Cerpen
Maya Sanu
Siswi SMAN 2 Kupang Timur
Cinta
hanya sebuah kata yang membuatku tersenyum. Cinta tak mengenal batas waktu, tak
mengenal batasan usia. Yang tua, muda,
bahkan anak-anak dan hanya cintalah yang mampu menembus batas ruang dan waktu. “Berani jatuh cinta, berani pula sakit hati”. Bagaimana dengan aku? Aku pikir sama. Sama
seperti mereka yang mengenal cinta, apalagi kini aku tumbuh menjadi seorang
remaja, walaupun sedikit lugu. Lugu di mataku sendiri. Ya...aku pikir begitu !!
Tak
heran apa yang aku lihat dan aku dengar selama ini dengan mudah percaya begitu
saja. Sebenarnya aku percaya dengan ketulusanku hingga akhirnya aku lelah
mempercayainya.
Kata-kata janji, bahkan perlakuan yang begitu
manis yang sempat aku nikmati sebagai bukti cinta yang pantas aku peroleh dalam
ketulusanku pergi begitu saja, tak tahu kemana, hilang arah, tersisa
ketulusanku yang dibalut luka. Aku ingin tahu alasan tapi kenapa engkau bungkam
seribu bahasa? Benarkah yang engkau
katakan tempo itu di serambi
sekolah? “Maafkan aku Mitha. Aku tak bisa
menganggapmu sebagai pacar lagi, aku takkan mengganggu kehidupanmu lagi”. Farel, benarkah itu?
Aku pikir itu hanya sebagai intermeso di
tengah otakku berputar dengan mata pelajaran kimia mengelilingi matahari yang
menyengat hingga keringan bercucuran pada wajahku. Mungkin benar, sebab jika
kau benar-benar sayang mestinya engkau membasuh keringatku dengan sapu tangan
di tanganmu. Entahlah! Yang aku butuhkan alasanmu.
Aku
tersiksa dengan ketulusanku mencintaimu, menyanyangi, walaupun aku baru mengenalmu lima bulan, satu
minggu, dua hari tapi aku merasa sudah bertahun kita jalani bersama. Kau telah
membuatku jatuh cinta hingga aku sulit bangun dan pergi dari cintamu. Mungkin
aku salah mencintaimu, atau kau hanya mempermainkan dan memanfaatkanku demi
kepentinganmu sendiri.
Engkau pergi dan dengan
mudah. Engkau mencampakkan aku
begitu saja tanpa perasaan. Aku tak tahu dan hanya engkau yang tahu.
Farel
kalau mau jujur, aku mencintaimu tanpa alasan dan tanpa pertanyaan. Tapi aku
kecewa dengan sikapmu yang acuh tanpa peduli bagaimana dengan perasaan ini yang
seakan berada di tengah hutan rimba dan tak tahu jalan pulang dan berpaling
dari cintamu. Okelah, jika ini keputusanmu maka tanpa alasan pun aku berlahan
melupakanmu walaupun sebenarnya aku tak
mampu.
“Aku
terluka”
Haruskah
aku selalu dalam genggaman perasaan yang tak menentu? Tidak!! Cinta bukanlah
akhir dari segalanya namun awal dari pendewasaan, dimana aku mencari jatih diri
yang sebenarnya agar menjadi wanita yang tegar, sabar dan penyanyang bagi yang
berhak aku cintai. Masa lalu adalah pelajaran untuk menggapai masa depan yang
lebih baik dari hari kemarin. Bukankah demikian?
Luka telah menyayati
hati yang tulus mencintai, kini terobati dengan senyuman yang tulus dengan
kehadiran seorang pria sederhana,
perhatian, mencintaiku apa adanya bukan ada apanya . Walaupun baru dua bulan paling tidak bisa membuatku
tersenyum di ujung luka yang tersisa. Aku tersenyum. Aku harus belajar. Esok pagi aku harus ke
sekolah lagi, demi cita – cita yang ku gantungkan setinggi langit . Termakasih
Tuhan, terimakasih cinta. “Love You God Always and Ever.”(*)
Sumber: Majalah Cakrawala NTT Edisi 46
0 Comments