Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

INOVASI NTT Gelar Kunjungan ke Rumah Literasi Cakrawala NTT, Bahas Persoalan Anak Tidak Sekolah (ATS)

Pose bersama usai diskusi.

 

Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Di pelataran Rumah Literasi Cakrawala NTT, Noelbaki, Kabupaten Kupang, puluhan anak sedang menikmati akhir pekannya dengan beragam aktivitas, Sabtu (2/8/2025). Ada yang membaca, bermain dengan media edukatif, dan beberapanya duduk dalam kelompok-kelompok pengembangan bakat. Aktivitas akhir pekan ini merupakan salah satu program yang diinisiasi oleh Rumah Literasi Cakrawala NTT untuk mendukung peningkatan literasi dan pengembangan bakat anak-anak dari berbagai jenjang pendidikan dengan bantuan relawan.

 

Di sela-sela aktivitas tersebut, INOVASI NTT, sebuah program kemitraan antara Pemerintah Australia dan Indonesia di wilayah kerja NTT, hadir dan mendukung anak-anak yang sedang bergiat dengan kesibukan masing-masing. Hironimus Sugi, Provinsial Manager Inovasi NTT, turut berpartisipasi dan bermain bersama anak-anak. Ia mengarahkan anak-anak untuk berkumpul, membentuk lingkaran, dan saling bercerita tentang cita-cita.

 

“Ayo! Semuanya membentuk lingkaran sambil bernyanyi. Kalau saya bilang berhenti, maka setiap anak harus membuat kelompok yang terdiri dari tujuh orang!” ujarnya.



Setiap anak sigap membentuk formasi lingkaran sambil bernyanyi. Kemudian, dengan satu arahan, mereka membentuk kelompoknya masing-masing. Setiap anak mulai memperkenalkan diri, saling berkenalan, dan bercerita tentang cita-citanya.

 

“Saya mau menjadi guru supaya bisa mengajar di sekolah,” ucap Andre, salah satu anak yang rajin mengunjungi Rumah Literasi Cakrawala NTT pada setiap akhir pekan.

 

Permainan yang dimainkan oleh anak-anak beserta relawan tersebut menyimpan pesan dan makna yang mendalam. Ada asa yang tersirat di balik ucapan tentang cita-cita pada masa mendatang. Tidak ada paksaan, semuanya mengalir begitu saja dengan balutan kepolosan. Mereka berbicara dengan hati, menggumam penuh arti, seolah ingin mengatakan, “Saya bisa menjadi orang yang berguna di kemudian hari”.



Ngopi Sore dan Pembahasan Anak Tidak Sekolah

 

Usai bermain dengan anak-anak, Tim Inovasi NTT bersama Yayasan Rumah Literasi Cakrawala NTT menggelar diskusi dengan nuansa ngopi sore di Rumah Literasi Cakrawala NTT. Diskusi tersebut diikuti oleh Ketua Majelis Jemaat GMIT Pengharapan Dendeng dan jajarannya, Komunitas Dendeng Nekmese, Relawan Multikultural dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Tim Pengajar Sekolah Menulis Cakrawala NTT, Staf Redaksi Media Pendidikan Cakrawala NTT, serta orang tua dan masyarakat sekitar.

 

Pada kesempatan tersebut, Direktur Yayasan Rumah Literasi Cakrawala NTT, Gusty Rikarno, menyampaikan apresiasi kepada Tim INOVASI NTT yang telah berkunjung dan berpartisipasi dalam diskusi tersebut. Ia menjelaskan, diskusi tersebut mengusung tema “Anak Putus Sekolah, Tanggung Jawab Siapa?” yang menyoroti persoalan pendidikan Indonesia masa kini.

 

“Diskusi ini menjadi bagian dari cara kita menyambut HUT ke-80 RI dengan menyoroti persoalan pendidikan yang tengah mendera,” tukasnya.


Diskusi tersebut menghadirkan dua pembicara utama, yakni Hironimus Sugi serta Akademisi dan Praktisi Pendidikan, Zet Malelak. Keduanya memberikan pandangan terkait kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya NTT, sekaligus memantik diskusi.



