![]() |
Elisabeth Elensia, Siswi SMAN Bola, Maumere. |
Indahnya bulan purnama tak seindah
cinta dan kasih sayang seorang ibu. Ibu sering menghabiskan waktu bersamaku.
Mengalami suka dan duka hidup yang muncul silih berganti. Ibu tercinta bagaikan
malekat perkasa yang selalu ada setiap waktu.
Saat aku merasa kesepian, ibu hadir
bagaikan pelangi dengan sejuta kebahagiaan. Ketika sakit menggerogoti tubuhku,
di sana ia ada untuk merawat aku. Kasih dan sayangnya sungguh tak pernah habis
walaupun terkadang aku membuatnya terluka. Bahkan ia sempat menjatuhkan air
mata karena ulah dan perilakuku. Tapi ibu, tetaplah yang terbaik bagiku.
Masih teringat
dalam benakku pengalaman penuh arti bersama ibu. Waktu itu aku masih kecil.
Kami tinggal di mess. Kebanyakan waktu kami lalui tanpa bapak. Bukan karena
bapak pergi meninggalkan kami. Tapi karena tempat kerjanya yang cukup jauh
sehingga tidak bisa
setiap waktu ada bersama kami.
Waktu itu aku
sering sakit. Rumah sakit nampaknya seperti rumah kedua bagiku. Pasalnya,
hampir setiap bulan ibu mengantarkan aku untuk berobat. Pernah juga seorang
suster berkomentar lepas kepada ibu. “Ibu, anak ini tidak di kasi
makan ko sehingga datang berobat terus!”. Ibu kelihatannya hampir
menangis saat mendengar komentar itu. Tapi tidak. Ibu nampak tegar. Ia berusaha
menahan air mata. Ia tidak mau rasa sakit yang merasuki dirinya diketahui orang
lain termasuk aku.
Dengan tenang
tapi pasti ibu tersenyum kepada suster yang sempat berkomentar. Kemudian dengan
suara serak ibu coba memberi penjelasan seadanya. “Anak saya memang kondisinya
lemah. Tapi sungguh dia adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuk
saya.”
Mendengar
jawaban ibu, aku yang saat itu bersama ibu, hampir menangis. Tak pernah
kubayangkan betapa besar kasih seorang ibu. Kondisiku yang terus-menerus
sakit tidak pernah mengurangi rasa cintanya terhadap aku. Apa pun kondisi yang
aku alami, tetap saja ibu melihat aku sebagai anugerah istimewah dari sang
pencipta.
Kasih ibu yang
luar biasa terhadap aku tidak hanya nampak jelas saat aku sakit. Tapi nampak juga
dalam situasi yang sebaliknya. Ketika aku sedang senang dan gembira, di sana
perhatian dan cinta tak pernah luntur. “Puji Tuhan! Puji Tuhan!”, itulah
ungkapan batin yang selalu beregetar dalam jiwa ibuku.
Aku masih ingat
peristiwa luar biasa yang aku alami bersama ibu. Waktu itu, aku duduk di kelas
tujuh SLTP. Aku sekolah ditempat ibuku mengajar. Ibuku mengajar mata
pelajaran biologi.
Saat itu, aku
selalu menjadi kebanggaan bagi ibu. Mulai dari mid semester 1, aku selalu
menjadi yang terbaik di kelasku. Bahkan selama kelasVII aku
mendapat peringkat satu. Para guru selalu memberikan pujian. “Apakah karena
ibuku adalah guru di sekolah itu sehingga pujian bertubi-tubi ditujukan
untukku?”. Pertanyaan seperti itu selalu terlintas dalam diriku. Tapi
tidak. Sekali lagi tidak. Aku adalah pribadi istimewa yang selalu menjadi
kebanggaan ibuku dan juga sesama.
Aku juga masih
ingat betul ketika aku duduk di kelas VIII. Karena keberhasilanku di kelas VII, saat kelas VIII aku
diposisikan di kelas inti. Saat itu kelas initinya adalah kelas VIII B. Aku
sungguh amat bangga dengan diriku. Namun rasa bangga itu tidak pernah membuat
aku sombong atau bahkan menganggap diri paling luar biasa. Sebaliknya aku
semakin ditantang untuk rendah hati dan terus mengasah diri.
Saat berada di
kelas VIII semester 1, aku bersama
dua orang teman dipilih untuk mewakili sekolah dalam lomba CCA biologi. Yang
luar biasanya lagi, dalam lomba itu sekolah kami mendapat juara satu. Timku
berhasil mengalahkan lawan-lawan tangguh dari sekolah lain. Jujur saja aku
sangat bangga dengan keberhasilan yang diperoleh.
Namun bagiku,
keberhasilan yang diperoleh adalah keberhasilan bersama. Tidak hanya
keberhasilan aku bersama kedua temanku. Tapi juga keberhasiln guru pembimbing
yang setia memberikan pendampingan. Lebih dari itu adalah keberhasilan sekolah
yang memberikan kesempatan untuk aku dan kedua temanku tampil dalam perlombaan.
Rasa bangga yang
aku alami tidak pernah terlupakan. Apalagi selang satu hari sesudah perlombaan
itu, aku mendapat hadiah istimewah dari ibuku. Tak kusangka-sangka ibuku
memberikan hadiah sebuah handphone. “Trima kasih nak untuk prestasi yang telah
engkau tunjukkan. Ibu bangga mempunyai buah hati sepertimu,”demikian kata-kata
ibu setelah memberikan hadiah untukku.
Pengalaman demi
pengalaman yang telah aku rajut bersama ibu kini tinggal kenangan. Kebersamaan
fisik antara aku dan ibu telah menjadi titik finish. Waktu yang sudah memberi
kemungkinan untuk memulai kini hadir mengakhiri segalanya.
Tak pernah aku
bayangkan, hari itu menjadi hari terakhir dari sebuah kebersamaan antara aku
dan ibu. Malekat maut tiba-tiba datang memisahkan kami. Rasanya aku tidak mampu
menghadapinya . Aku merasa dunia sepertinya gelap gulita.
Derai tangis dan
air mata mengiringi kepergiannya. Rasa kehilangan pelan-pelan meggerogoti
tubuhku. “Mampukah aku hidup tanpa kehadiran seorang ibu?, ”pikirku saat
itu. Membayangkan saja rasanya tidak mampu apalagi mengalaminya. Sungguh pedih
rasanya.
Aku kemudian
membayangkan betapa kerasnya kehidupan ini. Tapi apa daya. Roda waktu tidak
bisa diputar ulang. Pengalaman bersama ibu tidak akan pernah kembali lagi.
Kerinduaan untuk bersama ibu, tinggallah kerinduan.
Ingin rasanya
aku naik ke tangga surga untuk melepaskan rindu. Tapi itu cumalah khayalan.
Dunia sudah jadi nyata saat ini. Ibu telah tiada. Hanya satu yang paling pasti,
doaku buat ibu. Semoga surga menjadi rumah kediamanya. (*)
Sumber: Majalah Cakrawala
NTT edisi 43
0 Comments