Thadeus Edison Putra *
CERPEN
RASA PUN TERBAGI
Saat kucoba menebar rasa dalam
pergulatan semu yang membuatku tak dapat berpikir leluasa untuk menebar riuhnya
pesona cinta. Ya cinta, satu ekspresi kata yang kadang tak membuatku tak
bergumul terlalu lama dalam situasi ini. Banyak orang mengutarakan bahwa cinta
laksana air yang keluar dari pusat padang gurun yang seakan menjadi penyegar
dahaga jiwa serta penyejuk batin. Di lain sisi, cinta adalah hembusan kata yang
tak bisa dipeka langsung oleh visualisasi namun dapat merangkaikan sejuta
sensasi yang dapat disadur dalam sederet rima indah puisi dengan menghadirkan
berbagai situasi. Ada suka maupun duka. Begitu juga pertemuan tak selamanya
lekang tanpa adanya perpisahan. Ya, itulah mood cinta. Suka atau tidak anda
harus berlapang dada menyikapi pergulatan tersebut.
Ketika orang di luar sana
berlomba-lomba dalam mengejar panorama cinta. Aku lebih memilih tuk berdiam
diri. Lugu tak berdaya. Diam bukan berarti aku tak peka berproses dalam
melabuhi gelagat itu. Namun, sesungguhnya diri ini terasa lebih nyaman dengan
situasi yang sedang ku jalani sekarang. Menghabiskan malam dengan tumpukan
tugas, bercanda bersama teman-teman di pelataran kos, atau sekedar beradu
energi pada aktivitas lain yang tentu ingin menyudahi hari serta menghapus arti
dari kesunyiaan. Namun, seiring berjalannya waktu, suasana yang ku agungkan
tersebut mulai ditelan oleh kebisuan rasa. Batin seakan menjadi kejam ketika
menyaksikan teman-temanku bergumul rasa dalam ikatan satu hati dengan pasangan
sejatinya masing-masing. Bergandengan tangan, bertukaran kado, sampai
bergantian kartu ponsel hingga tak terasa terjerumus dalam kenikmatan duniawi.
Lama-lama hal inilah yang menjadi akut ketenangan batinku.
Kadang dalam kesunyian aku sering
bergumam, ”Apakah ini kadar motivasi sesungguhnya dari percintaan?”
“Haruskah aku berlabuh ke alam
tersebut secepatnya?’’ batinku.
Pejam tak terbantahkan. Hingga akhirnya
aku dikagetkan dengan nada pesan masuk di nokia buntutku. ‘’Kak, aku rasa
saatnya aku harus pergi”, gurau pesan itu.
Sontak, aku terbangun dari
lamunanku. Kuselami kata demi kata. Memastikan bahwa aku tak berada di samudera
mimpi. Nyata. Kucoba memencet tombol call. Namun, hasilnya nihil. Rupanya,
suara yang kudapati hanyalah pesan di luar jangkuan. Hatiku bersusah payah
memerangi semrawutnya batin . Berlari tak tahu arah. Ke manakah aku memulai
langkah. Menggapai dia di sana yang kesemuannya terpampang jelas dalam logika
sehatku. Aku pun tak karuan. Segera kudapati skywave
Suzuki
hitamku. Segera kulabuhkan diriku berpetualang ke tempat tinggalku.
Hati pun bertanya-tanya, ”ada apa
di balik semua ini?”
Terasa begitu aneh bagiku. Aku
pun masih terkenang saat bersamanya. Saat dia memberikan senyum simpulnya
kepadaku di tempat fotokopi itu. Beradu pandang dalam
suasana kelinglungan batinku. Aku pun terobsesi dalam rasa cinta kala itu. Saat
kucoba melayangkan hembusan perasaanku kepadanya di bawah rimbunan pohon gamal di sebelah warung kopi di
kampusku.
Sesekali tatapannya tajam
memandangi onggokan karang yang saat itu menjadi saksi bisu empat mata kami.
Dari raut mukanya menggambarkan bahwa dia sedang dalam kegelisahan. Dia pun
membuka kembali kebekuan suasana tersebut.
“Kak. Jujur saja, sebenarnya saya
memiliki rasa yang sama terhadap kak. Tapi,untuk saat ini saya minta maaf kak.
Bukannya, saya tak menghargai perasaan sukanya kak kepada saya. Tapi, saya tak mau
kak menyesali suatu saat nanti saat kita menjalinkan suatu hubungan,” imbuhnya
dengan sketsa wajah yang tak dari biasanya.
“Apa yang terjadi padamu?” sambungku.
