Marianus Seong Ndewi, S.Pd., M.M Guru Seni Budaya SMAN 4 Kupang Aktif di Komunitas Secangkir Kopi Kupang |
Pancasila rumah kita/ rumah untuk kita semua
Nilai dasar Indonesia/ rumah kita selamanya…
Untuk semua puji namaNya/ untuk semua cinta
sesama
Untuk semua warna menyatu/ untuk semua
bersambung rasa
Untuk semua saling membagi/ pada setiap insan,
sama dapat, sama rasa
Oh Indonesiaku… (Franky Sahilatua)
Salam sejahtera.
Salam jumpa. Beta Indonesia, Beta Pancasila!
Cerita, kisah,
dan kasih tentang Pancasila yang turut ‘dirawat’ di lingkungan pendidikan SMA N
4 Kota Kupang akan saya bagikan dalam tulisan ini. Sekolah Kami yang sudah,
sedang, dan akan terus merawat nilai-nilai luhur hasil perjuangan para pahlawan,
kusuma kebanggaan bangsa, hanya terus belajar dan berharap agar warisan
nilai-nilai tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musawarah, dan tentang
Keadilan itu tetap lestari, abadi, sampai kekal.
Intisari
sederhana yang ditanamkan di lingkungan sekolah
adalah menjiwai Pancasila sebagai sebuah Ideologi. Artinya, memaknai
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai sebuah gagasan, motivasi,
keyakinan, dan harapan untuk mendatangkan nilai kebaikan (Adinegoro, 1947: 369).
Dr. Alfian berpendapat bahwa ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai
yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimanacara yang sebaiknya, yaitu secara
moral dianggap benar dan adil mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi
kehidupan duniawi (Alfian, 1989: 6).
Tentang merawat
Pancasila bukanlah perkara yang mudah. Apalagi berhadapan dengan lingkungan
pendidikan para remaja era milenial, yang seakan-akan apatis terhadap kandungan
nilai Pancasila, generasi yang serba instan, generasi yang suka cuek dan masa bodoh, generasi yang hidup
di lingkungan masyarakat yang cenderung anarkhi, menjadi tantangan terbesar.
Akankah itu sekaligus peluang bagi kita para pendidik?.
Tantangan, karena
memang sudah jamannya penuh tantangan, era ditantang dan menantang. Menjadi peluang,
apabila tantangan-tantangan itu mampu diolah menjadi sesuatu pelajaran berharga,
yang nantinya sebagai bekal dan akan menghidupi masa depan para peserta didik.
Mata pelajaran
Seni Budaya (Musik, Tari, Rupa, Sastra, Drama/teater) turut merawat ‘kesehatan’
nilai-nilai Pancasila di SMA N 4 kupang. Seni berusaha dijadikan sebagai levitasi atau daya hidup; yang oleh
Viktor Schauberger (Austria) menegaskan sebagai: 1) daya yang mempercepat dan
mengangkat, 2) daya yang menghidupi kehidupan, 3) daya yang menyebabkan
pertumbuhan (perkembangan).
Saya tidak akan
membagikan tulisan teoritis yang ruwet, tetapi kisah-kasih ini adalah
pengalaman nyata yang sudah dan sedang kami jalani di SMA N 4 Kota Kupang, yang
harapanya mampu menginspirasi para pendidik di seluruh pelosok tanah air. Mari
sama-sama menyelami makna dan kebaikan Pancasila yang mesti terus dirawat;
karena sesungguhnya, nilai-nilai Pancasila telah merawat serta mengobati Indonesia
sebagai bangsa yang besar, kokoh, dan kuat. Pertanyaan sederhananya adalah:
apakah bangsa Indonesia turut merawat dan melestarikan nilai-nilai Pancasila
itu dalam kehidupan kesehariannya? Ataukah Pancasila hanya dijadikan pajangan
saja di tiap-tiap ruang kelas, kantor, instansi, atau tempat penting lainnya di
bangsa ini? Kisah-kasih di bawah ini bisa dijadikan motivasi!
Angklung Toleransi
Tepatnya tahun
2015, ada hajatan Halal Bihalal, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, sekolah
kami selalu merayakannya. Walaupun dirayakan dalam acara yang sederhana di
tingkat sekolah, namun kami menjalaninya dengan suka cita, sebagai sesama anak
bangsa. Seperti biasa, peranan guru Seni pasti selalu dibutuhkan pada tiap
hajatan penting di sekolah, baik upacara hari besar nasional, ataupun upacara
keagamaan seperti ini.
Bapak kepala
sekolah baru selesai membeli seperangkat Angklung dari Surabaya. Walaupun itu
bukan alat musik tradisional Nusa Tenggara Timur, namun bagi kami itu wajib
dipelajari. Sepintas saja ide saya muncul untuk mementaskan Angklung pada
hajatan Halal Bihalal. Karena sekolah kami terdiri dari anak-anak lintas agama,
saya mencoba menyuguhkan sesuatu yang mungkin bisa menginspirasi mereka;
Angklung Toleransi.
