Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

KUDANG LAISKODAT, TOKOH PEJUANG KARISMATIK TIMOR ABAD XVII

 



Oleh : Robby A. Ndun



CAKRAWALANTT.COM - Tokoh pejuang karismatik ini berasal dari suku Helong. Suku Helong menyebutnya “Aka Kudang Neno Laiskodat” atau kesehariannya disebut “Koen Laiskodat”. Orang Belanda menyapanya dengan “Kudang” atau “Kuda” serupa dengan bentuk kakinya yang kuat dan kokoh seperti kaki kuda, serta kekuatannya sama seperti kekuatan seekor kuda. Ia mempunyai kekuatan fisik yang kuat sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat Helong.

 

Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Helong, “Aka” adalah seorang Pemuka Adat dan Meo (Panglima Perang) yang memiliki tanah yang luas atau Tuan Tanah (Dale Lama Tua). Dalam sistem adat Helong, Kudang diberikan tugas mulia, yakni sebagai pengawas tanah suku dan juga memiliki kewenangan untuk membagi-bagikan tanah suku kepada masyarakat yang belum mempunyai tanah garapan dan tempat tinggal.

 

Pembagian tanah kepada masyarakat dengan syarat harus mengelola dengan baik dan bertanggung jawab kepada Yang Maha Tinggi, sesama maupun lingkungan hidupnya. Jika tanah yang diberikan tidak dimanfaatkan, maka diberi teguran keras dan bahkan tanah itu diambil kembali untuk selanjutnya diberikan kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan.

 

Masyarakat Helong dan sekitarnya memandang bahwa tanah adalah milik Raja. Hasil panen setiap tahun harus diserahkan atau “susut” sebagian kepada Raja atau Tuan Tanah. Penyerahan hasil panen oleh masyarakat petani menunjukkan tanda kesetiaan dan rasa hormat berdasarkan hati nurani yang tulus dan ikhlas kepada Raja atau Tuan Tanah serta dimaksudkan pula sebagai ucapan syukur kepada Wali Yang Maha Tinggi. Masyarakat petani juga bergotong-royong menyiapkan kebun raja atau “klap itu” karena memandang Raja atau Tuan Tanah tidak boleh bekerja dan berdiri di tempat yang panas. Masyarakat petani menyayangi dan menghormati Tuan Tanah atau Raja dan sebaliknya, Tuan Tanah atau Raja selalu menyayangi dan melindungi masyarakatnya dari masa ke masa.



Ketenteraman dan kedamaian tersebut pun terusik manakala kedatangan Bangsa Portugis dan Belanda ke Kupang, Pulau Timor. Kehadiran mereka mula-mula disambut dengan baik dan penuh kekeluargaan, bahkan diterima secara adat menurut tata adat Helong, “basan”. Melalui basan, maka adanya mata rantai persaudaraan dan harmonisasi antara masyarakat Helong dan Bangsa Barat yang ditunjukkan dengan rasa hormat, komunikasi dan dialog yang baik, serta perilaku adaptif kepada pemimpin lokal.

 

Namun, sikap mesra Bangsa Barat tidak berlangsung lama. Mereka mempunyai misi ingin menjajah sehingga lambat laun menjenuhkan dengan melakukan tindakan sewenang-wenang dan melakukan tipu muslihat. Ulah mereka menimbulkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikis, sehingga membebani kehidupan masyarakat yang diigambarkan secara lengkap oleh Jecques Etienne Victor Arago (1790-1855), seorang penjelajah dan seniman Perancis yang berkunjung ke Kupang tahun 1817.

 

Dengan melihat penindasan yang sangat kejam dan tidak manusiawi yang dilakonkan oleh Bangsa Barat, maka muncullah seorang figur pejuang yang hendak berjuang dan rela berkorban untuk membela masyarakatnya. Sosok pejuang itu adalah Kudang Laiskodat. Tokoh pejuang ini mengatakan, “Hidup akan lebih bermakna apabila menunaikan tugas dan tanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara maupun kepada Yang Maha Esa. Tanggung jawab merupakan kodrat nurani manusia dalam pengabdian dan pengorbanan. Pengabdian berupa perbuatan dan pikiran baik, kerahkan seluruh kekuatan sebagai wujud kesetiaan, cinta, sayang, hormat dan tulus ikhlas. Pengorbanan meliputi segala yang diberikan sebagai tanda bakti.

