Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Etika Bisnis dan Ancaman Pungli di Destinasi Wisata

Ilustrasi pungutan liar (pungli).


Oleh: Fransiskus A. Alsis L. Poleng dan Prof. Mahfud Sholihin, Ph.D., Ak., CA., CPA (Aust)*



CAKRAWALANTT.COM - Insiden pungutan liar (pungli) yang terjadi di Kampung Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya-NTT, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Dalam unggahan pasangan wisatawan John Stephen dan Riana Subandi, mereka mengaku telah dimintai sejumlah uang oleh beberapa oknum warga dengan alasan yang tidak jelas. Video tersebut menjadi viral di media sosial dan memicu perdebatan dan kekhawatiran.

 

Tentu saja ini menjadi perhatian untuk dibedah dan ditelusuri. Sebab, aktivitas meminta uang kepada pengunjung tanpa aturan legal, bisa disebut sebagai pungutan liar (pungli). Dalam konteks etika bisnis, pungli merupakan proyeksi dari tata kelola pariwisata yang perlu diperbaiki. Sebagai tindakan yang tidak profesional dan tidak etis, pungli berpotensi merusak hubungan yang seharusnya saling menguntungkan antara pengelola wisata, masyarakat lokal, dan wisatawan.

 

Masalah ini jelas menunjukkan pentingnya prinsip etika bisnis seperti kejujuran, transparansi, dan penghargaan terhadap hak orang lain dalam setiap transaksi bisnis.

 

Ketidakseimbangan Etika Bisnis

 

Ratenggaro adalah kampung adat yang menyimpan warisan budaya dan lanskap alam yang menakjubkan, sering menjadi tujuan wisata bagi mereka yang tertarik dengan keaslian budaya Sumba dan keindahan pantainya. Namun, insiden pungli tersebut menunjukkan adanya jurang yang belum dijembatani antara potensi wisata dan tata kelola destinasi yang profesional. Praktik pungli yang terjadi di sana menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam penerapan nilai-nilai etika dalam pariwisata, yang pada akhirnya merusak citra dan kepercayaan wisatawan.

 

Tanggapan cepat dari Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ni Luh Puspa, yang menegaskan bahwa pungli tidak dapat ditoleransi dalam sektor pariwisata, adalah langkah positif dari pemerintah. Ia menekankan pentingnya menciptakan destinasi yang etis, aman, dan nyaman bagi wisatawan. Sementara itu, pihak kepolisian menetapkan dua warga sebagai pelaku pungli dan melakukan permintaan maaf terbuka kepada wisatawan.

 

Namun, permasalahan pungli ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan langkah hukum. Akar persoalan sesungguhnya terletak pada lemahnya pemahaman dan implementasi etika bisnis dalam ekosistem pariwisata lokal.

 

Etika bisnis, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar norma moral, tetapi juga seperangkat prinsip yang harus menjadi fondasi dalam pengelolaan jasa wisata. Kejujuran, tanggung jawab, transparansi, dan penghargaan terhadap hak orang lain adalah prinsip-prinsip dasar yang harus diterapkan dalam setiap interaksi dengan wisatawan.

 

Etika bisnis memberikan solusi berupa penerapan standar profesional yang jelas, yang mengedepankan nilai-nilai positif dan menjaga kepercayaan konsumen. Jika nilai-nilai etika ini diterapkan dengan konsisten, pariwisata dapat berkembang secara berkelanjutan dan mendatangkan manfaat bagi semua pihak.

 

Ketika seorang wisatawan mengunjungi suatu tempat, ia membawa serta harapan akan pengalaman yang aman, otentik, dan menyenangkan. Kepercayaan adalah modal utama dalam sektor ini. Sekali rusak, akan sulit diperbaiki. Kasus pungli tidak hanya merugikan wisatawan secara langsung, tetapi juga merusak citra seluruh daerah sebagai destinasi yang layak dikunjungi. Dampaknya tidak hanya terasa di Ratenggaro, tetapi dapat meluas ke daerah-daerah lain di NTT yang tengah membangun reputasi sebagai tujuan wisata kelas dunia.

