JB Kleden Penikmat sastra, Tinggal di Kota Kupang |
Kalau peringatan hari Sastra NTT? Nah ini
yang bikin bingung. Sampai ada yang bertanya setengah mencibir, ada ya Hari Sastra
NTT? Siapa yang tetapkan 16 Juni sebagai hari Sastra NTT. Pro kontra, itu
biasa, sama halnya penetapan hari Sastra Indonesia 3 Juli yang bertepatan
dengan hari lahir Abdoel Moeis. Artikel ini tidak mendebatkan itu. Perdebatan
itu telah selesai dan post-factum.
NTT sudah punya Hari Sastra NTT, 16 Juni
sesuai denga hari lahir Gerson Poyk, sastrawan NTT asal Rote itu. Dasar
pemilihan telah melalui proses panjang oleh sejumlah sastrawan, bersama utusan
Pemerintah Provinsi NTT, dan perwakilan Kantor Bahasa, yang memiliki otoritas untuk
pengembangan, pembinaan dan pelindungan terhadap bahasa dan sastra (Baca,
Yohanes Sehandi, https://www.cakrawalantt.com/2020/06/hari-sastra-ntt-16-juni-dan-kinerja.html atau
lebih awal pada https://kupang.tribunnews.com)
***
Apakah penting adanya Hari Sastra NTT? Menurut Yohanes Sehandi, pemerhati sastra
yang saya sebut sebagai “Paus Sastra NTT” karena konsistensinya dalam
mendokumentasikan dan mempromosikan sastra NTT, Hari Sastra NTT itu
penting. Pertama, sebagai kesempatan
untuk menanamkan rasa cinta dan bangga bahwa NTT memiliki kekayaan kultural di
bidang sastra dan budaya yang tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia. Kedua,
sebagai kesempatan menanamkan kesadaran tentang pentingnya budaya literasi,
membaca dan menulis, sebagai ciri peradaban modern dan pasca-modern. Ketiga,
sebagai kesempatan untuk memasyarakatkan karya-karya para sastrawan NTT ke
berbagai lembaga pendidikan di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, dan
PT. Keempat, sebagai kesempatan bagi pemerintah daerah di NTT, untuk
menjadikan karya sastrawan NTT sebagai sarana diplomasi budaya NTT di tingkat
nasional dan internasional.
Hebat sekali. Lalu? Untuk memberi bobot
khusus pada peringatan Hari Sastra NTT,
16 Juli 2020, “Paus Sastra NTT” itu memberikan gambaran umum tentang
kinerja sastrawan NTT sampai hari ini. Pertama, penerbitan buku sastra, yang
meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama, sampai dengan 16 Juni 2020
sebanyak 250 judul buku. Antologi puisi 107 judul, antologi
cerpen 59 judul, novel 79 judul, dan antologi drama
sebanyak 5 judul. Kedua semaraknya kegiatan komunitas sastra di NTT.
Ada beberapa komunitas sastra yang disebutkan seperti Komunitas Sastra Dusun
Flobamora di Kupang yang menerbitkan Jurnal Sastra
Santarang, Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang
yang menerbitkan Jurnal Filokalia, Komunitas KAHE di Maumere yang
menerbitkan Jurnal Sastra Dala ‘Ela, Komunitas Rumah Sastra Kita (RSK)
NTT, yang telah menerbitkan 2 antologi puisi dan 2 antologi cerpen
masing-masing di tahun 2018 dan 2019 dengan tema kerukunan. Ketiga
keikutsertaan penyair NTT dalam buku babon Apa & Siapa Penyair
Indonesia (2017) yang diterbitkan Penerbit Yayasan Hari Puisi Indonesia,
Jakarta.
***
Cuma Itu?