 

Dasar filosofi hidup tersebut terpatri dalam benak tokoh karismatik, Kudang Laiskodat. Sang pejuang terpanggil dengan niat yang luhur untuk membangkitkan orang Helong dari keterpurukan karena kerja paksa (rodi), penerapan pajak yang tinggi, dominasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam (tanah masyarakat dan raja diambil dan dikuasai seacara paksa), ketertinggalan, kemiskinan, dan kebodohan, gerak-gerik rakyat dipersempit, serta maraknya perlakuan diskriminatif oleh kaum kolonial Belanda. Prinsip luhurnya adalah membebaskan orang Helong dari belenggu dan perbudakan penjajahan. Berbagai taktik dan strategi perjuangannya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita guna menyejahterakan masyarakatnya.

Ada sikap pro dan kontra. Namun, semangat kegigihannya yang militan, berjiwa heroik dan berwawasan luas yang akhirnya berhasil menggelorakan semangat juang dalam menumpas penjajahan. Pekikan semangat dalam bahasa Helong, “Deken baen bel blai muti deken” yang berarti lebih baik memberikan sesuatu kepada suku bangsa sendiri, daripada memberikan sesuatu kepada orang asing. Banyak pengikut dan simpatisan yang berpartisipasi untuk mendukung dan mengikuti jejak langkah perjuangannya sehingga membuat kaum kolonial Belanda terancam.

 

Tokoh karismatik Kudang Laiskodat melakukan pemberontakan dengan berteriak-teriak sepanjang jalan sambil mengutuk perilaku kompeni Belanda yang hanya menyengsarakan rakyat pribumi. Ia mengecam keras para mandor pribumi sebagai pegawai kompeni Belanda yang turut menarik keuntungan dan ikut menyusahkan rakyat. Beliau terus berjuang dengan membangun aliansi-aliansi dengan saudaranya dengan berlandaskan pada adagium kuno leluhurnya Sawu mau, Belu mau, Tie mau”.

 

Ungkapan tersebut bertujuan untuk membangkitkan kembali tali persaudaraan antara orang Timor, orang Sabu, orang Rote, dan orang Semau. Buktinya, mereka semua terlibat dalam menyumbangkan tenaganya melalui para meo dalam menghadapi kekuatan dan kekuasaan kompeni Belanda di Kupang. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Belanda melakukan strategi politik divide et impera atau memecah belah untuk menjaga pertahanan dan keamanan benteng, sehingga ditempatkanlah orang Timor, Sabu, Rote, dan orang Solor bila terjadi konflik dan perang dengan kaum colonial. Orang pribumi pun akan berkonflik dengan sesama sendiri di sekitar benteng.

 

Perjuangan Kudang Laiskodat bersama para meo yang tidak terbendung membuat Belanda berupaya untuk menangkap dan mengasingkannya ke Batavia. Berbagai strategi dan taktik licik Belanda akhirnya mampu membuat Kudang ditangkap bersama para meo saat melakukan upacara adat di tepi pantai utara Pulau Semau dekat Pelabuhan. Setelah selesai melakukan upacara adat, Kudang dan pengikutnya digiring masuk ke dalam kapal Belanda menuju Batavia pada tanggal 12 November 1689. Kudang bersama 23 orang pengikutnya atau meo pun tidak kunjung melewati wilayah perairan Pulau Semau, Pulau kera, dan Pulau Timor.

 

Peristiwa pelayaran tersebut berlangsung selama 6 bulan, tetapi belum berhasil keluar dari wilayah perairan tersebut. Akhirnya, kapal Belanda kandas di depan tanjung Toda, di pantai Bun Namo atau pantai Bun pada bulan April 1690. Di tanjung Toda inilah tokoh karismatik Kudang Laiskodat menyampaikan kepada kapten kapal agar menurunkan mereka di pantai Bun guna melanjutkan pelayarannya. Jika tidak, kapal tetap karam. Kapten kapal pun menuruti perkataan Kudang dan akhirnya kapal itu dapat menarik salah satu jangkar nya, sedangkan jangkar yang lain tidak bisa terangkat sehingga harus dipotong. Jangkar kapal yang tertinggal tersebut saat ini disimpan sebagai bukti sejarah di Museum Provinsi NTT.

