Gusty Rikarno Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Tidak terasa,
sudah sembilan tahun berada di sini. Di Kota Kupang. Ada jejak yang tertinggal
dan ditinggalkan. Awalnya sulit beradaptasi. Bukan Karena hawa panas yang
menyelinap di antara karang yang garang. Bukan. Saya tidak terbiasa dengan
dentuman musik mikrolet. Ada suara dan syair yang tidak lazim. Lucunya, sopir
angkut ini “memaksa” penumpangnya untuk menikmati suasana itu. Menikmati
dentuman musik yang keras dan “kasar” bersama keringat yang melelh kelelahan bukanlah
perkara mudah. Namun seiring waktu
berjalan, akhirnya saya sadar. Harus
menemukan cara yang mungkin tidak perlu rasional agar betah di sini. Nikmati
saja.
Di perbatasan
timur kota saya berdiam. Pilihan berada di sini adalah jalan yang saya pastikan
sudah tertulis pada garis tangan. Sebuah lahan berukuran sedang, 25 x 50 meter
membawaku pada sebuah keyakinan jika hidup itu adalah kepastian di tengah
ketidakmungkinan. Hidup ini adalah sebuah perjalanan, kawan. Jika tidak maka
kamu bakal berhenti di sini dan menjadi tua dalam kondisi yang belum matang. Di
ini kota, ada senyum dalam linangan air mata dan tangisan dalam rasa syukur
yang tidak pernah bertepi. saya dan mungkin kamu, adalah syair yang dilukiskan
cakrawala sebagai putra fajar, empunya Nusa Tenggara Timur.
……………………
Di beberapa hari terakhir, ada narasi yang belum selesai. Ada
pertengkaran dalam satu topik yang tidak biasa. Hanya di kota ini, seorang
walikota Jefry Riwu Kore dan anggota DPR, Ewalde Taek berdebat panas untuk dan atas nama
masyarakat kecil. Luar biasa bukan? Hemat saya, ini bukan perdebatan biasa dan “ecek-ecek”.
Ini sebuah senandung kepedulian yang dipandang dari berbagai sisi. Walikota
peduli dan anggota DPRD juga peduli. Bukan tentang diri mereka. Bukan. Tetapi
tentang seorang nama yang bisa mewakili sekian nama masyarakat kecil di kota
ini. Saya adalah yang paling setiap mengamati dan menikmati semua kata dan rasa
dari perdebatan itu. Eksekutif dan legislatif adalah mitra yang memang
terkadang seharusnya demikian. Maaf, saya suka syair lagunya Iwan Fals berjudul
“wakil rakyat ”. “(…) Untukmu yang duduk
sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari, Di sana. Di gedung DPR. Di hati
dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu
jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam (…)”.
Pertanyaan tersisa, terhadap perdebatan ekspresi kepedulian ini,
dari manakah kita mengambil jarak untuk melihat. Apakah dari sisi dan posisi
Walikota Kupang atau dari sisi dan posisi seorang Ewalde Taek, anggota dewan
terhormat itu. Ataukah kita mengambil jarak dan melihat seluruh narasi dan arah
“tembak” perdebatan itu. Jika sempat baca, pernah saya menulis tentang mata
lalat ataukah mata lebah. Jika kamu adalah bagian dari deretan mata lalat, maka
kamu bakal melihat perdebatan ini sebagai bentuk ekspresi sikap infantil
(kekanak-kanakan) dan “kepura-puraan” yang dipertotonkan oleh mereka yang
mewakili dua lembaga berwibawa itu. Sebaliknya, jika kamu adalah seorang yang
dikategorikan mata lebah, maka sebenannya ada yang luar biasa datang dari
perdebatan “keras” ini. Minimal Walikota Kupang dan anggota DPRD, Ewalde Taek, memiliki
arah dan maksud yang sama yaitu kebaikan bersama dan berjuang sekeras mungkin
untuk ikut peduli terhadap persoalan masyarakat kecil. Mereka sebenarnya sedang
membangun iklim demokrasi yang rasional dan professional. Mereka telah menjalankan
perannya masing-masing.
Dalam sebuah diskusi “online” saya ditanyai oleh seorang kawan
yang kebetulan juga berprofesi jurnalis. “Bagaimana komentar (pendapatmu) dengan
yang terjadi di gedung DPRD Kota Kupang beberapa hari lalu”. Saya belum sempat
menjawab ketika ia berkelekar jika saya bakal pasti membela Walikota Kupang. Ia
bahkan berusaha “menuduhku” terlampau dekat dengan para pejabat publik sehingga
bisa menumpulkan daya kritis dan cenderung “ikut arus”. Saya akhirnya memilih
tersenyum dalam diam. Beberapa teman diskusi memintaku untuk menanggapinya. “Apa
yang bisa saya komentari. Toh, cara kami menatap sudah berbeda. Jika kemudian
tuduhan itu adalah saya saat ini, mungkin saya komentari”, jawab saya sekenanya.
Maksud saya begini. Mari kita tempati segala persoalan pada konteks dan teks
yang tepat. Sebagai seorang jurnalis, independensi adalah hal yang mutlak. Kita
menulis berita. Apa adanya, bukan ada apanya.