 

Praktik pungli juga menjadi indikasi kegagalan dalam membangun sistem pengelolaan pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan. Masyarakat yang seharusnya menjadi aktor utama dalam penyambutan wisatawan justru terjebak dalam pola interaksi transaksional yang tidak profesional. Ketika pungli dianggap hal biasa, yang dirugikan bukan hanya tamu yang datang, tetapi juga generasi muda lokal yang kehilangan kesempatan belajar tentang nilai penting dalam etika layanan dan usaha.

 

Di sinilah letak pentingnya etika bisnis dalam pariwisata. Industri ini bukan semata-mata soal jual-beli produk atau jasa, melainkan membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan antara masyarakat lokal, pengelola wisata, dan pengunjung. Prinsip-prinsip dasar seperti tidak memanipulasi wisatawan, memberi informasi yang jelas, dan menciptakan pengalaman yang aman adalah hal-hal yang seharusnya melekat dalam praktik sehari-hari pelaku wisata.

 

Pendidikan Etika Bisnis di Tempat Wisata

 

Penyelesaian peristiwa di Ratenggaro harus dijadikan momentum berharga untuk sebuah kesadaran akan perbaikan sistem tata kelola yang mencerminkan prinsip-prinsip etika bisnis. Pemerintah daerah harus didukung untuk membangun sistem pengelolaan pariwisata yang transparan. Misalnya, penarikan kontribusi wisatawan dilakukan melalui mekanisme resmi dengan bukti yang jelas, pengelolaan dana komunitas dilakukan secara akuntabel, dan peran pemuda adat ditingkatkan sebagai garda depan dalam membangun reputasi destinasi.

 

Langkah ini harus dibarengi dengan pendidikan dan pelatihan etika bisnis bagi masyarakat lokal, terutama mereka yang terlibat langsung dalam interaksi dengan wisatawan. Mereka perlu memahami bahwa profesionalisme dalam menyambut tamu tidak hanya berdampak pada citra daerah, tetapi juga secara langsung menentukan keberlangsungan ekonomi masyarakat sendiri.

 

Perlu juga disadari bahwa etika bisnis bukanlah nilai asing. Justru banyak komunitas adat memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang sejalan, seperti kejujuran, keramahan, dan penghormatan terhadap tamu. Nilai-nilai ini bisa dijembatani dengan sistem pariwisata modern melalui program pembinaan yang tepat.

 

Dengan tata kelola yang etis, destinasi seperti Kampung Adat Ratenggaro bisa menjadi model wisata budaya yang unggul. Potensinya besar, bukan hanya dari segi budaya dan alam, tetapi juga dari daya tarik keaslian yang kini menjadi tren global. Namun semua ini hanya bisa dicapai jika pengelolaan wisata dibangun di atas fondasi kepercayaan, bukan transaksi manipulatif.

 

Penutup

 

Kasus pungli ini harus menjadi momentum reflektif. Jika tidak segera dibenahi, sektor pariwisata akan tumbuh secara semu, indah di permukaan, rapuh di dalam. Namun jika dijadikan titik balik, Ratenggaro dapat menjadi contoh baik bagaimana sebuah komunitas belajar, berbenah, dan bangkit dengan menjadikan etika sebagai poros pembangunan.

 

Segenap warna NTT harus terus mendukung pemerintah dalam mendorong sistem tata kelola pariswisata yang berkualitas. Dengan memperkuat etika bisnis, pariwisata tidak hanya menjadi mesin ekonomi, tetapi juga ruang perjumpaan yang bermartabat antara budaya lokal dan masyarakat global. (red)


*Penulis:

Fransiskus A. Alsis L. Poleng adalah Mahasiswa Magister Akuntansi UGM, asal Ruteng, dan pemerhati wisata NTT.

 

Prof. Mahfud Sholihin, M.Acc., Ph.D., Ak., CA., CPA (Aust.) adalah Guru Besar di Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM). Dosen Etika Bisnis dan Profesi Magister Akuntansi UGM.


Post a Comment

0 Comments