Oleh
Dr. Marselus Robot, M.Si
Dosen
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana
“... kau harus menyentuh Bahasa Kehidupan itu
dengan tanganmu, dan ambillah segala kekuatan yang kauperlukan untuk menjadi
saksi atas Bahasa itu di seluruh dunia.” (Paulo
Coelho dalam ZIARAH, 2011)
Percayakah Anda bahwa bola bumi digerakkan oleh cinta dan rasa bahagia?
Percayakah Anda bahwa bulan di atas kita yang punya? Percayakah Anda bahwa kita
di sini terancam tenggelam
dalam rawa karena cinta. Entahlah. Namun, Paul Tillich membubuhi makna
pada kata cinta sebagai sebuah “kekuasaan yang menggerakkan kehidupan”. Menurutnya, segala yang “Ada” ini pada mulanya satu di dalam cinta (Lihat, Kurniawan, Filsafat Cinta, https://www.betangfilsafat.org/diunduh 30 Oktober 2020). Itulah sebabnya, huruf
“c” pada kata
cinta ditulis kapital untuk menyatakan cinta sebagai ekspresi eksistensi
(keberadaan). Sang Ada (baca Kehidupan) tak pernah ada tanpa cinta. Umpamakan saja, cinta adalah
minyak suci yang diurapkan Tuhan
kepada setiap
manusia. Walau, cinta pula yang membawa
seseorang galau dan begitu gampang jatuh dalam percobaanyang kadang membuatnya batil. Sebab,
cinta menumbuhkan melati sekaligus belati. Rindu adalah durinya, penantian
adalah gulungan ombaknya, perjumpaan adalah kemelutnya. Itulah yang membuat luka cinta penuh
kenikmatan dan begitu kekal.
Bercanda dengan puisi Mery C. Lola, Thomas A. Sogen, dan Yanty Ali yang
menginap di bawah Antologi berjudul “Orang Pilihan” ini, bagi orang seumuran saya (orang dewasa), seakan menghela
kembali kenangan dari kekelaman masa silam yang kian susut. Bahkan, telah
terhapus dari alamat-alamatnya. Kita diminta pulang sejenak menjenguk masa
lalu, mungkin pada sebuah geladak yang melumut, menjauh, kerlap-kerlip memori ditimbun
abu waktu. Apa sekadar
menagih masa lalu yang dibungkus erat dalam sapu tangan kenangan, sebagaimana
diucapkan dengan kata bergentah oleh Mery Lola dalam puisi-puisnya. Atau
memohon pengampunan pada masa lalu karena ada tapak di jalan cinta yang tak
terhapus oleh waktu. Bukankah kesunyian di luar sana mewakili keriuhan di dalam
sini? Semestinya kita menyadari bahwa segalanya berasal dari-Nya. Dunia hanya tumpukan
kefanaan. Karena itu, pengakuan total
kepada Sang Sunyi yang amat jauh atau amat dekat dengan kita. Begitulah kesaksian
Thomas A. Sogen dalam beberapa puisinya. Mungkin pula diperlukan pertempuran melawan
kerinduan masa silam. Atau segera menghapusnya, karena ada juga pengkhianatan
di sana. Membiarkan kita untuk betah di tepi jurang kerinduan sebagaimana diucapkan
Yanty Ali.
