Sebuah Catatan Perjalanan
Kupang, Cakrawala NTT - Catatan ini adalah sebuah bentuk laporan dari pengalaman dalam mengikuti
perjalanan sekelompok penulis, wartawan dan aktivis yang mengamati ide-ide dari pergerakan untuk
menegakkan kedaulatan pangan di beberapa wilayah di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Ada beberapa tempat yang akan dikunjungi dan salah satunya adalah Pulau
Semau, sebuah wilayah yang termasuk dalam Kabupaten Kupang, dengan karakter kepulaunnya
yang tersendiri, dan cerita tentang pangannya yang juga khas dan tersendiri.
Perkumpulan PIKUL, dengan kampanye
tentang Kedaulatan Pangan yang fokus pada tiga isu besar yaitu: Air,
Pangan, dan Energi mengadakan sebuah kegiatan bertajuk Travel and Writing Visit
Pulau Semau (TWV). Kegiatan ini secara khusus mengambil lokasi di Pulau Semau.
Un Weo salah seorang kordinator pelaksana kegiatan, menjelaskan pada briefing
yang dilakukan pada Sabtu, 8/4/2017 di kantor Perkumpulan PIKUL Jalan Cak Doko
No.4 Oebobo-Kupang, bahwa kegiatan ini merupakan aktifitas jalan-jalan atau
bepergian serta menulis tentang kedaulatan pangan. PIKUL mengajak anak-anak
muda, blogger, dan wartawan untuk dalam rentang waktu satu hari, mengunjungi
sebuah lokasi dan menulis tentang pentingnya kampanye pangan lokal atau pangan
beragam. Briefing tersebut merupakan awal dari aktifitas TWV, dan para peserta
yang hadir antara lain, wartawan dari media lokal, 1000 Guru Kupang, Penulis
dan Blogger Kupang, serta dari Komunitas Kupang Batanam sebuah gerakan yang
secara khusus berfokus pada pemanfaatan
lahan rumah tangga untuk menanam bahan makanan dengan metode-metode sederhana
yang praktis dan ekonomis.
Pada pukul 8.30an dengan menggunakan perahu kecil, rombongan menyebrang
dari Tenau Kupang menuju Pulau Semau. Perjalanan cukup singkat, tidak lebih
dari 20 menit rombongan sampai di pelabuhan rakyat Onanbatu. Dari lokasi tersebut, perjalanan
diteruskan ke desa Uitiuhana yang memakan waktu hampir satu jam. Di desa ini
terdapat Klub Pangan Lokal Dalan Mesa yang telah secara aktif dan penuh
semangat membudidayakan pangan lokal dan metode pertanian organik.
Camat Semau Utara Jhonny Ukat (Paling kiri) bersama rombongan. |
Kunjungan pertama rombongan adalah
menuju sebuah lokasi pertanian di Desa Uitiuhana yang dikelola oleh suatu Kelompok
Tani. Nama kelompok tani tersebut adalah “Kebun Eden”. Sebagian besar penduduk
di Pulau Semau adalah etnis Helong, seperti pula para pengurus di kelompok tani
“ Kebun Eden” ini, Wempy dan Aser. Kedua petani ini mengurus “Kebun Eden” dan
juga sebagai penggerak dari Klub Pangan
Lokal “ Dalan Mesa”. Klub pangan lokal ini adalah tempat di mana kedua petani
ini belajar banyak hal baru. “ Sejak 2014, kami mengikuti bimbingan dari GMI
(Geng Motor Imut) dan PIKUL, dan banyak hal baru yang kami pelajari. Khususnya
mengenai bertani dengan menggunakan pupuk organik, dan menanam pangan lokal”
Tutur Wempy. Rombongan beristirahat di sebuah rumah kecil yang terletak agak di
bagian pinggir dari perkebunan. Dalam waktu istirahat itulah, sebagai tuan
rumah, Wempy dan Aser bercerita banyak soal seputar kegiatan mereka. Topik yang
paling hangat dibicarakan adalah tentang pengembangan pangan lokal.
