CERPEN Karya: Hans Hayon
Satu
“Menjadi seorang imam yang baik itu
harus rajin berdoa. Pagi-pagi hendaknya engkau lebih awal masuk Kapel. Duduklah
pada bangku paling depan. Dan yang terpenting, berkonsentrasilah, sebab siapa
yang tahu kapan godaan datang menghantuimu?” kata seorang imam tua kepada anak
didiknya yang masih muda.
Di luar kamar, hujan lagi-lagi tumpah.
Sementara itu, betapa gemuruh menghantam dada pemuda yang sudah pasti adalah
seorang calon imam. Meskipun pemuda itu tahu betul, bahwa hidup tidak pernah
cukup dikemas hanya melalui sebuah doa. Sebab, untuk memberantas kebodohan,
tidak masuk akal hanya dengan bedoa saja. Doa belum pernah sanggup menuntaskan
kasus human trafficking di Provinsi NTT.
Apalagi problem semisal korupsi, doa hanyalah selembar uang kusam dalam dompet.
Tidak pernah cukup untuk membayar harga sebuah perubahan. Jika demikian, masih
perlukah ia berdoa? Atau dengan kata lain, sebenarnya doa itu apa dan
bagaimana?
Setelah mengakhiri pertemuan singkat
dengan imam tua itu, makin risaulah hatinya. Ia telah cukup paham. Menjadi imam
itu sebenarnya perkara gampang. Turuti saja kemauan pembesar, patuhi aturan,
belajar yang giat, dan percaya kepada Tuhan, maka semuanya beres. Tanpa
masalah. Lalu bagaimana dengan model hidup yang ideal? Dari mana yang ideal itu
berasal: Tuhan ataukah manusia? Dan atas pertimbangan apa seseorang pantas
menjadi imam dan yang lainnya tidak?
Dua
“Nak, menjadi imam itu hendaknya dekat
dengan orang kecil dan sederhana. Rajin-rajinlah melawati kaum migrant,
perantau, korban kekerasan, dan berjuanglah demi pembebasan hak-hak mereka
(Kebebasan?) Kau tahu? Beberapa imam zaman sekarang lebih suka berpura-pura.
Mereka turun ke jalan-jalan tetapi tidak tahu mau berbuat apa. Mereka
berdiskusi panjang lebar tentang Tuhan namun miskin pengalaman revolusioner.
Mereka cepat menanggapi persoalan sensitif tetapi lamban dalam mencari solusi.
Mereka senang jika dipanggil sebagai imam Tuhan, padahal kelakuan mereka tidak
berbeda jauh dengan para pejabat elite.
Apalagi sistem hidup. Mereka lebih konservatif daripada mitos. Sejak pagi
hingga malam, mereka setia berdoa di kapel biara. Seolah-olah mereka tidak tahu
mengapa kabupaten Sikka dimeterai sebagai produsen HIV/AIDS nomor wahid di NTT.
Untuk itulah, saya menganjurkan agar jika engkau kelak menjadi imam, tidak
berperangai sebagaimana layaknya mereka,” kata seorang imam tua kepada anak
didiknya yang masih muda.
Meski demikian, toh pemuda itu mengerti.
Di luar doa, segalanya sia-sia. Tanpa doa, segala usahanya akan gagal. Atau
paling kurang, ia kehilangan spirit paling murni. Sebaliknya, melalui doa,
pekerjaannya lebih berisi dan tidak berujung fatal.
Jika begitu adanya, apa yang telah ia
lakukan demi pembebasan orang tertindas? Apakah selama ini, khususnya ketika
berdoa, ia benar-benar berjumpa dengan Tuhan? Bagaimana bila ia hanya mengeja
ulang rumusan baku yang, siapa penyusun doa tersebut saja, ia belum tahu?
Karena kalut, bergegaslah pemuda itu ke kapel.
Tiga
“Apabila engkau melintasi sebuah
jembatan yang menghubungkan terpisahnya dua daratan, ketahuilah bahwa kau butuh
keseimbangan. Lapangnya jalan panggilanmu sangat bergantung dari bagaimana
engkau mensiasati yang dahulu tak imbang menjadi sejalan. Baik hidup doa maupun
karya karitatif, keduanya patut memperoleh porsi setara. Memprioritaskan salah
satu dan mengabaikan yang lain, hanya akan membuat panggilanmu pincang,” kata
seorang imam tua kepada anak didiknya yang masih muda.