Dalam penjelasannya, Hironimus menyoroti Program Pendidikan Wajib 13 Tahun yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029. Program ini mencakup wajib belajar 1 tahun prasekolah (PAUD) serta 12 tahun pendidikan dasar dan menengah.

 

“Kebijakan ini sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan akses dan pemerataan pendidikan,” ungkapnya.

 

Namun, dalam kenyataannya, menurut Hironimus, program tersebut sering berbenturan dengan maraknya persoalan Anak Tidak Sekolah (ATS), baik yang belum mengenyam pendidikan sama sekali, drop out atau tidak menyelesaikan pendidikan, maupun tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Persoalan ini, sambungnya, juga banyak terjadi di Provinsi NTT.

 

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ombudsman Perwakilan NTT, jumlah ATS di Provinsi NTT mencapai 145 ribu anak yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Data ini, lanjut Hironimus, memperlihatkan ketimpangan di tengah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

“Persoalan ATS ini memang patut mendapatkan perhatian serius, apalagi di tengah trend anak putus sekolah,” tambah Hironimus.



Melihat Kondisi Pendidikan

 

Penjelasan dan pandangan yang diberikan oleh Provinsial Manager Inovasi NTT tersebut mampu memantik diskusi bersama. Merci Polly, Guru Sekolah Dasar (SD) Negeri Dendeng, menanggapi pandangan tersebut dengan menceritakan pengalamannya selama mengabdi sebagai seorang guru. Ia pernah mengajar peserta didik yang belum bisa membaca dengan baik dan benar. Kondisi ini, menurut Merci, sangat memprihatinkan, sebab kecakapan literasi, khususnya membaca dan menulis, adalah hal dasar yang wajib dimiliki.

 

Merci mengatakan, kondisi pendidikan tersebut bisa menjadi salah satu faktor penyebab persoalan anak putus sekolah.

 

“Persoalan rendahnya literasi, khususnya membaca dan menulis, ini sering saya temui. Kondisi ini sangat memprihatinkan, apalagi literasi ini adalah hal dasar yang wajib dimiliki,” ujarnya di hadapan peserta diskusi.



Namun, dengan kesabaran dan keuletan, Merci berhasil meningkatkan kecakapan literasi di kalangan peserta didik dengan metode yang dibuatnya sendiri. Meskipun tidak mudah, Merci tetap berusaha untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi anak-anak didiknya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Senada dengan itu, Hironimus juga menekankan pentingnya penguatan literasi, numerasi, karakter, dan daya juang dasar di kalangan peserta didik.

 

“Semua itu harus dibiasakan dan ditanamkan dalam diri anak-anak kita,” tambahnya.

 

Membangun Tanggung Jawab Bersama

 

Lebih lanjut, Hironimus menyoroti persoalan ATS dan kondisi pendidikan sebagai persoalan bersama. Hal ini, jelasnya, tidak bisa dibebankan bagi satu pihak semata, misalnya pemerintah atau sekolah, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, ungkapnya, wajib menyediakan akses pendidikan yang layak bagi masyarakat, sedangkan masyarakat harus mengoptimalkannya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

“Tanggung jawab ini menyangkut banyak pihak. Semua harus memiliki kepedulian dan kesadaran akan persoalan ini,” tukasnya.

 

Ia menuturkan, guru sebagai pengajar dan pendidik harus memiliki kompetensi dan profesionalisme yang layak untuk memberikan pelayanan pendidikan yang tepat bagi peserta didik. Hal ini, sambung Hironimus, harus diperhatikan secara berjenjang, bahkan sejak masa pendidikan tinggi.



Di akhir diskusi, Hironimus kembali menekankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi dalam mewujudkan pendidikan yang layak, baik secara formal maupun nonformal. Ia turut mengapresiasi terobosan yang dilakukan oleh Yayasan Rumah Literasi Cakrawala NTT dalam menyediakan ruang pengembangan diri dan peningkatan literasi bagi anak-anak. Menurutnya, hal-hal positif ini bisa mendorong terbentuknya generasi yang literat.

 

“Anak-anak bisa tumbuh dan berkembang bila ada kerja sama dan tanggung jawab bersama. Dengan cara ini, kita bisa membantu mereka menjadi orang yang berguna di kemudian hari” pungkasnya. (MDj/red)      


Post a Comment

0 Comments