Saya menyiapkan
materi pementasan dengan mengolaborasl sebuah lagu Kristiani: Tuhanlah Gembalaku, menggabungkannya
dengan lagu bernuansa Islami; Surgamu
(Ungu). Aransemen musik didahului oleh intro pada Angklung, diteruskan
dengan lantunan potongan Adzan oleh seorang siswa Muslim. Dilanjutkan bagian
pertama dinyanyikan bait pertama oleh anak-anak (paduan suara) Muslim (diiringi
Angklung) lagu Tuhanlah Gembalaku: Tuhan
adalah gembalaku, takkan kekurangan aku, Ia membaringkan daku, di padang yang
berumput hijau. … Setelah bagian ini sebenarnya langsung masuk refrain
(reff). Tetapi kami menggantikannya dengan menyanyikan bait pertama lagu SurgaMu,
oleh anak-anak Kristen dan Katolik: Segala
yang ada dalam hidupku, ku sadari semua milikmu, ku hanya hambaMu yang berlumur
dosa. Tunjukkan aku jalan lurusmu, untuk menggapai surgamu, terangiku dalam
setiap langkah hidupku. Karena, Ku tahu, hanya Kau Tuhanku… setelah bagian
ini sebenarnya langsung refrain Allahu
Akbar dst… kami menggantikannya dengan sama-sama (Muslim dan Kristen)
menyanyikan refrain lagu Tuhanlah Gembalaku: Ia membimbingku, ke air yang tenang, ia menyegarkan jiwaku. Ia
menuntunku ke jalan yang benar, oleh karena namaNya. Sekalipun aku berjalan,
dalam lembah kekelaman. Setelah bagian ini dilanjutkan bagian introlude musik angklung, setelahnya
dilanjutkan dengan sama-sama (Muslim dan Kristen) menyanyikan refrain SurgaMu: Allahu Akbar, dst (hingga selesai).
Seketika itu saya
merasa kaget karena suasana aula sekolah menjadi gaduh. Saya pikir pasti ada
yang tidak beres atau tidak setuju tentang materi pementasan kami. Ternyata ada
beberapa bapak dan ibu guru, serta anak-anak sekolah yang menangis karena
menyaksikan penggalan momen ini. Mereka menangis tersedu-sedu. Entah apa yang
mereka rasakan dan mereka pikirkan. Harapan saya mereka bisa mengambil hikmah
atau pesan dibalik sajian musik ini.
Selesai
pementasan, beberapa guru menghampiri dan menyalami saya sembari berterima
kasih. Mereka merasa tersentuh atas pesan yang tersirat dari sajian musik itu.
Saya ikut terharu. Anak-anak pun terharu. Semacam ada kepuasan batin tak
terhingga ketika mendengar apresiasi dari para ‘penonton’. Itulah tujuan
utamanya. Pesan toleransi dan rekonsiliasi dari sajian musik, mampu memberi levitasi dan semangat hidup bagi para
penikmatnya. Siswa-siswi saya, Muslim dan Kristen, mereka juga merasa puas, dan
kami mempunyai tekad yang sama untuk melestarikan nilai Toleransi dalam
keberagaman, sebagai bagian dari cara merawat pancasila, dan terutama mengambil
hikmah dari setiap sajian seni padfa umumnya di sekolah.
Hingga hari ini,
jika ada hajatan Halal Bihalal, guru-guru dan anak-anak Kristen dilibatkan
dalam kepanitiaan ataupun acara. Demikianpun sebaliknya. Jika ada hajatan
Natalan agama Kristen, maka guru san siswa Muslim dilibatkan dalam kepanitiaan
dan keseluruhan acara. Semisal mengisi Kasidah, Nasyid, dan lain sebagainya.
Paduan Suara, Pa(n)duan Bangsa
Salah satu
ekstrakurikuler ‘jagoan’ SMA N 4 Kupang adalah Paduan Suara. Bagaimana tidak,
tercatat hampir tiap bulan mereka berprestasi dan menyumbangkan piala kejuaraan
ke sekolah. Ini trentunya menjadi semacam kekuatan dan amunisi baru untuk terus
berinovasi, kreasi, dan progresif. Paduan Suara SMA N 4 Kupang bernama Green
Voice. Green yang berarti
hijau, segar, bertumbuh, dan berkembang menjadi spirit dasar dari seluruh
manajemen dan proses latihan. Ini juga sesuai dengan spirit SMA N 4 Kupang yang
pada tahun 2017 mendapat anugerah sekolah Adiwiyata tingkat Nasional. Predikat
yang diberikan bagi sekolah-sekolah yang hijau, penuh dengan bunga dan
pepohonan rindang. Karena hal ini pula lah, ekstrakurikuler seni lainnya pula
menggunakan nama green; semisal Green Dance, Green Band, dan Green Fashion. Spiritnya tentu satu dan
sama: ingin terus tumbuh dan berkembang.