Bagi kaum milenial
atau remaja yang kini lagi kasmaran dan jatuh cinta, puisi-puisi ini mengantar
Anda ke dalam tawanan rindu menggetarkan dan menggetirkan sekaligus. Ketiga pemuisi ini memberikan semacam
testimoni dengan cara estetis tentang pengalaman cinta dan pengalaman hidup
lainnya. Tiga orang pilihan yang menjalani –profesi sebagai guru, belakangan
lebih asyik-sibuk sebagai instruktur dan memilih sikap gembala (simpatik) daripada
seorang Firaun (menakutkan) dalam menjalankan tugasnya. Hampir semua puisi
dilengketkan dengan keindahan asal asli seperti, senja, rembulan, matahari,
bunga, hujan, gerimis, sunyi. Pun
pilihan kata yang
musikal menggelar nuansa
sentimental. Semacan orkestra
cinta “Orang Plihan”. Dunia, cinta, dan Anda tak akan mengelak keadaan ini:
Rintik hujan seolah menjadi pertanda
Suasana hatiku yang sedang merana
Putaran waktu terasa begitu lamban
Detik kehidupan berlalu dalam kehampaan
Semua rasa rindu terasa menyesakkan dada ini
Belantara hati semakin terasa gersang
Tandus dan terasa amat sepi
Menjadi cerminan jiwa yang dahaga dan terasa kering (Puisi Rindu)
Rintik hujan boleh jadi melembabkan halaman, tetapi
rintik rindu di halaman hati membuat “tandus”. Demikian, lirik
dalam larik puisi yang ditulis Mery C. Lola. Ia sangat mengagumi keindahan
alam. Boleh dibilang, ia
pemuja alam. Memang, alamlah yang menyediakan keindahan. Menyukai keindahan adalah bawaan
manusia. Semua orang merasakan keindahan.
Namun, tidak semua orang dapat
mengucapkan kembali keindahan dalam kata-kata yang wangi atau frasa yang gurih.
Toh, keindahanlan ini kadang menggumpalkan
kesedihan dan membentur-benturkan jiwa, menyakitkan pula, terutama ketika pengalaman
tertentu memagut rasa. Seperti senja yang indah menyisakan penyiksaan. Mery C.
Lola menulis:
Rasa ini seakan membuatku jatuh
terjebak pada palung terdalam di dasar
lautan
Rasa ini telah membuatku tersesat
Bahkan ku tak tahu ke mana harus kembali
Kuayunkan langkahku menyusuri tepian
Dituntun senja meresapi indah pesonanya
Rangkul aku dalam buaian senandung
kicauan burung laut
Dan
bila kau pergi, bawa aku bersamamu (Puisi Senja)
Mery mengintip begitu
intim tingkah matahari dipergok senja. Kicauan burung laut yang menjemput kelam. Lantas, hidup di tepian “jurang
rindu” yang terus menangguk harapan yang tak pernah lunas oleh keadaan. Di sanalah keniscayaan
merapat, dan cinta memosisikan “aku
lirik” (penyair) sebagai antagon baik untuk diri
maupun untuk Si Dia. Namun, rindu adalah duri yang tusukannya amat nikmat.
....
Desiran
angin mendesah lembut
Berbisik
lirih sembari berlalu
Seakan
terasa berat lara terbawa
Saat
nestapa tertatih dalam papahan sang bayu
Langkah
demi langkah kuayun perlahan
Lukisan
tapak makin menjauh
Tatapan
kuarahkan hanya ke depan
Berharap
mentari cerahkan masa kelam
Indah
bumi menyimpan harta alam
Melantunkan
irama gemerisik
daun bambu
Ku
ingin kau tahu simfoni yang tercipta
Ada
hati yang selalu merindukanmu
....
(Puisi Simfoni
Rindu)
Lagi-lagi kerinduan menjadi
ribuan jarum yang mendetak hati. Sedangkan semesta seakan terus menyembunyikan simfoni:
Indah
bumi menyimpan harta alam/Melantunkan
irama gemerisik
daun bambu/Ku
ingin kau tahu simfoni yang tercipta/Ada hati yang selalu merindukanmu. Rasa rindu adalah serpihan cinta platonik, cinta yang tak
terjangkau. Aku menenuaikan tugas untuk merindu. Di sana cinta bukan lagi sebuah
perjumpaan untuk melakukan perjalanan sama-sama. Cinta menganiaya.
Sudah sejauh ini narasi dihela, belum
juga membuka “kotak hitam” tentang judul
antalogi ini “Orang Pilihan”. Dalam puisi-puisi Mery C. Lola tidak menenteng secara
eksplisit identitas “Orang Pilihan”. Kecuali pada puisi Thomas A. Sogen dan Yanty Ali. Siapa gerangan Orang
Pilihan? Apakah Orang Pilihan dimaksud itu adalah ketiga penyair ini yang
memilih profesi guru. Sebab, guru adalah sumber cahaya ilmu dan mewartakannya kepada
murid-murid agar kelak menggala bulan. Semua itu hanya berharga bila dijalankan
atas nama kasih. Cinta kasih bukan sekadar keindahalan siluet (sekadar
penampakan), melainkan sebentuk keindahan selibat. Sebab, amal ilmiah itulah
per puluhan yang diberikan di ruang kelas. Thomas A. Sogen menulis puisi untuk
itu:
Inilah
orang pilihan bermisi
Tak
lelah berbagai dan terus berbagi
Agar
tanah didik terurai kusut
Karena
mereka terus menghasut
....................
