Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MENGHADIRKAN GURU KOMITE YANG BERKUALITAS



Tobias Jalang, S.Fil
Kepala SMAN 3 Poco Ranaka
Kabupaten Manggarai Timur
Mengabaikan guru komite dalam dunia pendidikan ibarat meniadakan sang play maker dalam permainan bola kaki. Betapa tidak, keberadaannya kerap membawa polimik bagi pengambil kebijakan namun digandrungi oleh sekolah di saat ketersediaan guru berstatus Pegawai Negeri Sipil sangat minim. Perkara pun mulai muncul saat dianalisis: berapa jumlah guru (komite) yang dibutuhkan jika dilinearkan dengan rombongan belajar (rombel) yang ada dan spesifikasi mata pelajaran yang dicari menurut jurusan yang dibuka pada sebuah sekolah (SMA)?

Mungkin pertanyaan di atas sangat mudah dijawab bagi sekolah yang sudah berdiri tiga atau empat tahun ke atas. Namun awan hitam akan menaungi sekolah yang baru berdiri di bawah usia tersebut. Mengapa? Pertama, sekolah baru cendrung merekrut guru (komite) yang radius lebih dekat dengan letak sekolah. Asumsi ini tidak terlepas dari alasan eksklusivitas wilayah bahwa sekolah tersebut didirikan untuk memperkejakan para sarjana di wilayah tersebut. Selain alasan konyol bahwa gaji guru dari kampung sendiri bisa dikompromi atau kasarnya lebih murah. Kedua, tendensi untuk merekrut guru yang kental dengan nepotisme dan koncoisme tidak terhindarkan. Meski dugaan ini tidak berlaku masif, namun aroma sangat mudah tercium jika, misalnya, pemberi hibah tanah dan pimpinan sekolah melakukan kesepakatan terselebung: ‘yang penting anak Bapak punya ijazah. Ia kami pekerjakan di sekolah ini’. Atau pihak-pihak yang mengaku berjasa untuk bisa berdirinya sekolah tersebut; mengharuskan anak atau keluarga bisa mengajar di sekolah itu.

Jika dua poin di atas mata rantainya tidak diputuskan, maka tiga rangkaian dalam sebuah proses  pendidikan (cf. Rohiat, 2012: 68), yaitu 1) in put, 2) proses, dan 3) out put untuk mencapai titik terbaik hanya fatamorgana. Pertama, in put. Berdirinya sebuah sekolah (SMP atau SMA) sangat tergantung pada SD-SD atau SMP-SMP di sekitar SMP atau SMA yang mau dibangun. Harapannya, semua siswa yang tamatan dari sekolah-sekolah tersebut mendaftar di sekolah (SMP/SMA) yang dalam wilayah itu juga. Namun mereka akan enggan mendaftar di sekolah tersebut jika sekolah itu tidak menunjukkan kualitas dirinya (baik dalam proses maupun dalam out put), program sekolahnya hanya dominan intrakurikuler, dll. Kedua, proses. Proses pendidikan yang baik lahir dari tenaga pengajar yang berkualitas. Jika tenaga guru yang direkrut tanpa kriteria yang jelas dan seleksi yang ketat, maka kualitas guru yang dimiliki pun pasti tidak mampu menjawabi tujuan pendidikan nasional. Alhasil, proses pembelajaran akan berjalan stagnan, visi dan misi sekolah sulit terwujud, dan out put yang dihasilkan hanya pananda bahwa mereka sudah tamat dari SMP/SMA. Mereka tidak memiliki kompetensi yang mumpuni saat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau saat berada di tengah masyarakat. Padahal, out put, sebagai poin ketiga, merupakan barometer bagi pemerintah, masyarakat, dan dunia kerja untuk mengetahui apakah sekolah tersebut menjalankan proses pembelajaran, menempa karakter siswanya, mempersiapkan peserta didik untuk hidup berasyarakat dan dunia kerja.

Apa yang Harus Dilakukan?

Jacque Delors, seperti yang dikutip Cakrawala NTT (2016:9), menandaskan dengan tegas bahwa salah satu kunci utama untuk memperbaiki mutu pendidikan adalah memperbaiki pola rekrutmen (guru komite). Baginya, jika rekrutmen guru dilakukan secara transpran, akuntibel, dan objektif maka bukan sebuah kemustahilan kualitas pendidikan sedikit demi sedikit akan terwujud. Lalu, apakah ke-11.841 orang guru komite SMA se-NTT, jumlah yang dirilis oleh Dinas Pendidikan Provinsi NTT 2016 (Ibid., 2016:9), direkrut seperti dihipotesis Delors tersebut? Saya tidak hendak menelisik bagaimana cara masing-masing sekolah mendapatkan guru komite baru. Bagi saya, hipotesis Delors menyadarkan saya akan pentingnya pendidikan yang berkualiatas dan semuanya bermuara dari perekrutan calon guru baru dengan ketat. Karena itu, untuk menghindari kecendrungan-kecendrungan yang saya sebutkan pada awal tulisan ini; saya coba men-share apa yang kami lakukan di sekolah kami saat merekrut seorang guru yang baru.

