Dr. Fredrik Abia Kande. (Foto: dok. pribadi) |
Alor, CAKRAWALANTT.COM – Doktor
pertama Universitas Tribuana Alor, Fredrik Abia Kande, berhasil mengembangankan
Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah Tertinggal. Hal
tersebut dilakukannya dalam penelitian disertasi yang dipertahankannya di
hadapan dewan penguji Universitas Negeri Yogyakarta, dan mengantarkannya meraih
gelar Doktor Manajemen Pendidikan di kampus tersebut, Rabu (3/6/2020) lalu.
Dalam
penelitianya, Dr. Fredrik Abia Kande menyebut Provinsi NTT berada pada jumlah daerah tertinggal terbanyak
kedua di Indonesia setelah Provinsi Papua. Menurutnya, karakteristik daerah
tertinggal (disadvantage area) di NTT
merupakan suatu fenomena yang bersifat multi-variabel, yakni: secara geografis
(terisolasi dan sukar dijangkau), terserak sebagai konsekuensi daerah
kepulauan, tertinggal karena rendahnya kemampuan ekonomi (pada level pendapatan
PDRB dan PDRB per kapita, ketergantungan keuangan daerah yang tinggi dan
tingkat produktivitas yang rendah), politik-pemerintahan (orbitasi) yang sulit
dan kompleks/remoteness government) dan vulnerable (rawan bencana, daerah perbatasan. Kondisi NTT
seperti ini menurutnya, memiliki penetrasi terhadap bidang pendidikan baik
akses maupun mutu.
Berikut
ini adalah masalah-masalah yang di temukan saat penelitian yakni: (1) Masih
rendahnya kualitas pendidikan khususnya
pendidikan menengah, (2) belum baiknya penataan struktur organisasi Dinas
Dikbud Pascaalih kelola pendidikan menengah dari kabupaten/kota ke provinsi,
(3) Pengalaman dalam praktik pembuatan dan implementasi kebijakan pendidikan
pun, kerap kali masih mengabaikan dimensi proses, hukum publik, prinsip-prinsip
kebijakan publik, dan aspek lokalitas, seperti social capital dan kespesifikan
NTT yang didominasi daerah tertinggal
dan corak kepulauan, (4)
adanya kelemahan-kelemahan dalam policy process, dimana oleh karena
alasan pendanaan maka Pemprov NTT belum berani memunculkan agenda-agenda sesuai
karakteristik atau kespesifikan daerah tertinggal, (5) Dalam hal sosialisasi kebijakan pendidikan pun oleh
karena struktur UPT wilayah telah
dihapus pada 2018, sehingga
sosialisasi kebijakan menjadi
tidak efektif, (6) dari sisi evaluasi kebijakan juga ditemukan model pelaporan
kinerja kebijakan masih jauh dari standard pelaporan kinerja OPD. Secara umum
evaluasi sampai dengan akhir TA.
2018 pencapaian target kinerja
pendidikan belum maksimal, atau
belum memenuhi target.
Bertolak
dari hal tersebut, Dr. Fredrik mengembangkan Model Proses Kebijakan Pendidikan
Menengah Berbasis Daerah Tertinggal atau yang disebutnya “Model NTT Bijak
Membangun” dengan tujuh nilai kebaruan (novelty)
sebagai model alternatif untuk diterapkan dalam rangka mengakselerasi
peningkatan akses, mutu, dan daya
saing pendidikan di
NTT, yakni: (1) Terdapat pengembangan tahapan dalam proses kebijakan
dengan tujuan untuk mengafirmasi pendidikan di daerah tertinggal. (2)
pengembangan input kebijakan, yakni dari tiga input yang umumnya dirujuk
sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor: 23/2014, namun peneliti menambahkan dua
input baru yakni dengan tujuan mengakomodir kespesifikan permasalahan dan
potensi daerah tertinggal. (3) pengembangan
deskripsi tugas pelaku kebijakan di tingkat pemerintah maupun legislatif
dengan tujuan meningkatkan sensitivitas
dan tanggung jawab pemerintahan provinsi terhadap permasalahan pendidikan di
daerah tertinggal. (4) pengembangan agenda kebijakan afirmatif dengan tujuan
mengafirmatifkan kebijakan pada daerah tertinggal dalam rangka mempercepat
akses, mutu, dan daya saing
pendidikan menengah. (5) Implementasi uji coba (tanpa sanksi) dengan
tujuan untuk mengetahui kelemahan dalam pemahaman dan pelaksanaan suatu
kebijakan pendidikan menengah. (6)
Pelibatan stakeholder yang luas termasuk unsur yudikatif dengan tujuan
mendemokratiskan proses kebijakan dan mencegah praktik “korupsi kebijakan. (7)
adnya rekognisi satuan pendidikan dengan tujuan mendemokratiskan proses
kebijakan dan meningkatkan rasa memiliki sekolah terhadap kebijakan pendidikan
menengah.
“Saya
berharap Ilmu Manajemen Pendidikan yang telah saya peroleh akan kami
implementasikan dan kembangkan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan
pendidikan di daerah tertinggal di NTT. Apalagi permasalahan akses, mutu, tata
kelola, dan daya saing pendidikan masih menghiasi potret pendidikan di NTT. Di
sisi lain kita belum punya kebijakan pendidikan yang berkualitas, spesifik dan
unggul,” ungkap Dr. Fredrik kepada media ini beberapa waktu lalu.
Disinggung
mengenai predikatnya sebagai doktor pertama di Universitas Tibuana Alor,
Fredrik Abia Kande membenarkan hal tersebut, namun bagi dirinya yang terpenting
adalah kontribusi bagi lembaga dan daerah tertinggal. Tentang doktor pertama,
ia menyebut hal tersebut hanya soal waktu.
“Soal
doktor pertama Untrib ya, saya kira karena saya mendahului teman-teman
mengambil S3, kalau ada yang mendahului tentu ada orang lain yang pertama. Lagi
pula yang penting adalah kontribusi saya bagi lembaga dan bagi masyarakat di
daerah tertinggal NTT,” ungkapnya.
Fredrik
Abia Kande menyelesaikan studi doktoral dalam jangka waktu 3 tahun 10 bulan di
Universitas Negeri Yogyakarta, Program Studi Manajemen Pendidikan. Adapun Judul
Disertasinya yakni, Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah
Tertinggal.
“Selama
proses konsultasi perbaikan lebih cepat karena tidak ada revisi mayor. Kuncinya
adalah menguasai konsep dan masalah penelitian, punya sandaran teori yang
kokoh, basis riset terkait yang memadai, metodologi dan intrumen yang
jelas, produk yang mau dihasilkan
memiliki spesifikasi yang jelas dan memiliki nilai transferability, juga paham aturan atau tata tulis selingkung,” tutupnya. (Alex Natara/rf/red)
0 Comments