Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MATA LALAT ATAUKAH MATA LEBAH?


MATA LALAT ATAUKAH MATA LEBAH?
(Memetakan Sikap Sosial-Politik di Masa New Normal)

Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT

 Saya baru selesai menyala kompor. Ada termos berukuran sedang yang harus selalu terisi dengan air panas. Putri kecilku berada pada masa pertumbuhan sehingga meminta dibuatkan susu kapan saja.  Menunggu air itu mendidih adalah hal yang paling nikmat sekaligus menggetarkan. Bukan soal suhu air itu berubah perlahan dari dingin ke panas tetapi ada suara dalam irama dari caranya mendidih. Saya adalah yang paling setiap menikmati. Mataku tertuju pada satu kata “dinamis”. Air yang sebelumnya dingin, berubah hangat dan akhirnya panas sekali. Ada hubungan causalitas yang menggetarkan. Ada air dalam priuk dan api dari sumbu kompor. Kita hanya butuh waktu lima menit untuk air itu segera berubah. Gelembung-gelembung kecil di pinggir priuk itu adalah kristalisasi dari kata dinamis itu.

 Melihat dinamika yang ada, saya bertanya dalam diam. Bagaimanakah atau dari manakah titik sentral dinamika air yang berubah dari dingin, hangat dan panasnya air di dalam priuk itu. Apakah pada air itu? Kompornya dan apinya atau pada mata saya yang melihat? Akhirnya saya tahu setelah air panas itu disaring ke dalam termos. Kenikmatan sekaligus suasana menggetarkan itu ada pada sepasang mata saya. Bayangkan “seremnya” jika kita merebus air dengan mata tertutup.

 Bersyukur mempunyai sepasang mata yang sempurna (berfungsi baik) adalah hal lain dan cara kita memandang (melihat) adalah letak kualitasnya. Memiliki mata ternyata tidak cukup. Harus punya sebuah kemampuan (kepekaan) untuk mengambil jarak dan melihat melampaui mata. Jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk melihat melampaui mata, maka semuanya biasa-biasa saja. Kaku dan membosankan. Ceritanya beda jika kamu melihat sesuatu melampaui apa yang dilihat secara kasat mata. Seperti yang kualami, kamu pasti memiliki rasa syukur sekaligus bangga karena air panas (hangat) itu mampu menentukan detak jantung putriku. Perutnya bakal nyaman dan dia bertumbuh dalam sebuah proses (dinamika) yang wajar dan manusiawi.
…………………………………….
Mari kita menukik lebih dalam tentang mata dan cara kamu memandang (menilai). Perhatikan gambar lalat atau lebah jika kamu tidak sempat melihatnya secara langsung. Perhatikan mata dan sayapnya. Apakah beda? Tidak. Jika tidak teliti, kita mungkin sulit membedakan lalat dan lebah. Lalu dimanakah letak perbedaanya? Jawabannya adalah dari cara melihat. Dari sinilah kita bisa tahu, siapa yang berkualitas. Lalat atauakah lebah?

Dari perbedaan cara melihat ini, akhirnya berdampak pada kualitas diri. Lalat akhirnya hanya mampu terbang dengan ketinggian tidak lebih dari tiga meter dan jarak yang ditempuh pasti sangat pendek. Tidak heran, seekor lalat hanya menghaboskan waktu hidupnya di sekitar onggokan sampah. Sementara lebah, jangkauan terbangnya tinggi dan jauh. Cara mereka melihat akhirnya berujung pada orientasi hidup. Lalat cenderung melihat dan hidup dari  segala sesuatu yang pada dasarnya sampah, jorok dan berbau busuk. Di lain pihak, lebah terbentuk sebagai hewan petarung yang sangat optimis. Ia (lebah) adalah dia yang mampu mewujudkan mimpi-mimpinya secara rasional dan realistis. Tidak heran jika jangkauan terbangnya sangat  tinggi dan melintasi lembah ngarai untuk mendapatkan sari dari kembang yang harum untuk kemudian menghasilkan madu.

 Memiki kedua pasang mata yang berfungsi baik, sebenarnya biasa saja. Toh, Tuhan yang menciptakannya sempurna adanya. Tetapi cara kita memandang itulah yang tidak biasa. Merebus air itu biasa dan kita bisa (terbiasa) lakukan itu. Tetapi menilai keharmonisan air dalam priuk dan api  pada sumbu kompor bersama alunan musik yang dihasilkan saat air itu hendak mendidih dan akhirnya sangat panas adalah “sesuatu”. Ketika disaring ke dalam termos, kita (saya) boleh berbangga dalam diam karena bakal melihat senyuman manis putriku kecilku. Sama halnya dengan mata lalat dan lebah. Biasa dan hampir sama. Fungsinya juga sama. Untuk melihat. Tetapi cara ia melihat atau menilai akhirnya menentukan hasil yang dirasakan. Lalat menghasilkan madu dan sumber gizi untuk manusia. Lalat? Tidak menghasilkan apa-apa kecuali membawa wabah (muntaber) untuk manusia.