Di
sini, di negeri ini
Orang
pilihan terus berbuka
Tak
henti menabur dan berharap menuai
Bila
tidak mereka pun bermurka (Puisi Orang Pilihan 1)
Teringat petuah Bertrand
Russel, “Hidup yang baik
adalah hidup yang diinspirasi oleh cinta dan dipandu oleh ilmu pengetahuan” (https://jagokata.com/kata-bijak/dari-bertrand_russell.html?page=4). Dengan
demikian, ke arah empat mata angin pun kita pergi, berusahalah mewartakan
kebaikan dan membawa terang melalui profesi
sebagai guru. Thomas A.
Sogen menulis:
....
Ke
utara kita pergi
Ke
selatan pun kita berlangkah
Ke
timur kita berlayar
Ke
barat pun kita mendayung
Berbagi
bersama nan elok
Menular
ilmu tak kan kering
Bertukar
nalar kan bertambah bijak
Merajut
suka berbagi riang (Puisi
Orang Pilihan 2)
Hasrat “berbagi”
adalah wujud keindahan Ilahiah. Itulah perangai Orang Pilihan. Plato
pernah mewanti bahwa cinta memang menggerakkan manusia untuk
menemukan hal terbaik bagi hidupnya (https://www.sanglah-institute.org/2019/02/ketika-filsuf-bicara-cinta-dari-hobbes.html). Berbagi sebagai ekspresi cinta Ilahiah adalah
semacam cicilan cahaya pada lorong pulang ke ribaan Sang Sunyi yang tak
terjangkau akal. Kadang, “kata” yang mencoba melukiskan amat minimal
sifat-Nya. Kesibukan dalam kesia-siaan menyusuri jalan ganjil penuh nisbi seperti ditulis
Thomas Sogen:
Sekali
lagi kususur jalan ke titik nisbi
Pergi
melanglang ke haribaan fana
Kupergok
sosokmu nun jauh di sana
Dalam
langkah yang juga terbingkai
Langkah
terakhir kuayun gontai
Berbalik
pulang ke haribaanNya
Entah
kapan kau datang bersua
Di
sanalah keabadian tak berbingkai (Bingkai Langkah)
Arus imajinasi Thomas A. Sogen berusaha
menengadah, berelegi di bawah remang alam dan lagu malamyang seakan jatuh
satu-satu di pikirannya. Menurutnya, itu semua buah kefanaan. Harus ada waktu
untuk mencari alamat pulang. Kembali ke dalam diri untuk memandang sosok yang
tak terungkap dan tak terucap. Ia hanya hadir melalui keajaiban karya-karyaNya.
Orang pilihan berjalan dua arah sekaligus. Berjalan keluar untuk berbagi kepada
siapapun. Berjalan ke dalam (diri) untuk merefleksikan siapa Aku yang teramat
lemah ini. Dalam keasyikan kesia-siaan, kadang tersedak dosa. Thomas Sogen
menulis puisi berikut:
.......
Di
bilik ini kudatang bersimpuh
Menghadap
dan berkiblat fitrah
Salahkah
bila hati ini berdosa
Bersalah
padaMu dan pada siapapun
Aku
memang rapuh
Bahkan
lebih rapuh dari kain lapuk
Kain
lapuk hanya bisa dibuang
Namun
hati ini terus berkanjang
.....
(Pengakuan)
Jean-Paul Sartre (filsuf eksistensialis) memandang cinta dengan penuh
kecurigaan. Bagi Sartre, cinta sebagai bentuk penindasan yang begitu lembut. Sebab, di sana terjadi
semacam pengobjekkan terhadap manusia. Dengan demikian, orang yang jatuh
cinta sesungguhnya “terjebak” pada dunia orang lain. Menurut Sartre, kecintaan seseorang terhadap orang lain menandai kegagalan
dirinya mempertahankan diri sebagai subjek.