Pertanyaan ini penting
bagi para penggagas yang melahirkan Hari Sastra NTT, kalau mereka tak mau
disebut ibu yang kurang ajar karena melahirkan anak lalu membuangnya begitu
saja. Pertanyaan ini penting karena banyak sekali pertemuan yang digagas
pemerintah atas nama pembangunan dan pengembangan bahas dan sastra, termasuk
temu sastrawan di Ende itu, sedikit sekali yang memberikan sesuatu yang
berarti, selain output penyerapan
anggaran. Kegiatan sudah dilaksanakan dan ini hasil dokumentasinya. Pertanyaan
ini penting karena pencatatan yang dilakukan Yohanes Sehandi adalah sebuah
karya pribadi dalam sunyi yang dilakukannya sejak dulu, yang membuat saya
menyebutnya “Paus Sastra NTT”, bukan karena adanya Hari Sastra NTT.
Pertanyaan ini penting, karena tanpa Hari
Sastra NTT pun penerbitkan itu tetap ada. Belum terhitung karya sastra NTT yang
bertebaran di media sosial dan media
online. Lagi pula, tanpa bermaksud merendahkan usaha yang ada, sebagai sebuah
kritik konstruktif, artikel yang ditulis “Paus Sastra NTT” di Media Cakrawala
NTT dalam memperingati Hari Sastra NTT 16 Juni 2020, isinya 11 12 dengan yang
telah dipublikasikan di media Pos Kupang pada tahun 2016.
Maka pertanyaan cuma itu? bisa kita ubah
menjadi apakah di antara para sastrawan yang melahirkan Hari Sastra NTT, hanya
“Paus Sastra NTT” itu yang sadar bahwa mereka telah melahirkan seorang anak,
dan karena itu, untuk hari ulang
tahunnya ia menulis sebuah litania historis sekadar mempertegas slogan melawan
lupa tentang siapa yang berperan dalam melahirkan Hari Sastra NTT?
Jika cuma itu, maka betapa menyedihkan!
Ibarat ibu-ibu kurang ajar yang nafsunya besar untuk melahirkan anak, hanya
untuk membuangnya di jalanan. Jika cuma itu yang bisa dilakukan, maka tidak ada
lagi yang perlu dipercakapkan di sini karena itu cuma onani. Dalam sejarah
litania kejantanan para founders memang sering membuat kita sayu. Hari Sastra
NTT, Gone With The Wind.
***
Hari Sastra NTT harus menjadi satu kapak es untuk
memecahkan laut yang membeku dalam diri kita. Sebab kesusatraan sebagaimana
kehidupan, selalu ada bersama kita tanpa rencana. Sastrawan kita, khususnya
penyair kita sekarang, dengan adanya media sosial, telah terlanjur memiliki
kekenesan digital. Puisi telah menjadi pengucapan pribadi, dengan cinta, benci,
kerinduan, kecongkakan serta keyakinan yang tak bisa tidak memunculkan
individualitas sang penyair. Tak ada soal dengan itu semua. Ini akibat dari
digitalisasi yang musti diterima sebagai kenormalan baru dalam bersastra, bahwa
hasrat untuk tampil secara unik dan beraneka ragam tak bisa dicegah.
Pesona hipnotis Rendra membaca puisi yang
memukai audiens, gaya eksentrik Sutardji Calzoum Bachri dengan menegak
berbotol-botol bir sudah lewat. Generasi milenial senang berpuisi dengan gaya
tik-tok-an. Maka kita perlu semacam demokratisasi. Dalam demokratisasi ini
jelas yang dituju bukanlah melahirkan buku sastra, melainkan ramainya orang
berbahagia dengan partisipasinya dalam penciptaan kreatif. Seniman besar tetap
diperlukan. Penerbitan buku sastra penting. Tetapi bila itu semua tak ada, kita
tak perlu merasa kehilangan, jika saja kita mampu membangkitkan kegembiraan
orang bersastra di Hari Sastra NTT.
Mengapa ini penting? Karena kalau mau
dihitung masyarakat sastra NTT (yang aktif, sastrawan, kritikus, peminat,
penikmat) mungkin cuma 10 persen atau tidak sampai dari total penduduk NTT. Ini
bukan soal bicara tentang keterpencilan sastra NTT, tetapi tentang bagaimana
menghidupkan sastra, agar 90 % masyarakat NTT yang
tidak terlibat aktif sastra juga merasakan bahwa dulce et utile dalam
sebuah karya sastra seyogyanya adalah juga sejenis harapan yang membantu manusia
untuk membedakan hal baik dan buruk, juga mana hal indah dan semrawut di tengah
rutinitas kehidupan yang boyak ini.