Anggota Paduan
Suara angkatan 2019 hampir berjumlah 70 orang. Tentunya terdiri dari kategorial
etnis dan agama yang berbeda. Seperti biasa, kami tetap rukun dan damai, tiap
keseharian kami. Ada sebuah ‘tradisi unik’ ketika memulai seleksi keanggoitaan
Paduan Suara. Saya telah menyiapkan secara khusus ‘tempat’ bagi anak-anak
Muslim agar dapat bergabung di Green
Voice. Begitu pula ketika seleksi untuk keperluan perlombaan; apapun yang
terjadi, keterwakilah anak-anak yang mengenakan hijab harus ada di atas panggung perlombaan. Saya sengaja
memberikan ‘warna’ seperti itu diatas panggung, karena keterwakilan dari
sekolah negeri lainnya nyaris tidak ada anak-anak berhijab di panggung
perlombaan. Warna dapat menguatkan karakter lagu yang diaransemen, apalagi bila
berlomba bertemakan kerukunan, persatuan, dan pancasila? Apakah ini masuk dalam
kategori ‘penilaian’ dewan juri? Entahlah. Bagi saya, ya! Selalu juara?, Ya!
‘’Tradisi unik
lainnya adalah ketika memulai dan mengakhiri proses latihan ataupun pementasan,
biasanya selalu bergantian, apabila anak muslim membawakan doa pembuka, maka
doa penutup dibawakan anak Kristen. Demikian pun sebaliknya. Mungkin kelihatan
sederhana, tapi rasa seperti ini yang mesti dipupuk untuk selalu menghidupi
nilai-nilai Pancasila menuju kearah yang semakin sehat dan kuat.
Begtu pula untuk
urusan kegiatan lainnya dalam ekstrakurikuler seni. Pertimbangan-pertimbangan
seperti ini mesti terus dimunculkan untuk sekedar memupuk rasa pancasilais
mereka, tentunya bagi perkembangan karakter berkelanjutan.
Musik Sebagai Levitasi, Pancasila Selalu di
Hati
Jika ingin
menggunakan teori Victor Schauberger, tentang ‘’bagaimana mungkin sebuah buah
apel ataupun air yang berasal dari akar pohon kelapa, naik ke atas, melawan
gaya gravitasi (Issac Newton), hidup dan berkembang menghasilkan ‘buah’ yang
berguna? Bagaimana mungkin musik mampu memberikan peran sebagai levitasi hidup
(levitation force)? Apakah mungkin?
Bahwa kehadiran
musik – baik vokal maupun instrumental, tradisisonal maupun nontradisional, sudah
menjadi ‘kebutuhan pokok’ bagi manusia. Secara biologis, ruang di otak dan
aliran hormonal dan saraf manusia membutuhkan levitasi dari music. Entah itu bunyi-bunyian, suara, ketukan ritme
dari alat-alat music ritmis, hentakan kaki, bunyian pekikan khas etnik NTT, semuanya
berhubungan dengan ‘tubuh manusia-jiwa dan raganya, pun kehidupan
sosio-kurturalnya’.
Mencermati dua
contoh kisah-kasih tentang peranan musik dalam aktivitas lingkungak pendidikan
SMA N 4 Kupang, kita mesti yakin bahwa aktivitas bermusik atau Seni pada
umumnya tentunya memberikan manfaat yang besar bagi penanaman nilai-nilai
Pancasila agar terus terpatri di hati. Persoalan utamanya adalah: How to manage?
Tidak bisa hanya
retorika atau seminar-seminar besar saja untuk menghidupi nilai-nilai luhur
Pancasila ini. Mesti dibutuhkan tindakan, walau kecil saja, dibuat terus
menerus, tiap saat, tentu warga bangsa Indonesia akan hidup dalam kebaikan dan
kebenaran; sesuai ajaran dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Pancasila mesti
menjadi rumah bersama. Rumah tempat persemaian nilai-nilai. Rumah tempat proses
transformasi niali-nilai kepada kehidupan social, agama, politik, dan
kebangsaan, menuju Indonesia yang semakin kuat dan sejahtera.
*) Tulisan ini sebagai salah satu persyaratan utama
ketika penulis terpilih sebagai salah satu Pendidik Pancasila 2019, pada
kegiatan Persamuhan Nasional Pendidik Pancasila, yang diselenggarakan AGSI
bekerjasama dengan BPIP, bersama 500 tenaga pendidik se-Indonesia (34
Provinsi), Surabaya 29 November – 2 Desember
2019.
0 Comments