Flores Timur, CAKRAWALANTT.COM – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Flores Timur menggelar Bincang Edukatif secara virtual, Jumat (5/2/2021). Dalam kegiatan tersebut panitia menghadirkan dua aktivis pendidikan kelas internasional yakni, Butet Manurung, aktivis pendidikan yang berbicara dari Australia, dan Fadilla M. Apristawijaya, M.A., yang kini sedang menempuh Program Doktoral di Universitas Oulu Finlandia. Duet aktivis pendidikan ini menghadirkan kisah seputar praktik baik pendidikan melalui ruang zoom meeting dengan topik “Semesta Sebagai Sumber Belajar” (Membangun Motivasi dan Kreativitas Pembelajaran di Tengah Covid-19).
Acara
yang dipandu secara teknis oleh host,
Yan Surachman ini selain melibatkan para guru di Kabupaten Flores Timur, juga
menghadirkan Pengurus PGRI NTT, Kepala Kantor Bahasa NTT, LPMP NTT, Pemimpin
Umum dan Pemimpin Redaksi Media Pendidikan Cakrawala NTT, Pimpinan Perguruan
Tinggi, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Flores Timur, Koordinator Pengawas
Dikdas Flores Timur, Kepala Sekolah Guru, Dosen dan Pegiat Literasi dari luar
Flores Timur. Bahkan, peserta yang ikut kegiatan, termasuk dari Malaysia,
Filipina dan Amerika Serikat. Sementara bertindak sebagai moderator yakni, Maksimus
Masan Kian, Ketua PGRI Flores Timur.
Susan
Seno, S.Pd., Pengurus PGRI Provinsi NTT, dalam sambutan pembukaan menyampaikan
apresiasi kepada Pengurus PGRI Flores yang memiliki terobosan terobosan cepat,
edukatif, inspiratif dan memberikan manfaat bagi guru.
“Sebagai
Pengurus PGRI Propinsi NTT, kami bangga dan memberikan apresiasi kepada
Pengurus PGRI Kabupaten Flores Timur yang bergerak cepat dengan terobosan baru
yang bermanfaat. Memang, saat ini kita sedang dilanda virus Covid-19 di mana
semua dalam kondisi serba sulit, akan tetapi tidak menjadi penghalang dalam
berbagi. Ruang zoom meeting sangat bermanfaat, jika diefektifkan,” kata Susan.
Butet Manurung
Butet
Manurung mendapatkan kesempatan pertama memaparkan materinya. Pemilik nama
lengkap Saur Marlina Manurung ini, pada bagian awal langsung memberikan
pernyataan refeleksi. “Apakah tujuan pendidikan Indonesia? Memenuhi tantangan
global kita? Apakah itu sama dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai
masyarakat di desa tempat kita mengajar? Menurut Butet Manurung, kita mesti
belajar dari masalah. Kebanyakan masyarakat adat dan pedalaman melihat pendidikan
sebagai alat untuk memecahkan masalah mereka dengan tetap menjunjung adat
istiadat. Cinta kampung halaman. Bukan untuk meraih gelar tinggi dan mendapat
gaji yang besar.
Penerima
penghargaan Ramon Magsaysai di Filipina ini, mengatakan, literasi dasar bukan
tentang melek huruf tetapi melek masalah. Apakah kita sudah mengenal baik murid
kita? Apa yang menjadi permasalahannya? Apakah yang kita ajarkan bermanfaat
masalah itu? Atau tidak berhubungan sama sekali? Mengapa?
Lalu
bagaimana dengan literasi terapan? Di Rimba, menurut Butet Manurung,
pengetahuan internal diajarkan oleh para tetua adat, sementara pengetahuan
eksternal, hanya belajar hal yang dibutuhkan. Proses pembelajaran di rimba,
kata Butet, mereka menggunakan metode hadap masalah dan dimulai dari belajar.
Sebelum
menutup materinya yang sangat menyedot perhatian peserta, Pendiri Sokola Rimba
ini mengatakan, kita engan belajar dari Nenek Moyang kita. Dari tahun ke tahun,
pengetahuan dan kecakapan hilang. Tergantikan dengan pengetahuan dari barat
yang tidak dapat digunakan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari.
Sebagai
penutup dalam pemaparan materinya, Butet Manurung kembali menyodorkan refleksi
antara Pendidikan formal dan pendidikan tradisional. “Apakah kita harus
memilih? Tidak bolehkah menjawab tantangan global sekaligus juga dapat memenuhi
tuntuan lokal? Adakah hubungannya semakin tinggi pendidikan formal seseorang,
makin rendah pula pengetahuan lokalnya? Mungkinkah kecakapan berjalan
beriringan dengan pendidikan formal?
Fadilla M. Apristawijaya
Narasumber
berikut yang tidak kalah hebatnya yakni, Fadilla M. Apristawijaya. Ia meramu
khusus materinya dengan judul “Problem Posing Education” (Pendidikan Hadap
Masalah). Dilla memulainya dengan mengatakan, defenisi pendidikan adalah,
merespon masalah kehidupan yang nyata.Selain itu, pendidikan harus
memanusiakan.
Dalam
paparannya, Dilla mengutip beberapa pernyataan inspiratif diantaranya, seorang
murid bukan obyek yang harus diubah dan sebuah gelas kosong yang harua diisi.
Menjadi seorang pendidik yang baik adalah seseorang yang punya keyakinan
terhadap kemanusiaan; yakin bahwa setiap manusia mampu mencipta dan mengubah
keadaab dan duniannya.
Menurut
Fadilla, pendidikan berbasis masalah dalam praktiknya, harus membangun
kolaborasi antar guru, menggunakan alat ikur yang terbuka, dukungan dan
komitmen dari Kepala Sekolah dan membangun mitra dengan masyarakat dan
komponenya, tidak hanya orang tua.
Masih
menurut Fadilla, hadirnya sekolah, harus untuk kehidupan. Dan mesti dicapai
dengan pendekatan dialogis. Butuh keperpihakan sekolah untuk kehidupan.
Kurikulum, pendidik dan proses harus dialogis. Ada beberapa sikap yang dimiliki
untuk bagaimana bisa membangun dialogis yakni, sikap membumi, kasih, keyakinan
pada keberdayaan komunitas dan kritis.
Egidius
Demon Lema, Wakil Ketua PGRI Flores Timur dalam sambutan penutupnya menyampaikan
terima kasih kepada dua narasumber yang hebat Butet Manurung dan Fadilla M
Apristawijaya, juga para peserta.
“Mewakili
segenap Pengurus PGRI Flores Timur, saya menyampaikan terima kasih untuk dua
narasumber hebat yang telah berbagi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman
nyata. Topik Semesta Sebagai Sumber Belajar dengan sangat menarik dan
kontekstual di-sharing-kan. Tidak
menjejal pada teori atau konsep semata tetapi sungguh mendaratkan hal-hal nyata
yang dialami sebagai pemantik inspirasi buat peserta,” kata Egidius.
Berita
dan Foto: Siaran Pers PGRI Flotim
0 Comments