Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Kartini-Kartini Tak Berkonde Memperingati HUT Kartini di Pasar dan Bundaran Eltari





Kupang, Cakrawala NTT - HUT Kartini memang merupakan sebuah momen spesial bagi kaum perempuan Indonesia. Maka tidak heran beragam kegiatan dan gerakan kreatif-atraktif yang digalahkan untuk memeriahrayakan hari yang penuh bermakna monumental ini. Adapun intisari dari momen HUT Kartini kali ini jika merujuk pada situasi kondisi sekarang yaitu sebagai  sebuah refleksi filosofis, sosial dan politik tentang citra dan spirit Kartini sebagai salah satu pejuang wanita yang talah mampu mengangkat jatidiri dan martabat kaum perempuan. 
Citra perempuan yang terwakili oleh sosok Kartini adalah kaum  yang tidak bisa disepelehkan eksistensinya sebagai salah tonggak pencerdas kemartabatan bangsa. Paling tidak nuansa perjuangan ini secara tidak langsung sebagai penggerak munculnya spirit perjuangan emansipasi dalam konteks dan kultur Indonesia saat ini yang lazimnya masih didominasi budaya patriarki. Walaupun tak dipungkiri pada ruang-ruang dan kondisi-kondisi tertentu peran dan kekuatan kaum perempuan sudah mendapat tempat yang maksimal.
Di Kota Kupang eforia memperingati HUT Kartini ini juga menggerakan semangat beberapa  perempuan intelektual NTT untuk melakukan satu-dua aksi spontanitas yang cukup menyibak pesan yang mendalam. Aksi yang dicanangkan para perempuan yang mengidentitaskan dirinya sebagai Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini mengusung tema Per(t)empu(r)an Dalam Emansipasi Rasa dan Solidaritas Rasa. Aksi-aksi spontanitas ini dilaksanakan pada hari Jumat 21 Apri 2017 ini tidak begitu lazim yaitu  mengadakan aksi berbela rasa dengan kaum ibu penjual sayur di Pasar Inpres Naikoten-Kupang dan anak-anak dan ibu-ibu penjual koran di Bundaran Eltari. Secara tidak langsung aksi yang dicanangkan ini sebagai bentuk kritik terhadap fenomena perayaan HUT Kartini dewasa ini yang cenderung glamour di gedung-gedung megah ataupun di hamparan-hamparan jalan atau panggung-panggung besar yang secara tidak langsung menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Di mana semuanya sekadar memperkenalkan wajah-wajah kartini-kartini baru yang sudah berkompromi dan tergerus dengan tuntutan arus modernitas zaman ini.
Grace Gracella menjajakan koran di Bundaran Eltari
Keprihatinan ini diamini salah satu promotor aksi bela rasa ini yaitu Grace Gracella. Menurut gadis yang familiar disapa Grace yang kini berstatus sebagai mahasiswa Fakultas FISIP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta, ada banyak hal spesial yang bisa dilakukan untuk memperingati HUT Kartini. Spesial bukan berarti harus dilakukan di gedung-gedung ‘wah’, mewah dan megah yang pada kenyataannya dapat menghabiskan banyak anggaran tetapi bisa dalam bentuk kegiatan-kegiatan spontanitas-hemat biaya tetapi mampu memberikan spirit berbela rasa yang besar bagi perjuangan dan pergolakan hidup kaum perempuan NTT di zaman ini.  Dan untuk memulai pergerakan ini setiap perempuan bisa menunjukkan kemampuannya dengan cara yang khas. Ada banyak ruang dan kesempatan yang bisa diberdayakan untuk saling menggerakkan spirit ini  walaupun hanya melibatkan segelintir orang saja.

“Untuk melakukan gerakan berbela rasa seperti ini butuh hati setiap pribadi yang mau peduli walaupun gerakan kepedulian ini kecil skalanya. Lebih baik kecil tapi memberikan efek dan spirit yang besar dan selalu dikenang daripada besar dan menghabiskan banyak anggaran tapi hanya memberikan efek dan spirit yang kecil dan instan,“ tegas gadis Adonara yang kini menyelesaikan tugas akhir kuliah pada jurusan Hubungan Internasional ini.