Baru lima menit lamanya mereka berdua
duduk membicarakan soal seputar bagaimana menjadi seorang imam Tuhan yang baik.
Dan sepanjang waktu itu pula, mereka dilanda kebingungan tentang seperti apakah
sesuatu yang baik itu. Tentang apa alasan mendasar sesuatu disebut baik dan
yang lain tidak.
Pertemuan singkat itu akhirnya disudahi.
Dengan langkah yang enggan, pemuda itu kembali ke kamarnya. Ditatapnya tempat
tidur dengan kepala pening. Seolah-olah tidur adalah pilihan terkahir untuk
meninggalkan problem-problem hidup. Ya! Dengan tidur ia yakin kebaikan hanya
akan tampak lebih nyata dalam mimpi.
***
(1)
“Berdasarkan hasil keputusan sidang,
kami menganjurkan Anda untuk menarik diri dari biara.”
“Boleh saya tahu alasannya?”
“Kamu terlalu sering keluar biara;
Jarang ada bersama-sama dengan kami; Selalu absen berdoa; Belum dewasa; Dan
tentunya kamu butuh
waktu untuk merefleksikan panggilanmu. Mungkin hidupmu akan lebih baik jika
tidak terlalu lama tinggal di sini.”
“Bagaimana caranya Anda mengetahui
betapa hidup saya tidak bahagia di sini?”
“Dari cara hidupmu setiap hari.”
“Jadi, kebahagiaan itu sebuah cara
hidup?”
“Kira-kira seperti itu.”
“Alangkah sialnya mereka yang telah
meninggal dunia-mati.”
(2)
“Berdasarkan hasil keputusan sidang,
kami menganjurkan Anda untuk tetap menjalankan panggilanmu.”
“Terima kasih atas kepercayaan kalian.
Sayangnya, saya ingin berhenti.”
“Jangan katakan kalau hal itu serius.
Hemat kami, Anda telah menjalankan semua peraturan dengan sangat baik.”
“Aturan itulah yang menjadi alasan utama
mengapa saya ingin berhenti.”
“Maksudmu?”
“Orang hanya akan tahu bahwa garis itu
bengkok kalau di sampingnya diletakan garis lain yang lurus.”
“Pertimbangkan lagi keputusanmu!”
(3)
“Sudah berapa lama kamu hidup di
‘luar’?”
“Enam tahun, dua bulan.”
“Lalu, apa yang membuatmu kembali
berpikir untuk melamar menjadi seorang imam? Apakah kebahagiaanmu ‘di luar’
belum cukup?”
“Saya selalu bahagia. Dan karena itu,
ingin sekali saya membagikan perasaan tersebut kepada lebih banyak orang.”
“Setiap orang dapat melakukannya tanpa
perlu terlebih dahulu menjadi seorang imam.”
“Bagaimana mungkin sebuah jembatan
dibangun untuk dirinya sendiri?”
“Tidak semua jembatan terbuat dari
beton.”
“Tetapi jembatan yang terbuat dari kayu
lebih mudah dijangkau oleh orang-orang kecil dan sederhana.”
“Seperti apakah itu?”
“Ketika Anda mencintai mereka dan
menemukan wajah Allah di dalamnya.”
“Wajah Allah yang bagaimanakah itu?”
“Layaknya seorang pengemis dengan kedua
telapak tangan terbuka. Berharap jangan-jangan akan ada seketul roti singgah
padanya walau cuma sebentar saja.”
Ketika
ceritera ini selesai kutulis, aku belum berani memberi jawaban, “Apakah seorang
imam sanggup sekaligus mencintai Tuhan dan sesamanya?” Lebih lagi, “Bagaimana
mereka melihat perbedaan di antara keduanya”? Semoga saja Pembaca
tahu jawabannya. Ataupun seandainya ada orang yang bersedia memberi jawab, tolong
jangan sampaikan kepadaku. Aku belum siap menerima kenyataan seperti itu. (Maumere,
25 Desember 2014)
sumber: majalah Media Pendidikan Cakrawala NTT edisi 42
0 Comments