Semisal membaca buku, entah novel, puisi, cerita, majalah, koran, dan
lain sebagainya. Ini juga tentunya berlaku untuk kesukaan mendengarkan lagu.
Tentunya ini bukan berlaku untuk saya saja. Semua kita yang sempat membaca
tulisan ini tentunya sepaham dan sependapat. Mengapa? Tentunya itu akan membawa
banyak manfaat. Selain sebagai media hiburan, lagu juga punya banyak pesan yang
bisa menginterpretasi setiap kebutuhan kita, baik kebutuhan social, politik,
ekonomi, sampai pada kebutuhan (keutuhan) spiritual.
Selepas
petang hari ini, ketika membaca kembali novel “Likurai Untuk Sang Mempelai”
(dan “Seperti Benenai, Cintaku Terus Mengalir Untukmu”) karya Robert Fahik,
sastrawan ‘’A Minor” yang selalu bergerak dalam kesunyian itu, saya menemukan
kembali beberapa interpretasi untuk mencoba mulai “mengaransemen” kembali
refleksi saya tentang novel ini. Hal ini pun tidak sama dengan
kesukaan-kesukaan saya di atas tadi. Ketika kesukaan saya mengaransemen sebuah
lagu, saya tidak akan pernah suka pada aransemen yang sudah dibuat. Walau kata
orang itu bagus, indah, haru, keren, mantap, apalah, entahlah.
Sendratari Likurai & Sekolah
Kematian
Tidak
pernah terlintas tentunya, orang-orang, pemerintah, masyarakat, tokoh adat,
tokoh agama, tokoh politik, saya, anda, kamu, kita, untuk mempunyai ide
menamakan sebuah lembaga pendidikan dengan nama Sekolah Kematian A misalnya.
Atau Sekolah Kematian C. Atau sekolah Kematian Pisang. Atau pun lainnya. Secara
rasa, pasti kita “geli” berbicara kematian, apalagi merencanakannya, atau pun
merindukannya.
Dalam
novel yang “merdu” ini, R. Fahik mencoba menjadi seorang Produser Sendratari
yang memilih frasa Likurai sebagai judul “karya pementasannya”. Sebuah karya
yang sukses menyuguhkan durasi pementasan sepanjang 115 halaman. Berusaha membisik
kuat ke segala hati untuk segera melihat pementasan yang berlatar sawah,
sungai, laut, hutan, langit, air, mata air, air mata, dan juga budaya estetik
Malaka. Indah. Merdu. Lirih. Tenang. Senang.
Sebuah
suguhan Sendaratari tentunya bukan main proses pengerjannya. Seorang produser
harus jeli melihat pesan apa di balik karyanya. Ia mesti menggarap naskahnya,
tentunya dengan membaca berbagai literatur atau sumber sejarah, budaya, alam,
geografi, hingga kebudayaannya. Setelah membaca, ia mesti berani melakukan satu
interpretasi baru yang tentunya tidak akan hilang pemaknaan aslinya. Ia juga berani
menjadi koreografer, sekurang-kurangnya memilih para koreografer yang paham
budaya dan adat istiadat setempat. Ia mesti memahami tiap karakter para penari,
agar dapat memberi masukan kepada koreografer, ataupun evaluasi akhir setelah
latihan bahkan pementasan. Ia juga mesti pandai merancang suasana musik apa
yang mesti dibunyikan untuk menemani proses pementasan karya tersebut. Musik,
tari, panggung, lampoon property yang
juga harus “mampu berdialog” sesuai amanat sebuah sajian Sendaratari.
Sebagian
proses di atas telah dilalui oleh R. Fahik. Ia memilih judul pementasannya, “Likurai”.
Sebuah karya seni dan budaya Malaka, dalam wujud tarian mistik dengan bunyian Biblikiu, ditemani denting ritme bunyi
musik “homofon” yang mungkin berasal dari nyanyian para leluhur di Uma Kakaluk yang tentunya selalu
menawarkan musik-musik mistik penuh kedamaian. Dentingan ritme itu sesungguhnya
yang menjadi pemimpin dalam tarian Likurai itu, yakni bagaimana para penari
satu rasa dalam Solfegio; yakni mendengar, memahami, dan memadukan
bunyi-bunyian dengan kompak.
“Noy,
kita akan segera mendirikan Sekolah Kehidupan itu. Sekolah Kehidupan Likurai.