 Saya belum menemukan padanan kisah atau pernyataan tentang mata ini kitab suci agama lain. Namun jika kamu seorang Kristiani atau non-Kristiani tetapi pernah membaca Alkitab maka ada banyak cerita atau kisah di dalamnya yang menyorot tentang mata dan berbagai macam kualitas di dalamnya. Saya coba mengangkat tiga contoh semisal yang tertulis dalam Mazmur,17:8 “peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikan aku dalam naungan cahayamu” dan Injil Mat,7:3 “mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui? Pada konteks judul tulisan ini maka Injil Lukas, 11:33-36, terasa lebih tepat dan sempurna, “matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu”.
 Saudara sulungku pernah memberi nasihat begini. “Gusty, jangan pernah menilai seorang wanita dari garis wajahnya. Coba, perhatikan sikapnya. Sejauhmana ia tulus mencintaimu”. Atau dengan versi lain, jangan pernah sempitkan fungsi sepasang mata hanya untuk melihat. Matamu (mataku) harus juga mampu menentukan cara kamu menilai dan bersikap. Jika kamu ke pasar, perhatikan cara seorang ibu jika ingin membeli seikat sayur kangkung. Pertama cara ia melihat. Jika tertarik ia pasti menyentuh dan melihat lebih dekat. Jika yakin sayurnya masih baik dan segar, baru melihat wajah penjualnya untuk melakukan penawaran. Ia tidak pernah “melihat” wajah lelah dari penjual sayur kangkung itu. Beda ceritanya jika kamu ke Lippo Plaza atau ke tempat teller sebuah bank. Senyuman manis seorang pegawai bank atau lippo plaza, turut mempengaruhi keputusanmu untuk membeli atau menabung.
…………………………………….
Berbahagialah kamu yang memiliki sepasang mata yang baik. Minimal kamu bisa melihat dan menikmati perbedaaan priuk dan kompor. Namun, sepasang mata yang baik tidak menjadi acuan kualitas dirimu. Bukankah, lalat dan lebah itu, sama-sama memiliki sepasang mata yang baik? Lalu mengapa lalat berorientasi pada hal yang busuk, jorok dan membawa petakan kepada manuasia sementara lebah beroirintasi pada kembang yang harum dan membawa manfaat berupa madu yang lezat dan bergisi untuk manusia? Apakah matamu berkualitas sama seperti mata lalat atau mata lebah?

Kita segera masuk pada masa “new normal”. Sikap masyarakat terhadap ancaman virus corona ini terbelah. Ada yang merasa virus ini ganas sehingga sangat disiplin mengikuti protokol kesehatan seperti mencuci tangan, menggunakan masker, jaga jarak dan sebagainya. Di sisi lain, masih ada yang menilai virus corona ini biasa-biasa saja bahkan cenderung meremehkannya. Dengan demikian, sudah pasti ia mengabaikan protokol kesehatan. Keputusan kita mengunakan masker, emcuci tangana , jaga jarak sangat ditentukan dari kualitas diri kita.

Selain itu, di tengah pandemo covid 19 ini, ada perbedaan pandangan dan sikap masyarakat terhadap berbagai keputusan. Ada yang menilai masa kenormalan baru ini sebagai masa abnormal. Pemerintah dinilai lemah dan membahayakan kehidupan masyarakat. Bayangkan, masyarakat diminta untuk tetap di rumah saja, prosentase penyebaran virus ini terus meningkat dan kini sudah 2000 orang meninggal dunia. Bisa dibayangkan dengan masa new normal dengan banyaknya orang mengabaikan protokol kesehatan. Sementara itu, ada sebagian masyarakat menilai bahwa pemberlakuan masa new normal adalah cara cerdas dan bijaksana di tengah banyak perusahah yang terancam guling tikar dan meng-PHK ratusan bahkan ribuan karyawannya. Jika terus diberlakakuna #stay at home, maka yang banyak meninggal di beberapa bulan ke depan selain karena virus corona adalah adanya masyarakat yang mati kelaparan dan korban penjarahan dan pembunuhan.

Mari kita berdiam diri sejenak. Ada fakta sosial yang tidak boleh dipandang sebelah mata sekaligus sebuah sikap bijak dan cerdas yang harus ditempuh. Matamu dan cara kamu melihat menentukan kualitas dirimu. Apakah kamu masuk dalam kawanan bangsa lalat atau bangsa lebah? Ingat, “matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Selamat memasuki masa kenormalan baru.
Salam Cakrawala, Salam Literasi …

Post a Comment

0 Comments