Ibu Lanny Koroh berinteraksi dengan seorang pedagang sayur
Hal senada juga ditambahkan ibu Lanny Koroh yang juga merupakan salah satu koordinator inti Perkumpulan Kelompok Perempuan Biasa. Menurutnya, di tengah hiruk pikuk dunia zaman ini yang cenderung akut dengan sikap egoistis dan intoleran, kesadaran untuk berbela rasa perlu diberdayakan secara khusus bagi mereka yang pada tataran ekonomi masih memprihatinkan termasuk yang dialami kaum perempuan. Kondisi seperti inilah yang harus diperjuangkan kaum perempuan zaman ini yang pada kenyataannya juga menjadi tulang punggung keluarga (suami dan anak-anaknya). 
Dalam posisi ini spirit mereka harus dikuatkan dan diberdayakan dengan kekuatan solider rasa empati yang besar bahwa hidup ini memang butuh perjuangan. Dan mereka-mereka yang sedang berjuang ini, kebanyakan tidak kita temukan di mall atau gedung-gedung ‘wah’ dan megah tetapi di sudut-sudut kota, di emperan-emperan jalan, pasar, dan lain-lain. Untuk itu aksi-aksi yang dibuat Kelompok Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini yang cukup kental mengusung nilai solidaritasnya perlu dibumikan menjadi sebuah habitus baru yang terus-menerus diberdayakan oleh sesama kaum kartini zaman ini secara khusus di wilayah NTT.
“Tuntutan hidup di zaman ini memang butuh perjuangan. Perjuangan itu harus dikemas dalam rasa solider yang besar antarsesama kaum perempuan. Ini butuh kepekaan, jika tidak setiap orang akan menjadi manusia egois bahkan intoleran. Semuanya akan berjuang dan bergerak sendiri-sendiri,“ pungkas dosen yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Undayana Bali ini.
Ibu Balkis Soraya Tanof menyapa seorang pedagang sayur
Sedangkan pada tempat yang berbeda pada saat evaluasi, ibu Balkis Soraya Tanof hanya menggarisbawahi sekaligus menekankan kembali pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah diutarakan kedua kopatriotnya itu. Menurutnya, aksi-aksi solidaritas rasa ala kelompok Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini perlu diberdayakan. Harapan ibu yang juga berstatus sebagai dosen, aktivis dan penulis ini, semoga aksi-aksi spontanitas Kelompok Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini memberikan catatan-catatan kecil sebagai kritik bagi kegiatan peringatan HUT Kartini yang cenderung bernuansa ‘wah’, lux, glamour tetapi meninggalkan spirit dan solidaritas rasa yang kerdil, instan dan tidak kontruktif bagi kaum wanita zaman ini. Untuk itu beliau mengharapkan semua peran pelaku pembangunan bangsa secara khusus di Provinsi NTT termasuk media yang merupakan salah satu pelaku agent of changes harus peka sekaligus cerdas untuk memberikan catatan kritis tentang fenomena ini.
“Emansipasi dan solidaritas rasa tentang makna HUT Kartini bukan hanya melulu naik ke atas untuk show keanggunan diri tetapi juga harus berani turun ke bawah untuk bersaksi dengan semangat berbela rasa yang besar pada mereka miskin, kecil, terlantar dan terpinggirkan,“ tegas dosen Sosiologi di Universitas Cendana Kupang ini.
Katrin Lamablawa dan Christin Anakay berkomunikasi dengan seorang Ibu pedagang
Aksi solidaritas rasa untuk kaum perempuan pada HUT Kartini ini  dimulai pada jam 15.00-18.15 dan diikuti kurang lebih belasan perempuan yang datang dari latar belakang profesi yang berbeda-beda antara lain: dosen, aktivis, mahasiswa, sastrawan dan penulis. Hadir juga pada kegiatan itu para awak media dari berbagai media baik media cetak maupun online (EL)

Post a Comment

0 Comments