Ovan, O.Carm Imam Karmelit. Tinggal di Komunitas Rumah Retret Nabi Elia Mageria-Mauloo |
Covid-19 seakan menjadi wabah yang mematikan pergerakan
manusia di segala bidang kehidupan. Manusia mengalami sebuah keterlemparan
sesaat dari aktivitas biasanya yang mengikutsertakan seluruh raganya.
Banyak yang harus bekerja dari rumah-rumah, bahkan ada yang
juga nekat tetap beraktivitas di luar rumah karena kebutuhan yang kian terjepit.
Waktu seakan bergerak cepat bagi mereka yang merindukan
sesuap kesejukan pagi ketika langkah
mulai melewati lorong-lorong aktivitas. Sedih rasanya karena harus keluar namun pada saat yang sama dihadapkan pada ketakutan, kecemasan dan
kegelisahan. Waktu yang sama terasa lambat bagi mereka yang hanya diam membisu
tak tahu harus berbuat apa ketika hidup mereka dicabut oleh virus yang
mematikan, oleh keputusan yang tak bisa disangkal dari sebuah resiko kerja.
Ingin protes namun apa daya itulah proses. Banyak yang
harus dikorbankan bahkan harus dikeluarkan dari sebuah taman yang subur tempat
biasanya mereka berkarya. Mungkin inilah bagian dari sebuah konsekuensi kerja.
Banyak insan yang akhirnya mengalami kehilangan pekerjaan.
Di beranda yang lain, banyak yang juga tak dapat
beraktivitas secara penuh akibat diliputi sekian keterbatasan. Bekerja dengan pengamanan yang ketat. Banyak yang tak
mampu mengais rejeki bak kehilangan harapan oleh sempitnya ruang gerak. Banyak
yang menjerit kesakitan dari bilik-bilik gubuk yang reyot dimakan usia. Sudah jatuh dan jatuh lagi dalam keterpurukan. Banyak yang
akhirnya menahan lapar lantaran kekosongan hampir segalanya.
Di tengah kegalutan hidup, antara berjuang dan berpasrah. Antara melawan atau tetap di tempat melahirkan sebuah
dilema diri. Mungkinkah ada cinta yang terbit di balik semua peristiwa ini? Adakah suara yang mewakilkan seluruh afeksi jiwa yang
bergetar dalam kekalutan emosi?
Di sinilah lahir sebuah doa dari seluruh cerita hidup. Barangkali pikiran, rasa adalah sebuah kerja yang
berkomunikasi di dalam diamnya raga. Dan di sanalah terpatri sebuah keabadiaan hidup yang
menggelayut di dalam cinta yang berujung, di mana ada matahari esok yang mengubah situasi ini.
Doaku…
Biarkan
buruh dengan hati yang terus membara
Birunya
langit menampakkan
sesuatu yang selalu baru
Akan
ada pagi yang terus menyapa hariku
Akan
ada secerca sinar yang terus terbit di saat dunia kerjaku makin sempit
Ada
harapan di balik kisah yang terpenggal-penggal oleh sekelumit rasa
Menghapus
dilemma diri dan memperbaiki krisis
Sejauh
mata memandang, saatnya memang harus diam
Biarkan
jedah bereksplorasi dalam sunyinya waktu
Ada
saat semuanya berlalu
Di
situlah ragaku yang sejenak mati pikun terbangun seketika
Melambaikan
tangan
Kaki
yang saat ini kaku tuk melangkah seakan bangkit merangkak kembali
Semoga
badai ini segera berlalu...
0 Comments