Marianus Seong Ndewi, S.Pd., M.M Guru SMA Negeri 4 Kupang Aktif di Komunitas Secangkir Kopi |
Audan adalah nama seekor burung
yang konon katanya selalu bertengger di tepi jurang. Terus di sana. Menanti dan
terus menanti. Ia seperti sedang merindu. Atau bahkan diserang rindu. Atau
sedang menebar rindu. Kita simpulkan saja,
Audan setia merindu.
"Seperti Audan di tepi
jurang, tak ada yang tahu, dan mungkin mereka tak harus tahu. Air mataku
berderai di sini..." Inilah kalimat pembuka dan sekaligus penutup, puisi
seorang Robert Fahik; Seperti Audan di Tepi Jurang, dalam perjalanannya ke Manggarai Timur, 12
September 2018 silam (Rumah Kedamaian,
2019: 55).
Entah di ranting jenis apa
Audan bertengger. Ataukah ia memilih bersembunyi di balik bongkahan batu yang
mungkin tak kuat menahan kikisan rintik hujan bercampur derai air matanya.
Semua jadi misteri. Untuk apa ia menyendiri? Tak ada yang menemani? Atau ia
terus asyik bernyanyi: "Tuhan kirimkan lah aku, kekasih yang baik hati,
yang mencintai aku, apa adanya..."
Hanya ia sendirian bernyanyi.
Ia bernyanyi untuk dirinya sendiri. Menghibur dirinya sendiri. Sesekali terbang
mencari makanan. Ia harus kembali. Untuk menyendiri. Untuk diri sendiri.
Menimbun rindu. Untuk apa dan siapa? Hanya Audan dan air matanya yang tau.
Ada yang menarik dan unik,
dalam pekan suci, sebelum Tri Hari Suci, pekan dan hari hari yang amat sakral dalam
tradisi gereja Katolik, dimana para umat seharusnya mengisi hari harinya dengan
puasa dan setelahnya 'disempurnakan' pada puncaknya yakni perayaan Ekaristi di Gereja.
Hari hari ini semuanya terasa
hampa. Seperti uapan embun pagi yang beterbangan dari pucuk dedaunan, ingin
bertahan tapi ia harus pergi. Begitu pula guncangan perasaan yang benar-benar
hebat untuk situasi (dunia) saat ini.
Seminggu yang lalu, dalam tulisan di blog pribadi, dengan judul
"Tuhan Merindukan Manusia – Rindu Yang Berkecamuk", saya mencoba
berbela rasa, ingin 'mewakili' perasaan Yesus yang merindukan manusia.
Apanya yang berkecamuk...? Pertanyaan
seperti ini bisa diwakili oleh jawaban (perasaan) manusia saat ini, rindu yang
menggebu gebu untuk ke gereja, bertemu sanak famili, berkunjung ke
handai tolan, berpesta, bertamasya, sekolah, kuliah, dan lain sebagainya. Kira
kira begitu juga perasaan Yesus.
Di pekan ini, rindu Yesus
memuncak. Mulai saat Minggu Palma, umat 'Yerusalem' tahun ini tidak turun ke jalan lagi, mengelu-elukan
Yesus, bernyanyi, memuji – walau separuhnya juga adalah kaum Farisi dan ahli
taurat – tetapi mereka hanya bernyanyi memuji Yesus dari (di) rumahnya
masing-masing. Mungkin ada yang lewat jendela, atau di separuh bilah pintunya,
bahkan bernyanyi sambil menonton layar televisi dan HP pintar.
Bayangkan bertahun tahun Yesus
tidak pernah diperlakukan seperti ini. Bisa saja ia sedih. Rindu. Pilu. Ia
berjalan menunggang seekor keledai sendirian. Tak ada lagi yang membentangkan
dedaunan di jalanan. Tak ada lagi yang menabur bunga wewangian. Tak ada yang
memanggil dan berteriak, "Hosana Putera Daud".