“Ini privasi kak. Supaya kak tahu
bahwa saya sudah ada hubungan special dengan orang lain,” timpalnya.
Hening. Diam tak ada limitnya.
Serasa ribuan kosakata yang telah dipelajari tertelan oleh keganasan sang terik
mentari. Sesekali pohon lontar melambaikan dedaunanya ke kiri dan ke kanan yang
seakan menyembunyikan peraduan birunya langit. Sungguh, rasa itu sudah mulai
tercecer rapi pergi bersama terbangnya abu-abu putih di depan persimpangan
jalan itu. Rasa yang membuatku berada dalam keadaan penuh harap untuk
menggapainya. Gelora kebersamaan yang mendalangi makna diujung makna suatu
pertemuan lambat laun harus kubingkiskan jauh-jauh bersama kaburnya mentari
diujung perantauan hari.
Dan tiba-tiba aku pun dikagetkan
dengan kerumunan orang di tepi kiri kanan jembatan tua di kota kecil ini. Kata
orang di luar sana, kota ini merupakan salah satu kota yang sangat menjunjung
tinggi arti dari persaudaraan. Terbukti, status sebagai ”Kota Kasih” masih
disandang sampai saat ini. Ironisnya, penyandangan simbolis tersebut seakan
terlelap dalam berbagai tindakan asusila yang menghanyutkan nyawa di tempat
yang sarat akan nilai kesakralan ini, di jembatan tua ini . Segera kuparkir
sepeda motorku dan beralih ke tempat yang sudah dipenuhi oleh bervarian kepala.
Botak, bulat, lonjong, keriting, hingga lurus menjadi santapan para jurnalis
dalam meliput hebohnya suasana panas saat itu.
Aku pun menghampiri pria separuh
baya yang tepat berdiri di sudut beton jembatan tua itu. Perawakannya tinggi.
Dari raut wajahnya sudah menjelaskan bahwa dia sudah berumuran 50 tahun ke
atas. Di mulutnya tedapat sekumpulan sirih pinang yang terus dimamahnya hingga
menyerupai sekumpulan air berwarna merah kental. Sungguh nikmat dia menikamati
suasana tersebut.
“Maaf. Apa yang sedang terjadi, Pak?”
tanyaku.
“Cerita lama, nak,’’ jawabnya.
Aku pun memahami maksud dari
jawaban singkatnya.
Mataku seakan berhenti saat aku
mendapati sehelai kertas yang berada di bawah pijakan kaki kananku. Dari
tampangnya tentu mengisyarakatkan adanya hubungan dengan apa yang terjadi.
“Tapi untuk apa dia menulis pesan
segala kaya adegan di film saja?” protesku.
Segera kuraih barang tersebut dan
mulai melihat isinya.
”Apa ???!!!”
Aku pun terperangah sesaat.
Rasanya dentuman halilintar menghantam sukma hati. Gendang telinga serasa
membengkak ketika sekerumunan orang pun mulai menghampiriku. Serta menanyakan
apa yang aku bacakan. Rasanya aku ingin berada di bawah sana bersamanya.
Bersama dia yang sempat membuatku gila akan tatapannya di tempat fotokopi saat
itu. Menghabiskan kembali waktu bersama di sebelah warkop di kala itu.
Sungguh, hati tak kuasa menerima
semuanya berakhir seperti ini. Tapi, takdir berkata lain. Dalam secarik kertas
itu dia berkeluh tentang masa depannya yang suram akibat terpaksa menanggung
beban menjadi ibu rumah tangga seketika. Dia malu akan semuanya itu sedangkan
pahlawan yang berlabuh di hatinya sudah mengarungi bahtera cinta yang lain
dengan orang di luar sana.
“Biarkan
aku harus mengikhlaskan semuanya terjadi. Mungkin aku tidak datang
menyelamatkanmu di saat yang tepat. Tapi, seutuhnya rasa ini harus cepat
terbagi di sini karena sesungguhnya kita tak ditakdirkan tuk bersama.
Izinkanlah jembatan ini menjadi saksi bisu atas tercecernya rasa kita.
Perintahkanlah udara agar menerbangkan rasa-rasa yang terpenjara ini di antara
hembusan sepoinya angin malam yang hanya menyisakan serpihan-serpihan cahaya
dari kisi-kisi kecil awan yang tak sanggup menahan cahaya rembulan.”
*Mahasiswa semester V UNDANA
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
2 Comments
Terima kasih MPC NTT. Media pembaca yang berkualitas. Maju terus MPC khususnya halaman "Here We Are".
ReplyDeletetelah dimuat dan diterbitkan oleh MPC NTT dalam Majalah Edisi 60 halaman 46
ReplyDelete