 

Kudang Laiskodat bersama 23 meo bermukim di sekitar pantai Bun Namo yang pada waktu itu sunyi dengan bentangan padang belantara yang luas dan tak berpenghuni. Namun, di padang itu, ditemukan sumber mata air yang diberi nama oleh Kudang Laiskodat sebagai “Uihelo” yang berarti air Helong dan mata airnya masih ada hingga saat ini. Dalam keseharian, mereka memenuhi kebutuhan hidup dengan mengandalkan ketersediaan alam dan adanya mata air yang tidak kering sekalipun pada musim panas.

 

Namun demikian, eksistensi mereka kembali diusik oleh kedatangan serdadu Belanda yang membujuk mereka untuk loyal kepada Belanda, tetapi tidak digubris oleh Kudang Laiskodat dan para meo-nya. Serdadu Belanda mengumpulkan, memborgol kaki dan tangan, serta membantai mereka secara kejam dan sadis di tepi pantai Bun Namo-Sulamu. Kuburan Kudang Laiskodat bersama para meo saat ini dipugar untuk dijadikan situs sejarah.

 

Mata air yang ditemukan oleh Kudang Laiskodat tidak pernah kering walaupun di musim kemarau. Mata air tersebut berada dekat di pinggir pantai tetapi tidak pernah asin. Ada gua yang luasnya ratusan meter persegi yang menjadi tempat persembunyian atau tempat tinggal Kudang Laiskodat dan para pengikutnya. Lahan kurang lebih 3 Km tersebut membentang dari Timur ke Barat sepanjang pantai dan di sekitarnya sejak turun-temurun diakui sebagai milik Kudang Laiskodat atau Keluarga Laiskodat dan atau milik Orang Helong yang tidak boleh diganggu maupun diambil alih dan dibiarkan kosong hingga saat ini. Kawasan pantai itu sangat cocok dan memiliki potensi untuk pengembangan obyek wisata pantai yang sangat fantastik dan eksotik serta bernilai sejarah tinggi.

Penulis berharap agar program kolaborasi Pemerintah Provinsi NTT yang menjadikan sektor pariwisata sebagai prime mover melalui Dinas Pekerjaan Umum membuka akses jalan secara permanen untuk menunjang kawasan wisata pantai, serta PLN dalam membangun jaringan listrik agar menjadikannya sebagai kawasan wisata yang terang benderang.

 

Sedangkan, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perlu melakukan penataan pantai Bun Namo- Sulamu sebagai destinasi wisata unggulan baru di Kabupaten Kupang, Provinsi NTT dan membina kelompok Sadar Wisata. Selain itu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) harus dapat melatih dan menumbuhkan usaha masyarakat, khususnya di sektor rumput laut di kawasan itu.

 

Saat ini juga, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT menjadikan kawasan itu sebagai wisata budaya dengan menempatkan salah seorang Juru Pelihara untuk menjaga dan memelihara situs tersebut sebagai upaya pemeliharaan dan pelestarian kekayaan budaya dan sejarah lokal daerah guna menunjang promosi pariwisata NTT.

 

Akhirnya, tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2022 dengan tema Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar yang selaras dengan episode ke-18 tentang Merdeka Berbudaya serta untuk mewujudkan NTT bangkit dan sejahtera melalui penguatan literasi, promosi wisata, kekayaan budaya, alam, serta nilai-nilai sejarah di dalamnya.

 

Penulis  tertarik untuk menguraikan tentang sejarah perjuangan seorang tokoh karismatik Kudang Laiskodat. Tokoh lokal ini menggugah kita sebagai generasi masa kini untuk mengenang semangat juangnya yang rela berkorban dan tidak mengenal pamrih untuk membela kebenaran dan keadilan, cinta budaya leluhur dan masyarakatnya, cinta tanah air dan bangsanya, serta terus memperjuangkan kemerdekaan kaumnya.

 

Semangat perjuangannya sejalan dengan profil pelajar Pancasila karena memuat nilai-nilai hidup, seperti menjadi suri tauladan bagi generasi muda, berjuang bukan untuk memperoleh imbalan dan jabatan, pantang menyerah dan tidak putus asa, selalu mempertahankan persatuan dan kesatuan. Demikian tulisan ini dibuat. Semoga bermanfaat bagi pembaca. Tuhan Yesus berkati. (red)


Post a Comment

0 Comments