Kosong. Hampa. Jalanan bising
berubah jadi lorong kosong yang pedih dan perih. Siapa peduli? Setelah omong
kosong konspirasi global, semuanya terpaksa stay
at home, work from home, singing from home, pray from home. Sampai kapan?
Yesus sungguh memendam rindu.
Akan dipupuk jadi subur. Padahal Ia sudah tak sabar lagi untuk mencuci kaki
para rasulnya. Kaki kaki yang penuh dengan debu dosa. Kaki yang suka berjalan
ke arah lain. Kaki yang kuat menabur kebaikan. Kaki para utusan. Mesti dicuci.
Agar bersih. Agar benar benar 'telanjang'. Suci lahir dan di dalam batin. Singkirkan
debu yang masih melekat, meminjam kata-kata Ebiet G. Ade dalam lagunya “Untuk Kita Renungkan”.
Yesus sudah rindu mencuci kaki
mereka. Walaupun ada yang akan mengkhianati dengan satu ciuman mesra. Ciuman
yang biasanya mendatangkan cinta-kasih-sayang. Ciuman yang biasanya
menghangatkan, menggantikan bara api unggun tempat para pendaki mendapat
kehangatan.
Kali ini tidak. Ciuman yang
berakhir di ujung tombak. Ciuman yang berakhir di palang hina. Ciuman yang
pedih setajam ujung paku. Ciuman kebencian. Ciuman kehancuran. Ciuman yang
alirkan darah. Ciuman tengkorak di bukit pilu. Bukit jurang, tempat para perindu
menimbun rasa, asa, doa, dan harapan akan lahirnya kehidupan baru. Adakah
burung audan menyaksikan kisah pilu itu?
Kalau ya, apalagi yang ia
rindukan? Apalagi yang ia tangisi? Ketika suara lantang berkumandang: Elloi, Elloi, Lama Sabaktani, akankah itu
memecah kesunyian dirinya? Membunuh waktu kesendiriannya? Air mata jadi mata
air untuk alirkan kehidupan baru? Bergabung dengan cairan hidup merah pekat
yang mengalir dari lambung keselamatan itu?
Sungguh, Audan menjadi bingung,
karena kesunyiannya diusik oleh bunyi tabir surga terbuka, akan lahir
keselamatan: "Sungguh Ia putra Allah".
Hari Minggu fajar akan datang.
Dia yang mati akan bangkit. Kerinduan telah terbayarkan. Cahaya menembus
jendela dan bilah pintu. Jendela dan pintu hati manusia yang selalu peduli
dengan dirinya dan sesamanya. Manusia yang terus menabur kerinduan dalam doa.
Manusia yang selalu setia memberi harapan: Ia benar benar bangkit. Batu penutup
kuburan sudah terguling. Kegelapan sirna.
Tetaplah setia memupuk
kerinduan. Seperti Yesus selalu rindu manusia. Dia juga membutuhkan kita.
Akankah kita merasakan hal yang sama? Intinya tetap setia. Hari hari akan
terang. Cahaya akan datang. Jurang rindu selalu jadi tempat ternyaman bagi
Audan. Mungkin ia sedang berdoa agar manusia juga kuat menanggung derita.
Karena di balik kayu palang hina, ada cahaya. Di balik keteguhan doa, ada
harap. Di balik setia berharap, ada selamat.
Mudah-mudahan tidak ada lagi
ciuman licik setelah makan bersama. Tidak ada lagi sangkalan maut setelah ayam
berkokok tiga kali. Tidak ada lagi kerikil yang mengganjal kaki untuk melangkah
memikul salib kehidupan. Tak ada lagi jurang. Tak ada lagi sendiri. Tak ada
lagi kehampaan. Air mata berubah jadi mata air. Pilu berubah jadi tawa.
2 Comments
Mantap Bpa uskup. 😀😀
ReplyDeletesaya trtarik dgan Ciuman Licik😅 ingin tarik sdkit ke sni.
👇👇
Politik Yudas dan ciuman licik. Dan Politik Cuci tangan ala Pilatus
"Hahahaha
Siaapp... Hehehe
Delete