Kupang, Cakrawala NTT - HUT Kartini memang merupakan sebuah momen spesial bagi
kaum perempuan Indonesia. Maka tidak heran beragam kegiatan dan gerakan kreatif-atraktif
yang digalahkan untuk memeriahrayakan hari yang penuh bermakna monumental ini.
Adapun intisari dari momen HUT Kartini kali ini jika merujuk pada situasi
kondisi sekarang yaitu sebagai sebuah
refleksi filosofis, sosial dan politik tentang citra dan spirit Kartini sebagai
salah satu pejuang wanita yang talah mampu mengangkat jatidiri dan martabat kaum
perempuan.
Citra perempuan yang terwakili oleh sosok Kartini adalah kaum yang tidak bisa disepelehkan eksistensinya sebagai salah tonggak pencerdas kemartabatan bangsa. Paling tidak nuansa perjuangan ini secara tidak langsung sebagai penggerak munculnya spirit perjuangan emansipasi dalam konteks dan kultur Indonesia saat ini yang lazimnya masih didominasi budaya patriarki. Walaupun tak dipungkiri pada ruang-ruang dan kondisi-kondisi tertentu peran dan kekuatan kaum perempuan sudah mendapat tempat yang maksimal.
Citra perempuan yang terwakili oleh sosok Kartini adalah kaum yang tidak bisa disepelehkan eksistensinya sebagai salah tonggak pencerdas kemartabatan bangsa. Paling tidak nuansa perjuangan ini secara tidak langsung sebagai penggerak munculnya spirit perjuangan emansipasi dalam konteks dan kultur Indonesia saat ini yang lazimnya masih didominasi budaya patriarki. Walaupun tak dipungkiri pada ruang-ruang dan kondisi-kondisi tertentu peran dan kekuatan kaum perempuan sudah mendapat tempat yang maksimal.
Di Kota Kupang eforia memperingati HUT Kartini ini
juga menggerakan semangat beberapa perempuan
intelektual NTT untuk melakukan satu-dua aksi spontanitas yang cukup menyibak
pesan yang mendalam. Aksi yang dicanangkan para perempuan yang mengidentitaskan
dirinya sebagai Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini mengusung tema
Per(t)empu(r)an Dalam Emansipasi Rasa dan Solidaritas Rasa. Aksi-aksi spontanitas
ini dilaksanakan pada hari Jumat 21 Apri 2017 ini tidak begitu lazim yaitu mengadakan aksi berbela rasa dengan kaum ibu penjual
sayur di Pasar Inpres Naikoten-Kupang dan anak-anak dan ibu-ibu penjual koran di
Bundaran Eltari. Secara tidak langsung aksi yang dicanangkan ini sebagai bentuk
kritik terhadap fenomena perayaan HUT Kartini dewasa ini yang cenderung glamour
di gedung-gedung megah ataupun di hamparan-hamparan jalan atau
panggung-panggung besar yang secara tidak langsung menghabiskan puluhan bahkan
ratusan juta rupiah. Di mana semuanya sekadar memperkenalkan wajah-wajah
kartini-kartini baru yang sudah berkompromi dan tergerus dengan tuntutan arus
modernitas zaman ini.
Grace Gracella menjajakan koran di Bundaran Eltari |
Keprihatinan ini diamini salah satu promotor aksi bela
rasa ini yaitu Grace Gracella. Menurut gadis yang familiar disapa Grace yang
kini berstatus sebagai mahasiswa Fakultas FISIP Universitas Pembangunan Nasional
(UPN) “Veteran” Yogyakarta, ada banyak hal spesial yang bisa dilakukan untuk memperingati
HUT Kartini. Spesial bukan berarti harus dilakukan di gedung-gedung ‘wah’,
mewah dan megah yang pada kenyataannya dapat menghabiskan banyak anggaran
tetapi bisa dalam bentuk kegiatan-kegiatan spontanitas-hemat biaya tetapi mampu
memberikan spirit berbela rasa yang besar bagi perjuangan dan pergolakan hidup
kaum perempuan NTT di zaman ini. Dan
untuk memulai pergerakan ini setiap perempuan bisa menunjukkan kemampuannya
dengan cara yang khas. Ada banyak ruang dan kesempatan yang bisa diberdayakan untuk
saling menggerakkan spirit ini walaupun
hanya melibatkan segelintir orang saja.
“Untuk melakukan gerakan berbela rasa seperti ini
butuh hati setiap pribadi yang mau peduli walaupun gerakan kepedulian ini kecil
skalanya. Lebih baik kecil tapi memberikan efek dan spirit yang besar dan selalu
dikenang daripada besar dan menghabiskan banyak anggaran tapi hanya memberikan
efek dan spirit yang kecil dan instan,“ tegas gadis Adonara yang kini menyelesaikan
tugas akhir kuliah pada jurusan Hubungan Internasional ini.