Sekolah bagi anak-anak Malaka.”
Dalam
pesan reflektif yang tersirat atau pun tersurat dalam novel ini, jelas
membentuk satu sudut runcing, bahwa R. Fahik, Aku, Noy, Nahak, Akeu, Seran,
Bakri, Paulus, Intan, saya, kau, kamu, kita, mereka, dan pemerintah, dan
politisi, dan pastor, dan pendeta, dan ustad, tentu akan sepaham dan sepakat
bahwa sebuah Sekolah Kehidupan mesti harus ada di tengah masyarakat. Sekolah
Kehidupan yang tanpa atap, tanpa dinding, tanpa meja, tanpa papan tulis, tanpa
bendera, yang ada hanyalah keindahan, kebaikan – bonum commune, keceriaan, kecintaan, dan ketulusan untuk membangun
tujuan bersama.
Sekolah
Kehidupan Likurai yang didambakan oleh tokoh Aku dan Noy ternyata menimbulkan
tantangan di kemudian hari. Hal ini pun senada dengan kisah-kisah intimidasi
yang dialami tokoh Aku, bahwa tak perlu gagah-gagahan ke sana kemari untuk
bikin kebaikan. Toh calon pemimpin Malaka sudah ada. Untuk apa sibuk atau mau
cari sensasi?
Alur
kisah intimidasi ini senada dengan pengalaman saya ketika dalam satu
kesempatan, bersama Komunitas Secangkir Kopi Kupang melakukan tour literasi pendidikan ke salah satu
daerah di Malaka, Oevetnai. Saat itu ada kasus pemerintah daerah ingin menutup
sebuah sekolah yang ketahuan seorang guru SM3-T mengunggah foto anak-anak SD memperbaiki atap sekolah
mereka yang bocor dengan daun Gewang. Dan kami saat itu, anggota komunitas ingin
melakukan perjalanan Sekolah Kehidupan. Apa yang kami dapat? Intimidasi,
intervensi, dan nyaris nyawa taruhannya apabila kami melawan atau ada yang “menunggangi
kami”. Dan akhirnya kami bermalam di sebuah Pos Polsek yang katanya mau
mengamankan kami. Padahal itu masih bagian dari intimidasi dan intervensi.
“Kabar
anginnya”, mereka-mereka itu, orang-orang yang lakukan intimidasi adalah
suruhan orang-orang tertentu yang katanya adalah penguasa daerah itu. Entah
penguasa itu pemerintah, atau kah pemain proyek, atau kah lawan politik, kami
pun tidak tahu, dan tidak mau tau.
Ketika
terus seperti ini, Sendratari Likurai dalam perjalanan Sekolah Kehidupan
Likurai yang didambakan tokoh Aku dalam Novel ini tidak mungkin bisa “didirikan”.
Bahkan, pilunya, sekolah-sekolah kehidupan itu akan berganti nama menjadi
Sekolah Kematian Nurani. Gelap. Pilu. Sepi. Hitam.
Akhirnya,
novel ini (dan dua novel lainnya) sebaiknya dibaca oleh pemimpin-pemimpin
Malaka saat ini. Apalagi rakyat berhasil “mengalahkan” partai politik dalam
PILKADA kemarin, dimana pemimpin baru telah lahir untuk Malaka; yang mungkin
akan kembali menggunakan Badut Malaka
untuk menerangi tiap kuburan kehidupan yang mati akibat Sekolah Kematian
Nurani.
R. Fahik telah menawarkan segalanya dalam novel ini. Karya ini adalah sebuah sajian Sendratari yang mesti dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Malaka, juga masyarakat lainnya di NTT, atau pun di daerah lain di Indonesia. Para pemimpin semisal di Manggarai, Ngada, Maumere, Lembata, Bandung, Jakarta, Pontianak, atau pun di daerah lainnya bisa mengambil strategi membangun daerah dari perspektif novel ini.
Akhirnya, tak ada yang kebetulan di atas muka bumi ini. Mari kita terus berjuang bersama, sampai puisi kehilangan bunyi dan musik kehilangan kata.
Foto: Dokumentasi Redaksi
Editor: R. Fahik/ red
1 Comments
Trailer Terbaru Godzilla Vs Kong Masih Hadirkan Perseteruan Kedua Monster Raksasa!
ReplyDelete