“Masyarakat di sekitar kita (di Semau) masih menganggap pangan lokal yang
kita kembangkan sebagai sesuatu yang aneh, padahal ini adalah sebuah bagian
dari kebudayaan sendiri”, Tutur Aser.
Semenjak kegiatan pelatihan yang dimulai di tahun 2014 itu, sejumlah
empat belas kelompok tani ikut dalam bimbingan. Berbekal dengan ilmu yang
didapatkan dari pelatihan itu mereka
mengembangkan pertanian pekarangan yang menanam jenis tanaman seperti lombok,
terong, tomat, semangka, dan pepaya. Hasil-hasil pertanian ini kebanyakan
dipakai untuk keperluan makan dalam keluarga mereka sehari-hari. Beberapa hasil
pertanian ini pun dipakai untuk mendapatkan barang-barang lain yang tidak mampu
mereka hasilkan sendiri, atau yang mereka sebut “Barang Kios”. Hasil pertanian
dibarter dengan barang-barang Kios. Dari luas pekarangan pertama yang hanya 25
meter kali 30 meter, kini sudah berkembang sampai 1 Ha. Selain bertanam, mereka
juga mengembangkan usaha lain yaitu beternak. Hewan yang dipelihara antara lain
; Kambing, Sapi, Babi, Ayam, serta ikan Lele dan ikan Nila. Salah satu bentuk
penerapan ilmu yang dipelajari dalam pendampingan adalah penggunaan kotoran
dari hewan peliharaan untuk dijadikan pupuk. “ Orang-orang di sekitar bilang,
Wempi ini sudah gila pikul-pikul kotoran ayam ,sapi, dan babi”cerita Wempi yang
disambut gelak tawa rombongan. Dengan sistem seperti ini petani mendapat hasil
ganda, asupan daging dari tubuh hewan peliharaan dan pupuk dari
kotoran-kotorannya.
Hasil yang mereka dapatkan dari pertanian dengan sistem organik sungguh
luar biasa. Pada tanaman bawang misalnya, dengan menggunakan metode sebelumnya
yaitu pemakaian pupuk kimia, hasil panenan yang tersimpan dapat mengalami
penyusutan bobot dari 50 % hingga 75 %. Dengan teknik pertanian organik,
penyusutan hanya memakan 1% hingga 5 % dari bobot utama. Bawang organik pun
lebih berisi dan lebih tahan terhadap cuaca hujan.
Kisah Pangan Lokal Semau
Usai bercerita di pondok, rombongan beresempatan untuk melihat ladang
Sorgum yang diolah oleh salah seorang petani yang juga anggota dari kelompok
tani “Kebun Eden”. Kehadiran Sorgum di ladang
milik mereka terlihat agak menyolok, karena hanya di tempat ini saja
Sorgum ditanam. Di tengah siang yang panas itu, kami masuk ke ladang Sorgum
yang telah tumbu tinggi. Sekilas tanaman ini mirip jagung, tidak heran, di NTT
ia dikenal juga dengan nama “Jagung Rote”. Bebijian Sorgum tampak penuh dan
lebat menggantung. Hal yang menarik adalah warnanya yang merah kehitaman dan
berkilat-kilat. Sorgum Merah, adalah jenis yang dibudidayakan di ladang itu
dalam bahasa helongnya; “Ngae Ina”. Beberapa
rekan dalam rombongan dengan tak membuang waktu, langsung mengambil gambar dan
bertanya ini-itu kepada pengelola kebun. Di pulau Semau sendiri, Sorgum
merupakan salah satu pangan lokal yang mulai ditinggalkan. Seperti halnya
Wijen, dan Jewawut, pada tahun 2002 masyarakat mulai meninggalkan Sorgum.
Alasannya : beras.
Pondok kelompok tani Kebun Eden. |
“Kami berharap dalam lima sampai enam tahun ke depan, kami bisa mandiri
secara pangan. Telur ayam tak usah lagi datang dari Kupang. Untuk padi, kami
akan kembangkan jenis padi khas Semau, yaitu “Padi Aelbuk dua” yang punya masa
panen pendek.” Jelas Wempy bersemangat. Kelompok tani ini mengembangkan pupuk
organik lokal yang memakai bahan kotoran burung walet dan daun gewang yang
dibakar. Untuk burung walet, memang beberapa lokasi di Semau banyak terdapat
jenis hewan ini.