Ibu Lanny Koroh berinteraksi dengan seorang pedagang sayur |
Hal senada juga ditambahkan ibu Lanny Koroh yang juga
merupakan salah satu koordinator inti Perkumpulan Kelompok Perempuan Biasa.
Menurutnya, di tengah hiruk pikuk dunia zaman ini yang cenderung akut dengan sikap
egoistis dan intoleran, kesadaran untuk berbela rasa perlu diberdayakan secara
khusus bagi mereka yang pada tataran ekonomi masih memprihatinkan termasuk yang
dialami kaum perempuan. Kondisi seperti inilah yang harus diperjuangkan kaum
perempuan zaman ini yang pada kenyataannya juga menjadi tulang punggung keluarga
(suami dan anak-anaknya).
Dalam posisi ini spirit mereka harus dikuatkan dan diberdayakan dengan kekuatan solider rasa empati yang besar bahwa hidup ini memang butuh perjuangan. Dan mereka-mereka yang sedang berjuang ini, kebanyakan tidak kita temukan di mall atau gedung-gedung ‘wah’ dan megah tetapi di sudut-sudut kota, di emperan-emperan jalan, pasar, dan lain-lain. Untuk itu aksi-aksi yang dibuat Kelompok Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini yang cukup kental mengusung nilai solidaritasnya perlu dibumikan menjadi sebuah habitus baru yang terus-menerus diberdayakan oleh sesama kaum kartini zaman ini secara khusus di wilayah NTT.
Dalam posisi ini spirit mereka harus dikuatkan dan diberdayakan dengan kekuatan solider rasa empati yang besar bahwa hidup ini memang butuh perjuangan. Dan mereka-mereka yang sedang berjuang ini, kebanyakan tidak kita temukan di mall atau gedung-gedung ‘wah’ dan megah tetapi di sudut-sudut kota, di emperan-emperan jalan, pasar, dan lain-lain. Untuk itu aksi-aksi yang dibuat Kelompok Perempuan Biasa dalam Secangkir Kopi ini yang cukup kental mengusung nilai solidaritasnya perlu dibumikan menjadi sebuah habitus baru yang terus-menerus diberdayakan oleh sesama kaum kartini zaman ini secara khusus di wilayah NTT.
“Tuntutan hidup di zaman ini memang butuh perjuangan.
Perjuangan itu harus dikemas dalam rasa solider yang besar antarsesama kaum
perempuan. Ini butuh kepekaan, jika tidak setiap orang akan menjadi manusia
egois bahkan intoleran. Semuanya akan berjuang dan bergerak sendiri-sendiri,“ pungkas
dosen yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Undayana
Bali ini.
Ibu Balkis Soraya Tanof menyapa seorang pedagang sayur |
Sedangkan pada tempat yang berbeda pada saat evaluasi,
ibu Balkis Soraya Tanof hanya menggarisbawahi sekaligus menekankan kembali
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah diutarakan kedua kopatriotnya itu.
Menurutnya, aksi-aksi solidaritas rasa ala kelompok Perempuan Biasa dalam
Secangkir Kopi ini perlu diberdayakan. Harapan ibu yang juga berstatus sebagai dosen,
aktivis dan penulis ini, semoga aksi-aksi spontanitas Kelompok Perempuan Biasa
dalam Secangkir Kopi ini memberikan catatan-catatan kecil sebagai kritik bagi
kegiatan peringatan HUT Kartini yang cenderung bernuansa ‘wah’, lux, glamour tetapi meninggalkan spirit
dan solidaritas rasa yang kerdil, instan dan tidak kontruktif bagi kaum wanita zaman
ini. Untuk itu beliau mengharapkan semua peran pelaku pembangunan bangsa secara
khusus di Provinsi NTT termasuk media yang merupakan salah satu pelaku agent of changes harus peka sekaligus cerdas
untuk memberikan catatan kritis tentang fenomena ini.
“Emansipasi dan solidaritas rasa tentang makna HUT
Kartini bukan hanya melulu naik ke atas untuk show keanggunan diri tetapi juga harus berani turun ke bawah untuk
bersaksi dengan semangat berbela rasa yang besar pada mereka miskin, kecil, terlantar
dan terpinggirkan,“ tegas dosen Sosiologi di Universitas Cendana Kupang ini.
Katrin Lamablawa dan Christin Anakay berkomunikasi dengan seorang Ibu pedagang |
Aksi solidaritas rasa untuk kaum perempuan pada HUT
Kartini ini dimulai pada jam 15.00-18.15
dan diikuti kurang lebih belasan perempuan yang datang dari latar belakang profesi
yang berbeda-beda antara lain: dosen, aktivis, mahasiswa, sastrawan dan penulis.
Hadir juga pada kegiatan itu para awak media dari berbagai media baik media
cetak maupun online (EL)
0 Comments