Tahapan Perekrutan

Kerumitan penataan tenaga guru (komite) di sekolah negeri menjadi perkara yang tidak terelakan oleh seorang kepala sekolah saat pergantian secara periodik dilakukan. Ada dua kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, kepala sekolah sebelumnya kadang merekrut guru dan/atau tenaga tata usaha tanpa menganalisis urgensitasnya. Akibatnya adalah terjadi kelebihan tenaga untuk bidang studi tertentu. Kedua, guru yang direkrut tersebut hanya menyeleksi kelengkapan administratifnya sedangkan kompetensi spesifikasi bidang yang dibutuhkan atau penguasaan teknologi informasi/komputer diabaikan. Akibatnya adalah guru tidak tampil percaya diri saat mengajar, pendekatan pembelajaran dominan yang konvensional, lemah dalam pemanfaatan media pembelajaran, dan seterusnya. 

Untuk mencegah yang disebutkan di atas, maka (1) formula yang termuat dalam PP 74 Tahun 2008 tentang kebutuhan guru hendaknya menjadi acuan. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa jumlah guru yang dibutuhkan diperoleh dari hasil pembagian antara Jumlah Jam Tatap Muka (JTM) dengan 24 (jumlah JTM ideal bagi seorang guru per minggu). JTM sendiri didapat dengan cara mengalikan alokasi waktu per mata pelajaran dengan jumlah rombel. Jika hasil pembagiannya kemudian berada pada interval 0,04–1,59, maka cukup satu guru yang mengampuh satu mata pelajaran tertentu. Atau jika ada pada interval 2,90–3,89, maka guru yang harus dimiliki sebanyak tiga orang untuk satu mata pelajaran tertentu, dan seterusnya. Analisis kebutuhan tersebut tentu semakin baik jika (2) dintegralkan dengan kemampuan keuangan sekolah, ketercapaian target minimal atas hasil ujian nasional, data hasil penilaian kinerja guru untuk satu semester atau satu tahun berjalan, dan laporan kekurangan guru kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Provinsi.

Jika dua kriteria itu sudah dijalankan, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengumumkan secara resmi dengan menggunakan media-media populer zaman now, seperti face book, whatsApp, twitter, atau radio tentang kebutuhan guru. Penting pula memperhatikan detail pengumuman, seperti nama dan lokasi sekolah, spesifikasi guru yang dibutuhkan, jadwal pengumpulan berkas dan tahapan seleksi. Selanjutnya, sekolah bisa memperkirakan berapa pelamar yang akan memasukan lamaran dan berasal dari mana saja mereka dengan melihat berapa jumlah tanggapan atas pengumuman yang sudah diekspos. Tentu data pelamar yang paling sahih adalah dari berkas-berkas yang mereka kumpulkan, seperti ijazah terakhir dan curriculum vitae. Jika semua data tersebut sudah dikumpulkkan, maka sekolah tinggal mengirim sms atau wa kepada pelamar tentang kapan mereka dites kompetensinya dan diwawancara.

Langkah kedua adalah pengujian kompetensi calon guru. Agar testing berjalan lancar, maka materi yang diuji harus disiapkan dengan baik. Rancangan materi kompetensi yang diberikan pun sangat tergantung kepada tim seleksi yang dibentuk oleh sekolah sendiri. Jika sekolah memiliki biaya yang cukup, maka bisa menjalin kerja sama dengan pihak universitas terdekat. Namun jika tidak, maka para guru yang memiliki kompetensi bagus, berwawasan luas, tidak memiliki hubungan emosional dengan pelamar, dan hasil penilaian kinerja minimal berada pada kategori baik; bisa masuk ke tim penyeleksi. Tim penyeleksi tentu tidak saja bertugas untuk menyusun soal tetapi kemudian bisa berperan sebagai pewawancara atau pengamat saat pelamar melakukan peer teaching.