Jhonny Ukat, camat Semau Utara yang berkesempatan untuk menemui rombongan,
turut membagi cerita dan pandangan-pandangannya. “ Potensi di Semau mulai
terbuka semenjak diadakannya pemekaran pada tahun 2006. Berbagai perkembangan
terutama transportasi terus dilakukan. Hingga sekarang ada sedikit kendala
misalnya seperti soal bibit untuk bawang merah. Kami beharap pemerintah dapat
mempertimbangkan untuk memberikan bantuan bibit kepada tiap kepala keluarga”
tuturnya.
Terpinggirkanya Sorgum dan “teman-temannya” di perkuat dengan adanya rasa
kurang nyaman bila harus menyajikan pangan lokal kepada pengunjung atau tamu
yang datang ke Semau. Hal ini yang diperangi oleh para penggiat pangan lokal
ini. Berani tampil di luar kebiasaan, mereka dengan giat dan penuh rasa
kebanggaan membudidayakan tanaman ini.
Siang itu, perjalanan dilanjutkan dan kami tiba di rumah seorang pejabat
pemerintahan. Samuel Lase, kepala desa Uitiuhtuan, menyambut kami di rumahnya,
dan di situ rombongan makan siang dengan lauk Ikan yang segar, hasil dari
lautan Semau. Di tempat itu juga rombongan dijadwalkan untuk bertemu dengan
seorang penduduk Semau, seorang sepuh, yang darinya akan ada cerita
tentang bencana kelaparan yang mendera
pulau tersebut pada tahun 60an dan 70an.
Rawan pangan pernah menimpa pulau Semau, dan Dominggus Sole (66) adalah
saksi hidup yang mengalami masa susah itu. Pensiunan guru ini bercerita bahwa
penyebab utama rawan pangan adalah masalah kegagalan panen. “ Karena cuaca
buruk, hujan yang tak turun maka padi dan jagung gagal panen semua” kisahnya.
“Saat itu masyarakat harus, dan mau tak mau mencari sumber makanan yang lain,
dan akhirnya mereka harus mengolah tumbuhan-tumbuhan liar. Tumbuhan yang
sebenarnya menurut cerita dari nenek moyang dapat dipakai sebagai makanan.
Tanaman itu seperti; Botok (Jewawut),Batang Gewang, Putak (Helong: Aken),
Kanunak, Buah Lem (bentuknya mirip buah kersen), Mae (yang perlu diolah secara
khusus supaya tak menyebabkan gatal saat dikonsumsi), ubi hutan, Engan, dan
Tuak”.
Masih dengan kisah rawan pangan yang terngiang-ngiang di kepala kami,
kegiatan dilanjutkan dengan berkunjung ke kebun milik kepala desa yang letaknya
tak jauh dari situ. Kebun itu cukup luas, dan tedapat beberapa ekor babi yang
dipelihara dengan kandang khusus. Kandang ini memliki saluran pembuangan yang
bermuara pada saluran pengairan bedeng-bedeng padi, tomat, dan pisang tanah.
Warna hijau mendominasi seisi kebun, dan di beberapa sisi kebun terdapat
kumpulan Sorgum, dari yang jenisnya Sorgum putih.
Sore menjelang. Sesudah kunjungan ke pantai Liman, salah satu titik wisata
yang terkenal di Semau kami kembali ke pelabuhan kecil Onanbatu. Dalam
perjalanan pulang menuju Kupang, di atas perahu yang perlahan membelah ombak
gelap karena matahari memang sudah lama tenggelam, rombongan diam dalam
kepenatan. Kami pulang dengan banyak bawaan. Pepaya dari “Kebun Eden”, dan
pohon kecil Kemanggi yang wanginya begitu kuat, dan sesekali daunnya dikunyah
untuk memberikan rasa hangat di dalam tubuh. (Armando)
0 Comments