Terkait persolan yang terjadi di gedung DPRD kota Kupang itu,
hemat saya peristiwa itu patut diapresiasi karena terjadi pada waktu dan tempat
yang tepat. Jika kemudian ada narasi tuduhan “pencitraan” dan jawaban “kurang
ajar” karena merasa menyerang pribadi, hemat saya itu bagian dari dinamika yang
dipnadang pada porsi yang tepat. Jangan terbawa perasaan dan akhirnya melumpuhkan
daya kreatif untuk berpikir. Mari kita bentangkan segala persoalan apa adanya
di ini kota dan berjuang mengambil jarak terjauh agar mampu melihat persoalan
itu secara komprehensif (menyeluruh).
Jika ditanya, apa pendapat pribadimu tentang seluruh sepak terjang
pembangunan Walikota Kupang, Jefry Riwu Kore di hampir tiga tahun masa
kepemimpjnanya ini. Saya pasti mengendepankan fakta dan data apa adanya. Hemat
saya, Walikota Kupang, Jefry Riwu Kore, sudah bekerja. Ada jejak digital dan
fakta yang kasat mata terlihat. Misalnya, soal penataan “wajah” Kota Kupang sebagai
“smart city” pertama di NTT. Bahwa kemudian, masih ada yang belum tuntas, itu adalah
amanah yang harus diselesaikan.
Jujur, saya mengenal beliau walau tidak “dekat”. Kami bertemu dan
mendiskusi banyak hal secara profesional. Dengan demikian daya kritis dan
independensi saya sebagai jurnalis tetap terjaga. Tidak ada yang paling mewah
selain kita menjadi diri sendiri. Salah satu cara merayakannya adalah memberi
apresiasi terhadap keberhasilan orang lain. Jika kemudian kamu memang
ditakdirkan sebagai pengaamat, jadilah pengamat yang kritis dan professional.
Menjadi lawan politik itu adalah pilihan. Bukan takdir. Tugasmu sederhana.
Membangun narasi dari bahasa data dan fakta. Itu saja. Lalu? Orang menilaimu.
Apakah kamu “bermata lalat” ataukah “bermata lebah”.
………………………………….
Dalam sebuah
kesempatan Ngobrol Pintar (Ngopi) pagi hari di halaman gedung utama Bank NTT
setahun yang lalu, saya nimbrung dalam diskusi hangat. Hadir saat itu, kepala
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTT, Kepala Bank Indonesia (BI)
parwakilan provinsi NTT, Walikota Kupang dan Direktur Pemasan Dana Bank NTT.
Satu yang terlihat jelas adalah cara seorang Jefry Riwu Kore membangun koneksi
dalam prinsip kerja sinergisitas dan kolaborasi. Semua pekerjaan dibagi habis.
Tidak ada yang dibiarkan bekerja sendiri. Semuanya diarahakan pada satu irama
yang sama yang didaratkan pada enam prioritas pembanganan
seperti peningkatan kualitas pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan, peningkatan perekonomian akses pelayanan perizinan dan
penciptaan lapangan kerja, peningkatan kinerja pemerintah yang efektif,
efisien, akuntabel dan transparan dalam upaya meningkatkan kapasitas pelayanan
publik dan pengelolah keuangan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan,
peningkatan kesejahteraan sosial, budaya, prestasi olahraga dan kepemudaan
serta meningkatkan toleransi dan kerukunan suku, agama, ras dan antar golongan.
Perhatikan keenam prioritas pembanguan itu. Apakah ada yang
bertolak belakang satu dnegan yang lain? Apakah pembangunan infrastruktur ramah
lingkungan berhubungan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan dan
kesehatan. Atau peningkatan perekonomian dengan akses pelayan perizinan dan
penciptaan lapangan kerja berhubungan dengan peningkatan kesejahteraa sosial
dan transparansi pengelolaan keuangan? Kita pasti sepakat. Tidak ada yang
kontroversi di dalamnya. Dalam konteks ini, hanya naluri seorang senimanan yang
bisa lakukan ini. Ia mampu membunyikan nada sinergitas dan kolaborasi sehingga
mengaghasilkn narasi pembangunan yang nyata dan menyentuh kebutuhan masyarakat.
Kota Kupang dan mungkin juga seharusnya kota lain di NTT, mesti dipimpin oleh
seorang seniman. Dia yang tahu dan mengerti sekaligus mau mendengarkan
nada-nada minor yang menjadi persoalan masyarakat. Ia hadir dalam visi pembangunan
yang mampu diwujudkan dalam elaborasi kerja yang jelas dan terukur.
Kamu tahu? Saya adalah nyawa dari ribuan bahkan jutaan yang
ada dan mendiami kota ini. Saya tahu, siapa yang hadir sebagai pemimpin
berkarakter politisi tanpa visi dan politisi seniman berjiwa pemimpin. Di ini
kota, adakah yang paling berharga selain rasa bangga dan syukur? Segudang ilmu
dan pengalaman, bakal menjadi biasa bahkan sia-sia jika kamu tetap “bermata
lalat”. Kmau tahu lalat? Dia yang pandai menjilat dan tidak pernah selesai bergumul
dengan pikiran negatifnya. Seperti Ewalde Taek, anggota DPRD terhormat
diharapkan tetaplah bersuara dan kritis. Jangan mengambil sikap diam apalagi
membeo. Hidup ini adalah sebuah pertaruhan antara kepalsuan dan kebenaran. Ingat,
mobil yang sekarang kamu kredit itu adalah uang rakyat.
Salam Cakrawala, Salam Literasi …
0 Comments