Materi apa saja yang bisa diberikan saat tes? Hal ini sangat tergantung kepada sekolah sendiri tentang apa yang diharapkan dari calon guru tersebut. Jika guru ekonomi yang sudah ada, misalnya, bagus dalam membahas hal teori-teori ekonomi, tetapi lemah dalam bidang akuntansi; maka yang lebih dominan diuji adalah soal-soal akutansi. Demikian untuk mata pelajaran lainnya. Intinya, materi ujian harus memperhatikan: 1) kompetensi yang sangat sulit dikuasi siswa. Asumsinya: siswa menguasai secara baik sebuah kompetensi sangat tergantung dari cara guru menjelaskannya. 2) Ekseptasi yang didapatkan sekolah dari calon guru. Misalnya, peserta didik memiliki kemampuan yang baik dalam menulis dan bersastra maka calon guru hendaknya memiliki kecakapan (lebih) dalam besastra dan lincah dalam menulis fiksi atau nonfiksi. Dan 3) kompetensi dasar yang akan diajarkanya kelak kepada peserta didik.

Setelah langkah kedua sudah dilakukan, selanjutnya ke langkah ketiga. Pada langkah ini, calon guru diwawancara. Melalui wawancara, tim seleksi akan mendapatkan hal-hal yang mungkin belum diperoleh dalam ujian tertulis. Untuk itu, hal-hal yang bisa ditanyakan kepada calon guru adalah 1) apa motivasi Anda menjadi guru? 2) Jika Anda pernah menjalankan praktik mengajar atau pernah menjadi guru, masalah apa yang kerap Anda temukan saat pembelajaran berlangsung atau di luar jam pembelajaran? 3) Apa solusi yang Anda tawarkan pada saat itu? 4) Antara gaji dan tuntutan kinerja tinggi, mana yang Anda prioritaskan? Mengapa? 5) Jika sekolah tidak mampu membayar gaji sesuai dengan yang Anda inginkan, apakah Anda tetap setia mendidik anak-anak?, dll. Semua pertanyaan ini hanya sebuah contoh. Tim penyeleksi sekolah bisa menambahnya.

Setelah diwawancara, langkah keempat adalah melakukan simulasi mengajar (peer teaching). Simulasi ini sangat penting untuk untuk merekam kemampuan pelamar dalam mengembangkan materi seturut model pembelajaran yang ditawarkan, kemampuan dalam mengelolah kelas, dan kemampuan memanfaatkan media pembelajaran. Untuk itu, RPP menjadi acuan yang dipakai oleh pelamar dalam simulasi yang dilakukan. Selama calon guru melakukan simulasi, tim seleksi melakukan observasi menurut rambu-rambu pada instrumen yang sudah disiapkan sebelumnya.

Dan pada langkah kelima sekolah menginformasikan/ mengumunkan yang dinyatakan sebagai guru baru. Tahapan ini dilakukan setelah tim seleksi melapor (secara tertulis) semua hasil tahapan yang dilakukan oleh pelamar kepada kepala sekolah. Lalu, kepala sekolah mengirim abstraksi laporan tersebut kepada semua pelamar melalui whatsapp, face book, atau short message service (SMS); selain kepada para guru dan komite sekolah.

Efek Positif yang Dihasilkan

Tahapan-tahapan yang dilakukan di atas semuanya bertujuan untuk mendapatkan seorang guru yang berkualitas. Jika dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, maka hal-hal positif akan tampak, seperti para guru memiliki rasa percaya diri yang mantap saat menyajikan materi pembelajaran di kelas dan saat mereka berada dengan teman guru lainnya. Hal ini terjadi karena ia merasa kompetensinya sudah teruji secara objektif dan keberadaannya di sekolah tersebut bukan karena ada hubungan kekeluargaan dengan pihak sekolah.

Jauh dari itu, di antara para guru terus bersaing untuk meningkatkan kompetensinya. Efek ini semakin jelas terbaca jika kepala sekolah mewacanakan bahwa para guru pengasuh mata pelajaran yang diujinasionalkan di kelas dua belas, misalnya, harus mendapat rerata minimal sebesar 5,00 saat UN. Jika tidak mencapai rerata tersebut, maka ia harus mengajar di kelas yang sedikit lebih rendah dari kelas XII dan kelas XII sendiri diampuh oleh guru yang sebelumnya mengajar di kelas XI atau X.

Tidak saja itu, persepsi masyarakat, perguruan tinggi dan/atau dunia kerja terhadap out put dari sekolah tersebut cendrung positif. Mereka akan mengamini segala proses pendidikan yang dilakukan sekolah karena para alumninya mudah beradaptasi dengan lingkungan kerja, menunjukkan kualitas akademik dan karakter yang baik saat berada di perguruan tinggi atau saat hidup bermasyarakat. Semua dampak positif di atas bukan sebuah kemustahilan segera terwujud di sekolah kita masing-masing jika komitmen kita mendapatkan guru (komite) dengan pola rekrutmen yang ketat secara berkesinambungan dilakukan. (*)





Post a Comment

0 Comments