***
Ignas Kleden
saat bincang-bincang
sastra dengan mahasiswa STFK Ledalero (15/9/2018) menyentil tentang perwujudan identitas yang
mestinya disumbangkan oleh para sastrawan di NTT dalam kancah sastra Indonesia.
Identitas yang memberikan kekhasan pada sebuah karya sastra itu terletak pada
medium penyampaian dari sastra itu sendiri yaitu bahasa. Dengan demikian,
ketika berbicara mengenai sastra NTT, pandangan mestinya tertuju kepada
keberadaan sastra lisan NTT yang menggunakan bahasa-bahasa daerah dari NTT atau
karya sastra yang menggunakan bahasa-bahasa daerah dari NTT. Selama ini yang
ada dalam perkembangan sastra NTT adalah karya-karya sastrawan NTT yang
menggunakan medium bahasa Indonesia untuk mengungkapkan realitas yang ada di NTT.
Dengan demikian sesungguhnya sastra NTT itu tidak ada. Yang ada dan berkembang
sekarang justru adalah sastra Indonesia yang ada di NTT
Hari Sastra NTT tentu bukan untuk
menghadirkan kembali sastrawan besar NTT di masa lampau. Hidup adalah river of no return.
Juga bukan menghadirkan sastra Indonesia atau sastra dunia di NTT. Hari Sastra
NTT untuk menghidupkan Sastra NTT. Mari memberi bobot pada Hari Sastra NTT
dengan mencari tematik dan bentuk baru Sastra NTT demi memperkaya identitas
sastra Indonesia. Sumbangan berupa bentuk baru itu dapat dilakukan dengan
mencari bentuk pada sastra tradisional yang menggunakan bahasa daerah dan
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dari Nusa Tenggara Timur untuk Nusantara.
Mungkin pada titik ini kita perlu
membicarakan pembangunan infrastruktur pengembangan sastra di NTT yang ditopang
oleh pusat-pusat kemerdekaan akspresi, seperti kampus, kelompok seni, media
sosial yang satu sama lain selayaknya bekerjasama. Infrastruktur sastra ini
terjalin ke masyarakat terutama ke sekolah melalui literasi, agar anak-anak
dalam pembelajaran sastra berbahagia dengan partisipasinya dalam penciptaan
kreatif, termasuk menggali khazanah sastra lisan dalam bahasa lokal NTT.
Untuk maksud ini ke depan perlu
dipikirkan untuk membentuk wadah para sastrawan NTT atau apapun namanya, dengan
jurnal sastra online yang dikelola dengan baik. Para Penyair NTT yang
berdomisili di NTT, seperti Pius Rengka,
Amanche Franck Oe Ninu, Kristopel Bili, Marsel Robot, Mezra E. Pellondou,
Suster Wilda, Mila Lolong, Yos Gerard Lema; atau pegiat literasi seperti Gusty
Rikarno, Maximus Masang Kian, Christian Dicky Senda, dan lain-lain bisa memulai
langkah awal itu. Crescit in eundo.
***
DI akhir catatan ini saya teringat Mila
Lolong, perempuan hitam manis puteri Lomblen, yang menerbitkan kumpulan
puisinya Perihal Pulang. Ia menulis di laman FBnya singkat tetapi bersahaja di
batas cakrawala. “Selamat Hari Sastra NTT”. Lalu ia mengutip Hans Hayong “Jika
kita tak bisa menulis menulis. Maka, lakukan sesuatu untuk ditulis.” Dan ia pun
baca puisi. Baca puisi untuk Hari Sastra NTT. Hanya saya tidak tahu, puisi apa
yang ia bacakan. Juga tidak tahu apakah ia membaca puisi dalam bahasa ibunya
atau bahasa bapaknya. Acta est fabula, plaudite! Hari Sastra NTT 2020
telah lewat bertepuk tanganlah. (*)
0 Comments