Mencintai orang lain, ia memiliki konsekuensi berhadapan dengan
tuntutan-tuntutan dalam cinta. Dalam koteks itulah cinta
pun rentan mentransformasi dirinya menjadi hasrat untuk memiliki. Jika telah
demikian, maka salah satu pihak akan dikorbankan” (Wahyu Budi Nugroho, Ketika Filsuf Bicara Cinta:
Dari Hobbes sampai Derrida: https://www.sanglah-institute.org/2019/02/ketika-filsuf-bicara-cinta-dari-hobbes.html). Di sinilah cinta menjadi sebentuk kejahatan yang
mungkin dinikmati.
Boleh senyum dikulum menjadi belati di hati ini, dan setiamu menjadi dukaku seperti
ditulis Yanty Aly berikut ini.
Mengenal
dari kejauhan
membuat rasa bergejolak
ingin menyapa namun enggan
karena kita memang berbeda
Saat
dirimu akrab
menyeruak sejuta nan semerbak
tapi…mengapa aku geram?
adakah yang salah ?
karena bagiku rasa itu salah dan dosa
Kamu
pun pasrah
seakan tak mau berpaut
setiamu sampai saat ini
menjadi duka yang berkepanjangan
entah sampai kapan rasa itu (Puisi Setiamu Dukaku)
Ketika kita menyerahkan diri untuk dicintai, maka diri kita menjadi “surat terbuka” yang
dimaknai secara arbitrer atau bebas oleh Si Dia. Tentu dengan hitungan yang
digunakannya. Oleh karena itu, setiap tindakan, perkataan dapat menjadi melati,
tetapi juga dapat menjadi belati yang menggunting rasa cinta. Belati yang
rimbun tumbuh di halaman bibir adalah bahasa yang tajam melampaui sembilu. Yanty
Ali menulisnya dengan liris pada puisi di bawah ini.
....
Ucapanmu
seperti tak bernoda
membawaku pada hati memikat
namun ternyata Cuma ilusi..
kebohongan seakan menjadi hobimu..
Kata-katamu
bagai belati
Aku pergi membawa luka
mampu merajamku
namun tak mampu menguasaiku
Walau
perih tersayat belatimu
ku akan melupakanmu
sebab kata maaf tak lagi milikmu
biarlah cerita kita tersusun rapi dalam benakku (Puisi
Kata-Kata Belatimu)
Yanty sungguh paham, bahwa dunia tempat menjalankan
percobaan. Meskipun, percobaan justeru membuat hidup lebihberkualitas dan berarti.
Jangan pernah menyerah terhadap keadaan.
Duka dan luka menjadi enzim yang melahirkan kreativitas. Yanti menulis:
Luka tak membuatku lemah
Karena
sulit menjadi bagian dalam berjuang
Menjadi bukti dari sebuah proses
Tetapkan tujuan sampai batas akhir
Sampai raga tak mampu bangkit lagi
Teruslah berjuang
Karena kelak tujuan itu akan tiba
bersama sang waktu (Puisi Jangan
Menyerah)
Saya menyadari, selama pengembaraan dalam antologi ini, mengalami ketersesatan yang
membahagiakan, lantaran keragaman tema yang ditawarkan oleh tiga penyair ini. Demikian pula, tingkah literer puisi-puisi yang berumah dalam
antologi Orang Pilihan ini lebih berorientasi auditif (puisi telinga). Begitu sedap
didengar. Orientasi diksinya akustis, merdu. Jumlah katanya terukur (3-4). Pola
bait yang begitu regulatif (4-5) larik tiap bait. Manuver teks estetis demikian,
cukup kuat mengawetkan kenangan dalam kamar waktu. Kata-kata menggetarkan bagai hembusan gambus di ubun bukit mengisap
kesunyian dan lidah cinta melumat hidupmu. Semacam orkestra untuk merayakan
kejahatan cinta yang melukaimu begitu lembut. Pun rasa sakitnya yang begitu membahagiakan.
Editor: R. Fahik
0 Comments